Axel Rio terjebak bertahun-tahun dalam kesalahan masa lalunya. Ia terlibat dalam penghilangan nyawa sekeluarga. Fatal! Mau-maunya dia diajak bertindak kriminal atas iming-iming uang.
Karena merasa bersalah akhirnya ia membesarkan anak perempuan si korban, yang ia akui sebagai 'adiknya', bernama Hani. Tapi bayangan akan wajah si ibu Hani terus menghantuinya. Sampai beranjak dewasa ia menghindari wanita yang kira-kira mirip dengan ibu Hani. Semakin Hani dewasa, semakin mirip dengan ibunya, semakin besar rasa bersalah Axel.
Axel merasa sakit hati saat Hani dilamar oleh pria mapan yang lebih bertanggung jawab daripada dirinya. Tapi ia harus move on.
Namun sial sekali... Axel bertemu dengan seorang wanita, bernama Himawari. Hima bahkan lebih mirip dengan ibu Hani, yang mana ternyata adalah kakak perempuannya. Hima sengaja datang menemui Axel untuk menuntut balas kematian kakaknya. Di lain pihak, Axel malah merasakan gejolak berbeda saat melihat Hima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Gentlemen and The Coffee
Aku turun dari lantai loteng ke lantai 3. Ke tempat penyimpanan bahan baku, juga tempat ku Charge ponselku. Ku geser rak kopi agar menutupi pintu ke atas, ku lap bekas roda di lantai, kutebar tumpahan kopi sedikit di samping rak agar tak kelihatan terlalu bersih.
Lalu... seperti kataku tadi, aku butuh kopi.
Langkah kaki berat seorang Pria terdengar menaiki tangga.
Ivander bahkan tidak berusaha mengendap-endap.
Ia cukup percaya diri kalau tidak ada buruannya yang akan lolos.
Setiap Algojo ini, memiliki hal unik tersendiri.
Hebat juga Owner perusahaan memiliki konsep semacam ini untuk dijadikan karyawannya.
Pertanyaan intinya adalah... sekuat apa Damaskus Parabasampurna sampai makhluk-makhluk keji ini berlutut di bawah kakinya?
“Hm...” terdengar geraman dari arah tangga, aku melirik sedikit ke samping dan tersenyum.
“Ngopi?” aku menawari pria tinggi besar dengan khas wajah dari ras mongolia yang kini sedang menatapku sambil tersenyum sinis. Aku tidak tahu dari mana ia mendapatkan paras seperti itu, aku tidak tahu orang tuanya. Yang jelas bukan sepenuhnya asli pribumi, sepertiku.
“Tanpa gula, campuran rempah.” Katanya sambil menghampiriku. Ia tampak melihat-lihat ruangan ini dengan lebih seksama.
Aku merasakan sesuatu yang besar mepet ke punggungku.
Dua tangan penuh Tato di samping pinggangku.
Sesuatu yang keras... dagu orang ini... bersandar di bahuku. “Lu tadi nggak di sini.” Ivander mengintimidasiku. “Ya kan?” tanyanya.
Dari sana bisa kuukur Ivander tinggi dan besar, bahkan bisa lebih tinggi daripada Devon.
Aku mem-press campuran bubuk kopi berempah dan menahan mesin press sesaat.
“Ya masa gue kasih tahu.” Gumamku pelan.
Aku sebenarnya ketakutan.
Di posisi begini, dia bisa langsung menghentikan jalur nafasku.
Aku bakal mati tanpa sempat menarik nafas.
Tapi aku berusaha tenang.
Pitbull di belakangku ini adalah makhluk berwatak keras, namun aku memegang kelemahannya. Dia setia ke Tuan-nya, tapi saat ini aku adalah ancaman baginya sekaligus perlindungan baginya. Gerakanku selanjutnya akan menentukan apakah aku lawannya atau kawannya. Apakah aku akan membuatnya dipecat oleh Tuan-Nya, atau aku bisa membuatnya bekerja lebih lama untuk Tuan-nya.
Jelas aku pilih opsi kedua.
Karena akan menyulitkan bagiku kalau aku memilih jadi lawan.
