kehampaan dan kesempurnaan, ada seorang siswa SMP yang hidup dengan perlahan menuju masa depan yang tidak diketahui,"hm, dunia lain?hahaha , Hmm bagaimana kalau membangun sebuah organisasi sendiri, sepertinya menarik, namanya... TCG?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mult Azham, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUNIA BARU
Azam tersadar di dunia lain, 'sepertinya sebagian roh ku terlempar entah kemana'. Dia dikelilingi serangga berwarna hijau yang bersinar lembut. Kunang-kunang beterbangan, kupu-kupu bertebaran, dan belalang melompat di antara hamparan bunga yang luas. Aroma segar memenuhi udara, membuatnya merasa seperti berada dalam mimpi.
‘Jadi... aku benar-benar ada di dunia lain?’ pikirnya. Pemandangan di sekitarnya mirip dengan deskripsi dalam buku hariannya, seolah-olah dia tengah berada di tempat yang pernah dia bayangkan sebelumnya.
Azam mulai berjalan perlahan melewati hamparan bunga Edelweiss yang mekar di antara rerumputan hijau. Langkahnya tak menimbulkan suara, seakan dia bukan bagian dari dunia ini. Dia terus maju hingga melihat sebuah rumah kecil di kejauhan. Dari dalam rumah itu, terdengar suara tangisan bayi baru lahir.
Tiba-tiba, perasaan aneh menyelimuti Azam. Dia merasakan dorongan kuat untuk masuk ke dalam tubuh bayi itu, Azam agak terangkat, seolah-olah tubuh itu memanggilnya. Tapi dia segera menahan diri.
‘Tidak... aku tak bisa merebut hak seseorang. Aku punya prinsip,’ batinnya, menguatkan tekadnya untuk tidak mengganggu kehidupan orang lain.
Namun, sesuatu menyadarkannya, dia ternyata bisa melayang di udara.
“Tunggu... Berarti aku bisa terbang?!”
Azam baru menyadari hal itu setelah dua hari penuh berjalan tanpa henti. "Kalau tahu begini, kenapa aku tidak terbang sejak awal? Aku menyia-nyiakan banyak waktu"
Tanpa ragu, dia langsung melesat ke udara, menikmati sensasi melayang dengan bebas. Dari ketinggian, dia bisa melihat lebih jelas. Ternyata, tempat ini adalah sebuah desa yang dikelilingi pepohonan hijau dan hamparan bunga. Rumah-rumah kecil berjejer, dan ada beberapa orang yang lalu-lalang di jalanan desa.
Azam mulai terbang lebih rendah, menyusuri rumah demi rumah. Dia berharap menemukan tubuh yang tidak bernyawa—sebuah wadah yang bisa dia tempati tanpa merampas hak hidup orang lain.
Namun, ada bintik-bintik kecil yang melayang sedari tadi, pada awalnya ia mengira itu hanyalah kunang-kunang, ternyata bukan, Azam baru menyadari sesuatu, bintik-bintik cahaya kecil ini seolah tak kasat mata bagi penghuni dunia ini.
"Apa ini? Kenapa sejak tadi aku melihat titik-titik ini di udara?"
Begitu dia mencoba fokus untuk memahami fenomena itu, tiba-tiba sesuatu muncul tepat di hadapannya.
"Halo, Sepertinya Anda adalah roh asing yang berada di dunia ini. Saya adalah tipe sistem versi 2.0."
Sebuah suara muncul dengan nada netral.
"Apakah Anda setuju menerima saya sebagai sistem Anda?"
'"Apa-apaan ini? Aku tidak butuh sistem-sistem seperti ini!"
Tapi jika Anda menerima saya, Anda bisa mendapatkan lebih banyak informasi.
"Tidak, aku tidak butuh."
Apakah Anda yakin? Saya juga bisa memberi informasi tentang orang-orang di sekitar Anda. Saya dapat melihat status mereka dan membagikannya kepada Anda.
"Aku bilang tidak butuh ya tidak butuh!"
