Perasaan mereka seolah terlarang, padahal untuk apa mereka bersama jika tidak bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Flaseona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Can We? Episode 13.
...« Yay, waktunya sudah tiba »...
Perlengkapan yang dibutuhkan Arasya untuk berlibur terhitung cukup banyak. Akhirnya ia memilih membawa koper sesuai saran Gavan, itu pun terdapat beberapa pakaian ganti milik Gavan di dalamnya. Katanya sekalian, agar tidak membawa banyak koper.
“Beneran nginep seminggu? Katanya dua hari satu malem aja gapapa?” tanya Devan memastikan. Hari ini ia bertugas mengantarkan Arasya dan Gavan sampai ke stasiun.
“Ih ‘kan ada Mas Gavan! Mami juga udah kasih izin kok, wlee!”
Devan mendengus. “Mas, ajak balik aja kalau udah dua hari.” Ucapnya berganti lawan bicara. Sebenarnya ada rasa tidak rela melepas si kecil pergi seminggu meskipun sang Kakak ikut menemani.
“Apasih! Mas tuh nurut nanti sama aku. Gak kayak Mas Devan!” Arasya berbicara bersungut-sungut. Kesal karena Devan seakan tidak mengizinkannya berlibur.
Gavan yang mendengar pertengkaran keduanya hanya menggelengkan kepala. Sudah terlalu terbiasa. Di manapun dan kapanpun.
Ketiganya sekarang sedang duduk di ruang tunggu yang berbeda dari kebanyakan penumpang lainnya. Pasalnya, setelah Gavan mengetahui jika Arasya dan teman-temannya akan naik kereta menuju ke tempat tujuan, Gavan langsung mengatakan pada Arasya agar tiket keberangkatannya dipesan oleh pria tersebut.
Sempat terjadi keributan saat Arasya mengatakan perintah Gavan, disertai bukti tiket yang berhasil dipesan dengan total delapan tiket eksekutif.
“Mana temenmu, Dek?” tanya Devan, celingak-celinguk melihat sekitar.
“Bentar lagi katanya. Orang kita ke sininya awal banget, jelas mereka belum dateng lah.” Jawab Arasya kesal.
“Mas tak tinggal dulu apa ya?” Devan tak menggubris ucapan Arasya.
“Iya. Makasih udah di anterin. Mau meeting juga, ‘kan?”
Itu adalah alasan mengapa Arasya dan Gavan lebih dulu sampai. Sebenarnya Gavan benar-benar sibuk pada minggu ini, tetapi karena Arasya mengajaknya, Gavan harus menyerahkan semua pekerjaannya pada sang adik.
Devan mengangguk, lalu berpamitan pada Gavan juga Arasya. “Jangan nakal. Nurut sama Mas.” Nasihatnya.
“Iya-iya. Udah sana!” usir Arasya.
“Dek, yang baik.” Peringat Gavan yang langsung membuat Arasya mengerucutkan bibirnya, menciut.
“Dadah Mas Devan. Hati-hati di jalan. Besok pulangnya aku janji beli oleh-oleh buat Mas. Makasih aku sama Mas Gavan udah di antar sampai di sini juga.” Ucap Arasya. Meskipun terlihat terpaksa, tetapi gadis tersebut tulus mengucapkannya.
Arasya dan Devan berpelukan agak lama. Arasya pun mendengarkan dengan seksama nasihat-nasihat dari Devan yang sepertinya sudah pernah Arasya terima sebelumnya.
Setelah puas, Devan kembali berpamitan pada Gavan dan melangkahkan kakinya menjauh dari kakak serta adiknya.
“Jangan-jangan sebenernya Mas Devan pengen ikut, Mas?” curiga Arasya yang mengundang tawa dari Gavan.
“Iya kali. Harusnya Adek tanyain tadi mau ikut apa enggak. Jangan di ambekin terus, tahu-tahu nanti dia ikut ngambek juga ke Adek. Terus seminggu lagi gak di jemput.”
Sebenarnya tidak ada niat Gavan menakuti Arasya. Tetapi reaksi si kecil mengarah ke sana. Merasa menyesal dengan raut wajah yang menggemaskan.
“Apa aku telpon Mas----”
“Arasya!”
Rombongan dengan enam orang mendekati Arasya juga Gavan di kursi tunggu.
“Mas, halo. Mas makasih ya udah di traktir tiket gratis. Kita jadi gak enak banget ini.” Dina yang lebih dulu sampai langsung menyapa Gavan. Mengulurkan tangannya untuk salim. Di ikuti Elsa, Voni dan satu orang laki-laki. Sisanya hanya berterima kasih dengan lisan.