“Jadi... Axel.” Kedua tangannya mengelus bahuku. “Besok sebelum duel, lu gue pertemukan dengan Himawari Sasaki. Sampai di situ aja imbalan dari gue. Selanjutnya terserah lo.”
“Deal.” Aku mengambil Flaskdisk di sakuku, dan menyelipkannya di saku celana Ivander yang berada tepat di belakangku. “Pak Raga Antara.” Bisikku.
“Katanya nggak mau lihat data gueeeee...” tangan itu dikalungkan ke leherku. Bersiap mematahkan tenggorokanku.
“Gue harus sortir dulu soalnya kecampur-campur sama target lain. Ya pasti otomatis kebaca lah.” Kataku sambil menggeser cangkir espresso ke samping. “Bilang ke Raden Arya, gue mau mengajukan tawaran lain. Dia bisa naik ke atas sini.”
“Hm? Tujuan kita ke sini memang mau mengubah rencana. Lo bisa denger sendiri informasi terbaru dari kami.”
“Informasi terbaru?” tanyaku sambil menoleh ke samping. Apalagi ini?
Terlalu banyak konflik bertubi-tubi datang, seakan tidak membiarkan aku istirahat
“Iya. Ron, sini naik Ron...” seru Ivander sambil mengacak-acak rambutku dan menjauh.
Ia duduk di sofa samping sambil menyeruput kopi.
“Woooh, Pantes ni cafe dibilang legend. Ternyata memang sedap banget.” kata Ivander. Aku bisa mendengar langkah kaki Baron menaiki tangga mendekati kami.
“Biji kopinya dari Wamena, ditanam secara organik di ketinggian 1.200m, rempahnya dari Maluku.” Kataku. “Halus tanpa ampas, wangi dan smokey after taste.”
“Lo bukan sekedar menyamar di sini.” Begitu kesimpulan Ivander.
“Gue suka kopi, makanya gue ngelamar di sini sekaligus sebagai persembunyian.” Kataku.
“Sambil menyelam nelen cendol namanya.” Kata Ivander.
Baron datang dan langsung berdiri di sampingku. Ia tidak berbicara apa pun.
Hanya menatapku dengan tatapan penuh arti.
Sangat terlihat kesuramannya.
Ia sedang gundah gulana.
Aku perkirakan di pihaknya akan ada pertempuran darah sebentar lagi.
Khusus untuknya, kuracik kopi yang tidak akan dapat ditolaknya.
Ia hanya mengamati aktivitasku tanpa bicara.
Menungguku tapi dengan menyebarkan aura menindas.
Aku tidak terpengaruh, aku sudah terbiasa. Aku tahu orang seperti apa Baron ini.
Dia memang tetua, tapi ia berpikir lebih bijak dari yang lain.
Baron jelas bukan ancaman untukku.
Malah bisa jadi, dia adalah penolongku.
“Silakan Gusti Raden Mas Arya Ranggasadono,” aku menggeser cangkir kopi yang sudah kuracik ke depannya.
“Lagi nggak pingin.” ia menolak kopiku?! Oooh tidak bisaaaaa.
“Coba saja dulu.” rayuku. "Lo tahu kualitas dari aromanya. Lo pasti tahu ini apa." kataku.
"Iya... wangi yang gue kenal. Ngingetin gue akan masa lalu yang menyakitkan." gerutunya. Dan ia pun akhirnya menyesapnya.
Seutas senyum tipis
Dan tatapan yang berubah sendu.
Sudah merupakan bayaran mahal bagiku.
Kebanggaan untuk diriku sendiri saat melihat customer yang tersenyum saat menyesap kopiku. Mereka yang terlena akan memejamkan mata sejenak, lalu dengan tenang fokus ke rasanya. Tanpa memedulikan hiruk pikuk sekitarnya dan tanpa memikirkan masalah hidup yang saat ini mereka alami.
“Kopi Ijen Raung...” desisnya sambil menggelengkan kepalanya. “Kampung halaman nyokap gue, Bondowoso.”
“Turut...berduka cita, Raden.” Aku menundukkan kepalaku sekilas.
“Kurang ajar bener lo bawa-bawa nyokap gue buat ngambil hati gue, hah?! Brengsek...” ia menyesap lagi kopinya, dan memejamkan mata.