Azam melambai-lambaikan tangannya, mencoba mengusir sistem yang mengambang di depannya, tetapi sistem itu tetap diam di tempat, tak bisa disentuh.
'Bagaimana jika Anda menggunakan saya sebisa mungkin? Misalnya, apakah Anda ingin tahu tentang bintik-bintik di udara itu? Saya mengetahuinya ^^;'
"Aku bisa membaca buku untuk itu, jadi aku tidak butuh, bisakah kamu pergi dari sini, karena Aku tipe orang yang tidak suka diatur"
Saya tidak akan memaksa. Anda bahkan bisa menonaktifkan quest jika tidak menginginkannya.
"Tetap tidak."
Sistem itu terus berbicara di pikirannya saat Azam melayang di atas desa, mengamati sekeliling.
Anda juga bisa mendapatkan hadiah.
"Tidak."
Anda juga bisa mendapatkan kekuatan.
"Tidak."
Lalu, apa yang Anda inginkan?
Azam sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Dia tidak menyangka sistem ini bisa merendah seperti ini. Dari semua cerita yang pernah dia baca, kebanyakan sistem selalu angkuh dan memaksa.
Sebuah ide muncul di benaknya. Dia melirik layar sistem yang terus melayang di depannya.
Mungkin dengan ini, dia tidak akan mengikuti ku lagi... pikir Azam, tersenyum dalam hati.
"Oh, apa itu?"
Azam menatap layar sistem yang tiba-tiba terasa lebih angkuh.
"Hm? Kalau begitu, coba ubah dirimu jadi makhluk hidup," ujar Azam, nadanya menantang.
"Saya bisa melakukan itu."
"Bukan hanya sekadar bentuk. Aku ingin kamu benar-benar mewujudkan fisik."
Azam ingin sistem mewujudkan fisik, yang berarti bukan sekadar ilusi, tetapi sesuatu yang nyata—bisa dilihat dan disentuh oleh siapa pun.
"Apa yang akan kamu lakukan sekarang? Kalau tidak bisa, pergi saja." Azam berpikir ini akan membuat sistem menyerah dan meninggalkannya.
"…"
"Baiklah."
"Kamu tidak perlu memaks...—Ooh?" Azam sedikit terkejut. "Hm?"
layar sistem tiba-tiba bergetar.
"Saya akan memenuhi janji saya. Sekarang, Anda juga harus memenuhi janji Anda untuk menerima saya."
"Tunggu, kamu paham kan maksudnya 'mewujudkan fisik'? Itu berarti bukan hanya aku yang bisa melihat dan menyentuhmu."
"Tentu saja. Bentuk seperti apa yang Anda inginkan?"
"Aaah, terserahlah."
BING!
Tiba-tiba, cahaya terang muncul di udara. Saat redup, Azam melihat sesuatu yang tak terduga.
Di hadapannya, sistem telah berubah menjadi makhluk kecil berbentuk kotak, dengan mata besar yang ekspresif dan mulut mungil yang bisa berbicara. Tubuhnya tampak lembut, bersinar samar, dan terlihat ramah. Di punggungnya ada sepasang sayap kecil, sementara enam kaki mungil bergerak-gerak di bawahnya.
Makhluk itu melayang mendekat dan berkedip polos.
"Jadi… bagaimana?" tanyanya dengan nada ceria.
Azam sedikit terkejut melihat perubahan sistem.
Bentuknya… sama sekali tidak pernah ia bayangkan.
"Bagaimana kamu bisa kepikiran membuat bentuk seperti itu?" tanyanya.
"Saya membentuk karakter sesuai dengan apa yang Anda anggap menarik," jawab sistem, suaranya kini terdengar lebih alami.
Azam memperhatikannya sejenak. Setidaknya, dengan bentuk seperti ini, sistem tidak akan terlalu mengganggunya nanti.
Ia kemudian mengalihkan perhatian ke sekeliling, kembali melihat bintik-bintik cahaya kecil yang melayang di udara.
"Apa kamu tahu apa itu?" tanyanya.
