Maelon Herlambang - Pria, 16 Tahun.
Dibesarkan di lapisan pertama, panti asuhan Gema Harapan, kota Teralis. Di sekeliling kota ditutupi banyak tembok besar untuk mencegah monster. Maelon dikhianati oleh teman yang dia lindungi, Alaya. Sekarang dia dibuang dari kota itu dan menjadi umpan monster, Apakah Maelon bisa bertahan hidup didunia yang brutal dan tidak mengenal ampun ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33: Tingkat 2 Lapsus - Drelm (Getaran)
Vivi menarik napas pelan sebelum bertanya, “Mengapa hari ini kau sangat bersemangat?”
Maelon tak menahan diri. Ia membiarkan kebenaran itu mengalir seperti arus listrik yang tak ingin tertahan lagi.
“Aku perlu ritual,” jawabnya tenang, “aku merasa waktunya sudah tiba. Aku akan menembus Lapsus tingkat dua.”
Vivi terdiam sejenak, matanya menatap ke arah samping dengan ragu. “Kau tahu ritualnya?”
“Ya.” Suara Maelon tetap tenang, tapi ada getar halus di ujungnya, seperti senar yang ditarik terlalu keras. “Aku harus menyentuh mayat… dan membuatnya berkedut dengan energiku. Aetheron harus menembus batas antara mati dan hidup, bahkan jika hanya sekejap.”
Vivi menghentikan langkahnya, menatap Maelon dengan sedikit bingung. “Bagaimana kau bisa tahu itu?”
Pertanyaan itu menggantung di udara, namun Maelon tidak langsung menjawab. Ia memejamkan mata sesaat, mengingat kembali malam-malam ketika bisikan datang dari dalam batu, dari inti Doctrina yang ia serap. Bisikan-bisikan itu bukan suara, melainkan rasa. Dan rasa itu menyisakan satu hal—dorongan yang tak bisa ditolak.
“Aku tidak mengetahui itu,” katanya pelan, “aku merasakannya. Saat waktunya datang, kau akan tahu sendiri. Seolah ada suara yang tumbuh di dalam dirimu, membisikkan kebenaran yang tidak bisa kau tolak. Itu bukan pengetahuan… itu takdir.”
Vivi menunduk pelan, matanya menerawang. Ia tak langsung menjawab, hanya mengangguk tipis. Di wajahnya masih tersisa keraguan, tapi juga pemahaman. Sesuatu dalam dirinya sedang menyusun ulang bentuk dunia yang ia kenal.
Langkah mereka berlanjut, melewati akar-akar raksasa dan semak berduri yang seperti bergerak dalam diam. Tapi tak ada lunatics di sekitarnya, hanya suara dedaunan yang bergesekan dan desir halus angin yang menggantung terlalu lama. Hutan seolah menahan sesuatu di dalamnya, dan mereka belum cukup dalam untuk melihatnya.
Setelah beberapa lama menyusuri jalur setapak yang tak jelas, mereka menemukan celah di antara pohon-pohon besar yang mengarah pada sesuatu yang lain—danau.
Warna airnya keruh, hampir kelabu, dengan permukaan yang memantulkan cahaya langit seperti cermin retak. Kabut tipis menggantung di atas air, dan batang-batang pohon mati mencuat dari tepiannya, seperti tangan yang ingin keluar dari pusara. Udara di sekitar danau lebih lembap, lebih dingin, dan diamnya tidak alami.
Mereka berdiri di tepian danau itu, terdiam. Tidak ada suara, bahkan burung pun tak ada. Hanya air yang memantulkan wajah mereka dengan samar, seolah berkata: di sini, dunia berubah bentuk. Maelon melangkah maju sedikit, menatap permukaan yang tenang itu dengan naluri yang tajam. Vivi berdiri di sampingnya, menatap ke sekeliling dengan mata yang waspada.
“Mungkin… mereka ada di sini,” bisik Maelon, lebih kepada dirinya sendiri.
Vivi hanya mengangguk pelan, dan dalam diam mereka bersiap. Karena danau seperti ini… tidak akan kosong terlalu lama.
Langkah mereka terhenti di tepian danau itu. Airnya tak jernih, tak juga keruh. Ia lebih menyerupai cermin tua yang tak lagi memantulkan dunia dengan jujur—memutarbalikkan bayangan, menelan cahaya, dan memancarkan rasa dingin yang tidak wajar. Uap tipis menggantung di permukaan, seolah menutupi sesuatu yang ingin dilupakan dunia.
Vivi berdiri di belakang, matanya menyisir tepi air dengan hati-hati. Tapi Maelon tidak bergerak. Ia terpaku, seolah ada sesuatu yang merambat dari balik danau itu—bukan bayangan, bukan suara… tapi rasa. Sebuah dorongan samar, tapi begitu jelas. Seperti memori yang bukan miliknya, memanggil dari dasar air, bergetar lembut di dalam tulang.
"Aku… merasa harus ke sana," bisiknya, nyaris tak terdengar.