“Maaf juga, Mas, aku bawa pacar. Kak Lina juga nih. Sumpah ini beneran gak ngerepotin Mas Gavan, ‘kan?”
Gavan menggelengkan kepalanya sembari tersenyum lebar. “Gapapa, santai aja.” Ujarnya singkat.
Arasya melihat Lina sering kali melirik ke arah Gavan. Ia merasa sangat terkejut saat mengetahui kakak dari Dina itu sudah memiliki kekasih.
Padahal terakhir kali bertemu, Lina dan Gavan saling bertukar nomor. Apakah hubungan mereka tidak berlanjut setelah itu? Arasya akan bertanya nanti kepada Dina.
“Oh iya, Ra. Pembagian kamar kemarin kamu gapapa? Kenapa gak bales di grup deh?”
Elsa beralih ke arah Arasya. Kebiasaan Arasya selalu mengabaikan apapun pesan di grup. Tetapi jika dikirimkan pesan pribadi, Arasya seakan tahu semuanya tanpa harus diberitahu kembali.
“Iya, gapapa kok. Aku kemarin lupa karena langsung bilang ke Mas. Kalian udah siap semua? Gak ada yang ketinggalan, ‘kan?”
“Ada. Jodohku ketinggalan gak tahu ke mana.” Celetuk Voni yang mengundang tawa dari sebagian orang.
“Ya udah yuk, kayaknya bentar lagi keretanya dateng.” Ajak Dina pada teman-temannya.
Semuanya bersiap dengan perlengkapan masing-masing. Tetapi tidak dengan Arasya, gadis tersebut hanya segera menggandeng lengan Gavan. Sebab pria tersebut lah yang mendorong koper serta membawa tas selempang Arasya.
Kereta datang tidak lama setelahnya. Dina dan Lina duduk bersama pacar masing-masing. Elsa bersama Voni, juga Arasya dengan Gavan.
Arasya mengambil duduk di dekat jendela dan Gavan menyusul kemudian. Pria tersebut tanpa kewalahan menaruh koper di atas, seperti sudah terbiasa melakukan hal itu. Pun dengan sukarela membantu Elsa juga Voni.
“Takut gak, Dek?”
Arasya mendengus mendengar pertanyaan yang dilayangkan Gavan. “Takut kalau aku yang ditugasin nyetir kereta ini. Mas mah, aku gak secupu itu, ya. Walaupun ini pertama kalinya.”
Gavan terhibur mendengar jawaban dari si kecil. “Perjalanannya delapan jam, kalau Adek minta turun gak bisa, ya.”
“Ih!” rengek Arasya sebab Gavan terus-terusan menggodanya.
Tetapi saat kereta akhirnya melaju, Arasya otomatis memegang tangan Gavan. Si empunya yang digenggam, berusaha untuk menahan tawanya. Apalagi melihat mata Arasya tertutup rapat menghadapnya.
Gavan tidak menginterupsi, ia hanya menatap si kecil sampai Arasya merasakan aman.
“Udah? Buka dulu matanya, Dek. Lihat nih gapapa.”
Mengikuti perintah dari Gavan, Arasya perlahan-lahan membuka matanya. Ia membalas tatapan Gavan. Benar. Tidak apa-apa. Keretanya masih ada dalam kendali masinis.
“Coba lihat jendela, Dek. Kalau ngerasa pusing, tidur aja, ya.”
Arasya berbalik badan, tetapi tangannya masih setia menggenggam erat tangan Gavan.
“Ssst, Arasya. Kamu takut gak? Gimana rasanya pertama kali naik?” Voni berbisik di depan, ia mengintip dari celah-celah kursi dan jendela.
“Ngapain takut? Biasa aja kok. Emang rasanya harus gimana, Von?” bohong Arasya.
Gavan berusaha menahan tawanya lagi, kali ini lebih mati-matian sebab Arasya diam-diam meremat tangannya.
“Dulu sih aku pusing. Tapi kalau udah terbiasa, ya biasa aja. Kamu beneran gak pusing?” tanya Voni memastikan.
“Enggak kok. Dibilang biasa aja.” Jawab Arasya.
“Oh, okay. Kalau pusing bilang aku, ya. Aku bawa obat kok.”
“Iya, makasih. Sana duduk yang bener. Yang ada nanti kamu yang pusing.”
“Siap deh, Arasya.”
Lalu hening. Hanya ada suara dari penumpang lain entah siapa.
“Mas, aku pusing.” Bisik Arasya tepat di telinga Gavan.
...« Terima kasih sudah membaca »...