"Maksud Anda mana? Itu adalah energi mana yang mengalir di dunia ini," sistem menjelaskan. "Karena Anda masih dalam bentuk roh, Anda bisa melihatnya. Apa Anda ingin saya mencarikan tubuh fisik yang bagus untuk Anda?"
Azam menggeleng. "Tidak, Cari yang sekarat saja, yang memang sudah tidak memungkinkan bagi jiwa untuk tetap hidup di dalamnya."
Sistem terdiam sejenak.
"Apa Anda yakin dengan keputusan ini?"
"Ya. Bisa kamu lakukan?"
"Saya bisa, tapi itu memerlukan beberapa poin ST."
"Poin ST? Apa itu semacam gelar?"
"Anda bisa mendapatkannya dengan menyelesaikan quest," sistem menjawab.
Azam menyipitkan mata. "Baik. Apa saja quest-nya?"
"Cari tubuh yang cocok untuk Anda, dan Anda akan mendapatkan 10 poin ST." kata sistem.
"...."
Azam tidak menanggapi. Ia hanya diam dan terus berkeliling, menyusuri setiap rumah satu per satu. Namun, setelah menjelajahi seluruh desa, ia tetap tidak menemukan tubuh yang sesuai dengan kriterianya.
"Sepertinya di desa ini memang tidak ada... Aku harus mencari ke tempat lain," pikirnya.
Ia melirik sistem yang masih terbang di sampingnya. Dengan ukuran tubuh yang kecil, mungkin orang-orang mengira makhluk itu adalah burung.
"Apa ada desa lain di dekat sini?" tanyanya.
"Ada. Apa Anda ingin saya menunjukkan arahnya?"
"Apa itu pakai poin?"
"Iya," sistem mengangguk.
"..."
Azam menatap sistem tanpa ekspresi, lalu tanpa berkata apa-apa, ia berbalik dan pergi.
Azam terus menyusuri hutan, menjauh dari desa awal, Ia melewati desa demi desa. Hari demi hari berlalu, tapi hasilnya tetap sama, ia tetap tidak menemukan tubuh yang sesuai dengan kriterianya.
Waktu berjalan begitu cepat, dan tanpa sadar, satu bulan telah berlalu sejak perjalanannya dimulai.
'Sepertinya aku terlalu banyak membuang-buang waktu...' pikir Azam.
Tiba-tiba, suara tangisan bayi memecah keheningan.
"Uwaaak! Uwaaak!"
Azam menoleh ke bawah dan melihat seorang bayi menangis di dalam sebuah rumah kecil.
"Sistem, tunggu saja di sini seperti biasa. Aku akan melihat lebih dekat."
Azam melayang turun dan mengintip melalui jendela.
Di dalam, seorang tabib tua duduk dengan wajah serius di samping seorang wanita yang terlihat cemas—mungkin ibu dari bayi itu.
"Maaf, sepertinya anak ini tidak akan bisa bertahan..." suara tabib terdengar berat. "Tubuhnya tidak memiliki inti mana sama sekali. Jika dibiarkan, kemungkinan besar ia hanya bisa bertahan beberapa hari lagi."
Mata ibu itu membesar. Ia segera meraih tangan tabib dengan putus asa.
"Apa Anda benar-benar tidak bisa menolongnya?" suaranya bergetar, penuh harapan yang nyaris padam.
Tabib itu menggeleng, wajahnya diliputi beban.
"Saya tidak bisa melakukan apa pun mengenai ini. Dan... Ibu tahu peraturan kerajaan, bukan?" katanya lirih namun tegas. "Bayi yang lahir tanpa inti mana akan dieksekusi. Jika pun berhasil bertahan, begitu ketahuan, kerajaan takkan ragu memenggalnya. Itu hanya akan memperpanjang penderitaannya. Lebih baik... diakhiri sekarang."
Ibu itu menutup mulutnya dengan tangan, air matanya jatuh tanpa henti. Isak tangisnya memenuhi ruangan, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan.
Di sudut ruangan, seorang pria berdiri. dia tampak seperti ayah anak itu. Namun, wajahnya kosong, tanpa sedikit pun emosi. Tanpa sepatah kata, dia berbalik dan melangkah keluar dari kamar.