Vivi menoleh. “Apa maksudmu ke dalam danau?”
Maelon tak menjawab. Ia hanya menanggalkan jaketnya pelan, menggulung lengan, lalu melangkah ke air yang dinginnya menusuk sendi. Danau itu lebih dalam dari yang tampak—dalam dan pekat. Setiap langkah terasa seperti tenggelam ke dalam tubuh yang hidup… atau mati. Tak ada ikan. Tak ada lumpur yang naik. Hanya keheningan yang menelan.
Ketika air mencapai dadanya, sesuatu mengubah detak jantungnya. Bukan ketakutan, bukan pula keberanian. Tapi semacam koneksi purba, seperti pintu yang terbuka dan menyambutnya masuk.
Ia menyelam.
Cahaya langsung lenyap begitu kepalanya melewati permukaan. Di bawah sini tak ada arah, tak ada suara, hanya tekanan berat yang menempel di kulit dan mata yang nyaris tak bisa melihat. Tapi dia tahu ke mana harus menuju. Seolah tubuhnya digerakkan oleh sesuatu yang lebih dalam dari kehendaknya.
Di dasar danau, terbaring satu sosok.
Tubuh itu tak membusuk. Tak mengapung. Tak terganggu waktu. Ia berpakaian aneh, jubah hitam kebiruan dengan simbol Aetheron terbakar samar di dadanya—seperti luka bakar yang membatu. Matanya tertutup rapat, tapi wajahnya seolah menatap langsung ke Maelon. Tangannya menggenggam batu kecil, serupa dengan yang telah diserap Maelon selama ini… tapi retak, seperti hampir pecah.
Maelon mengulurkan tangan. Jari-jarinya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena sesuatu yang lebih dalam dari rasa takut—resonansi. Tubuhnya bergetar pelan. Dan saat ujung jarinya menyentuh kulit mayat itu—
TAP.
Tubuh itu berkedut.
Sekejap saja. Tapi cukup. Penuh tenaga, tak wajar, seperti refleks makhluk yang bangkit dari tidur abadi dan menolak kembali. Dari sentuhan itu, energi meledak, menyambar masuk ke tubuh Maelon. Tapi bukan seperti serapan biasa. Ini bukan batu. Ini—kenangan. Perasaan. Penderitaan.
Kilatan cahaya putih melintas di benaknya. Suara-suara, teriakan, bisikan doa… dan satu wajah yang menatap dari kejauhan: wajah yang sama dengan mayat tadi, tapi hidup—dan menangis.
Maelon membuka matanya—dia kembali ke permukaan.
Napasnya tersengal, tubuhnya gemetar. Cahaya senja mulai memudar di langit. Waktu telah berlalu lebih lama dari yang disangkanya.
“Maelon!” suara Vivi terdengar dari kejauhan. “Kau… sudah terlalu lama di dalam!”
Ia berjalan ke tepi, ditarik Vivi ke darat. Maelon menggigil, tapi matanya menyala. Sesuatu dalam dirinya… berubah. Ia merasakannya. Tenaga itu, lapisan baru, tingkat kedua—
Drelm. Getaran.
Aetheron di dalam tubuhnya tak lagi sunyi. Ia hidup. Berdenyut. Dan meronta, seolah ingin dibentuk.
“Maelon,” ujar Vivi, masih terengah. “Apa yang terjadi?”
Maelon menatap danau yang kini kembali tenang, seolah tak pernah menyimpan apa pun.
“Ritualnya selesai,” gumamnya, pelan, nyaris seperti pengakuan. “Aku sudah naik.”
Vivi menatapnya, terpaku. Napasnya belum sepenuhnya tenang setelah kekhawatiran tadi, tapi kini wajahnya berubah menjadi penuh rasa ingin tahu, bahkan sedikit takjub. “Sangat… cepat,” katanya akhirnya, suaranya pelan, seperti enggan mempercayai apa yang baru ia saksikan. “Baru dua hari lalu kau masih di Reah… Sekarang kau sudah naik tingkat?”
Maelon hanya mengangguk. Matanya menatap ke depan, tapi jelas pikirannya masih tertinggal di dalam danau itu—di bawah permukaan air yang menyimpan tubuh diam, dan tatapan abadi dari seseorang yang pernah memiliki kekuatan seperti dirinya. Ia mengembuskan napas, lalu perlahan mulai bicara, suaranya rendah namun mantap.
“Di dasar danau itu… ada resonansi. Bukan suara. Bukan cahaya. Tapi sesuatu yang menyentuh bagian terdalam dari kekuatanku. Mayat itu—ia dulunya pengguna Aetheron. Entah kenapa, energi yang tertinggal dalam dirinya cukup untuk menyalakan kembali ritual di dalamku. Seperti dua nada yang selaras, menciptakan getaran yang hanya bisa terdengar jika kau cukup hening untuk merasakannya.” Ia menoleh pada Vivi. “Aku hanya kebetulan berada di tempat yang tepat.”