Walau pun kalimatnya makian, tapi ia sedang memujiku.
Ia rindu akan ibunya.
Seperti aku rindu ibuku.
“Nggak sulit tahu nasab lo. Lo itu bangsawan. Yang sulit itu nasabnya dia.” Aku menunjuk Ivander.
“Nggak usah cari tahu, nggak ada gunanya buat lo, Bocah.” Kata Ivander.
“Dia menghabisi semua garis keturunannya.” Kata Baron sambil tersenyum getir.
“Gue harus jadi yang terakhir dari keturunan gue yang hidup di muka bumi ini.” Kata Ivander.
Orang-orang macam apa ini?!
Anyway, itulah sogokanku untuk mereka.
Kopi dan dokumen.
Agar...
“5 tahun sudah termasuk remisi. Nggak bisa kurang dari itu. Bisa jadi lu divonis 15 tahun atas pembunuhan berencana walau pun lu nggak kebukti tapi ada saksi mata. Kita bisa kurangi hanya sampai 5 tahun.” Kata Baron.
Ya, untuk waktu hukumanku di penjara nanti.
“Erick Sutjandra bakal kita usahakan masuk juga. Dan... Irvin. Karena lu dah bikinin gue kopi, gue mau ngasih tahu kalau keberadaan Irvin sudah kami temukan. Tinggal maunya lo gimana nih? kita olah jadi apa?”
Aku membelalakkan mataku.
Ini dia!
Inilah saatnya...
Selama ini aku menghindari Irvin. Tadinya kupikir dengan tahu keberadaannya aku jadi bisa menghindarinya. Bagaimana aku menghindarinya kalau aku tak tahu dia sedang ada dimana?
Tapi kini, entahlah...
Ada suatu gejolak dalam diriku yang mengatakan, 'saatnya kau balas dendam Jackson'.
Kau lenyapkan dia! Kau akan aman.
Orang seperti Irvin ini, penjara manusia tidak pantas baginya. Terlalu ringan.
Penjara Iblis adalah hal yang tepat.
Dan kamu Jackson, yang akan memberikannya ke Irvin.
“Kesepakatan ini di luar Praba grup kan?” tanyaku.
“Ya, Devon dan Bapak tidak tahu mengenai yang ini.” Kata Baron. “Gue juga nggak tahu ada hubungan apa di antara lo berdua. Tahu-tahu udah kenal aja lu.” Baron menunjukku dan Ivander.
Ivander menyeringai sambil menatapku.
Aku menunduk.
“Gue rasa, bakalan tambah ribet hidup ini kalau gue sampai tahu ya?” tebak Baron.
Aku tersenyum semanis mungkin.
Ivander hanya berdecak.
“Apapun itu pasti ada kaitannya dengan alasan nasab yang lo lenyapkan. Lo pasti ngerasa berdosa banget.”
“Kita udah semakin tua bro.” Desis Ivander. “Dan sekarang lagi menyeleksi penerus.” Ivander menunjukku dengan dagunya.
Penerus, heh...
Bisa aja lo ngambil hati gue.
Janji kosong. Ghosting aja terus. Dikira aku akan terpengaruh ya?!
“Besok pagi... Himawari akan bertemu lo. Sebelum duel. Devon akan memperlakukan lo sesuai keinginan Himawari.” Kata Baron
“Hani tahu? Sudah ketemu tantenya?” tanyaku.
“Belum, Devon mewanti-wanti, kalau Hani tidak boleh tahu mengenai Himawari. Biarkan Hani apa adanya.”
Aku pun menarik nafas lalu mengangguk.
“Butuh moodbooster nggak?” tanya Ivander padaku.
“Hah?”
“Brownies dari Belanda. Khehehe.”
Aku mencebik. Yang dia maksud bukanlah brownies beneran, tentu saja.
kau kan liat Hana Sasaki pas ada luka g0r0k di lehernya... himawari keadaan baik baik saja...
jelas beda lah Jakson
mksih sdh rajin update teruuusss...
terima kasih up nya Thor séhat selalu 🙏🏻🙏🏻🥰
yg tadinya mood bacanya berterbangan entah kmn ....eeehh tetiba semangat lagi
nuhun madaaaam