Azam memperhatikan pria itu.
"Orang ini... sepertinya tidak peduli sama sekali."
Azam memutuskan untuk mengikutinya. Pria itu berjalan tanpa tujuan, melewati gang-gang sempit. Langkahnya lambat, tapi penuh dengan kebimbangan.
Lalu, tiba-tiba, dia berhenti.
Tangannya merogoh sesuatu dari balik jubahnya—sebilah pisau kecil.
Mata Azam membelalak. "Tunggu... apa dia berniat bunuh diri?"
Seketika, Azam teringat sistem yang masih menunggu di tempat tadi.
"Sial!"
Azam langsung melesat terbang kembali ke tempat sistemnya menunggu.
"Sistem, ikuti aku!"
"Baik."
Sistem itu dengan cepat mengikuti Azam. Dalam sekejap, mereka tiba tepat di belakang pria itu—tepat sebelum pisau itu bisa menyayat kulitnya.
BHUK!
Sebuah makhluk kecil menabrak pria itu, membuatnya tersentak mundur.
"Hah? Apa-apaan ini?" Pria itu tergagap, menatap sekeliling, kebingungan.
"Bodoh, jangan bunuh diri."
Nada itu datar, sistem menyampaikan apa yang dikatakan Azam.
Pria itu mendongak, menatap ke bawah, dan melihat makhluk kecil berbentuk kotak. Matanya besar dan ekspresif, mulutnya mungil namun bisa berbicara. Tubuhnya sedikit bersinar, tampak lembut serta ramah. Sayap kecil mengepak di punggungnya, dengan enam kaki mungil dibawahnya.
"Waaa! Makhluk apa ini?!" Pria itu terkejut, lalu buru-buru meraih pisaunya yang terjatuh.
Tanpa ragu-ragu, dia langsung menyayat tangannya sendiri.
Sret!
Azam terkejut melihat pria itu tiba-tiba melukai dirinya sendiri. Mendadak, seseorang muncul dari sesuatu yang menyerupai portal.
"Jadi... dia sebenarnya tidak berniat bunuh diri?"
Wanita itu berpakaian serba merah, dari ujung rambut hingga pakaiannya. Kulitnya berwarna sawo matang, memberi kontras yang mencolok dengan warna pakaiannya.
wanita itu melirik sistem sekilas "Hm? Apa kau takut dengan makhluk itu?" tanyanya santai. Dia lalu melirik ke arah sistem dan tersenyum tipis. "Aku juga penasaran... makhluk apa ini?"
Azam segera memberi perintah pada sistem.
'Terbang menjauh.'
Sistem langsung bergerak cepat, menjauh dari mereka.
Wanita itu memperhatikan sistem yang melayang di udara. "Wah, dia cepat sekali. Aku belum pernah melihat makhluk seimut itu."
"Aku juga belum pernah." Pria itu akhirnya bersuara lagi, tatapannya masih tertuju pada sistem. "Apa itu hewan langka? Dia bahkan bisa berbicara..."
Wanita itu menoleh padanya dengan ekspresi mengejek. "Jadi? Kau sudah tidak takut lagi?"
Pria itu berdeham. "Ehem. Apa Maksudmu? Aku hanya terkejut, bukan takut."
Wanita itu terkekeh kecil, lalu melipat tangannya di dada. "Baiklah, baiklah. Lalu, kenapa kau memanggilku? Jangan bilang hanya karena kejadian tadi?"
"Tentu saja tidak." Pria itu menatapnya dengan ekspresi serius. "Aku ingin kau melakukan sesuatu untuk anakku."
Wanita itu mengangkat alis, senyumnya semakin lebar. "Boleh saja, tapi... kau tidak berniat meminta ini gratis, kan?"
"Aku sebenarnya bingung, tapi sepertinya kau benar. Istriku memang tidak bisa memiliki keturunan. Anak pertama mati saat lahir, anak kedua lumpuh dan meninggal dalam beberapa hari, dan sekarang... anak ketiga..." ujar pria itu, suaranya berat.
Wanita itu tersenyum menggoda. "Oh? Jadi sekarang kau setuju denganku? Atau… kau hanya ingin punya keturunan dariku, Rado? Pahlawan yang jatuh ternyata selicik ini."
Rado nama pria itu
"Aku akan bersamamu," jawab Rado tanpa ragu.
Wanita itu sempat terbelalak, lalu senyumnya melebar. "Hmm? Kau benar-benar ingin bersamaku?"
"Iya, asalkan kau bisa memberiku keturunan untuk istriku."
Wanita itu menyipitkan mata, mendekat hingga wajah mereka nyaris bersentuhan. "Jadi, aku ini hanya kau anggap sebagai pabrik keturunan?"
"B-bukan begitu..." Rado tergagap.
Wanita itu menyeringai. "Baik! Aku akan melakukannya, tapi hanya sekali. Syaratnya, kau harus meninggalkan istrimu selamanya. Deal?"
Rado menatapnya sejenak, lalu mengulurkan tangan. "Deal."
Dari kejauhan, Azam mengamati dengan rasa jijik. Kesepakatan macam apa ini? Kasihan ibu anak itu... Apa Rado hanya mencari alasan untuk meninggalkan istrinya?
Namun, Azam menepis pikirannya dan kembali ke rumah. Sesampainya di sana, ia melihat ibu bayi itu masih Memeluk anaknya erat.
"Tak apa, Nak... Ibu akan melindungimu," bisiknya lirih, air mata mengalir di pipinya.
Beberapa minggu berlalu, tetapi Rado tak kunjung kembali. Sementara itu, ibu bayi itu tetap teguh, menolak meninggalkan anaknya meski banyak yang membujuknya untuk membunuh bayi tersebut. Dengan kegigihannya, ia menghadapi segalanya seorang diri.
Namun, tiba-tiba, Rado muncul Kembali.
"Istriku," panggilnya.
"Kamu ke mana saja, suamiku? Banyak orang ingin membunuh anak kita! Kita harus segera meninggalkan desa ini," ucap istrinya dengan cemas.
"Tenanglah. Aku bisa membuat anak kita memiliki inti mana."
Istrinya terbelalak. "Apa itu mungkin? Bagaimana caranya?"
"Aku butuh beberapa hari untuk membawanya. Bisakah kau mempercayaiku?" tanya Rado.
"Tapi..." Istrinya ragu, menatap bayi mereka dengan perasaan bercampur aduk.
"Tenang, aku tidak akan menyakitinya. Percayalah padaku."
"Kalau begitu... aku ikut dengan kalian," kata istrinya.
"Jangan, istriku. Prajurit kerajaan akan datang sebentar lagi. Jika kita semua menghilang, mereka akan curiga." Rado menggenggam tangannya erat. "Tolong, percayalah padaku."
Istrinya menatapnya dalam, lalu menggeleng. "Aku selalu mempercayaimu." Senyum tulus menghiasi wajahnya, meski kesedihan jelas terpancar di matanya.
Rado terdiam, menggigit bibirnya.
"Suamiku?" bisik istrinya.
Tanpa berkata apa-apa, Rado tiba-tiba memeluknya erat.
Matanya basah saat menatap istrinya. Suaranya bergetar, menahan kesedihan yang nyaris meledak.
"Kamu sudah menderita selama ini, Alifah... Kenapa semua ini harus terjadi padamu? Kenapa..."
Alifah membalas pelukannya dengan penuh kasih. "Tidak apa-apa, sayang... Aku tahu kamu menginginkan keturunan, tapi aku tak pernah bisa memberikannya padamu."
Rado terdiam sejenak, lalu dengan berat hati, ia mengambil bayi mereka. "Aku pergi dulu," ucapnya lirih.
Setelah berpamitan, Rado membawa bayi itu menjauh, menyelinap ke gang-gang sempit. Di ujung sana, seorang wanita kemaren menunggunya. Tanpa banyak bicara, mereka berdua melangkah masuk ke dalam portal.