Nafisa, gadis istimewa yang terlahir dari seorang ibu yang memiliki kemampuan istimewa. Tumbuh menjadi gadis suram karena kemampuan aneh yang dimiliki.
Melihat tanda kematian lewat pantulan cermin, membuatnya enggan bercermin seumur hidupnya. Suatu ketika ia terpaksa harus berdamai dengan keadaannya sendiri, perlahan ia mulai berubah. Dengan bantuan sang sahabat, ia menolong orang-orang yang memiliki tanda kematian itu sendiri.
Simak kisah menarik Nafisa, kisah persahabatan dan cinta, juga perjuangan seorang gadis menerima takdirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cermin 16
“Kau, kenapa kau di sini? mau apa kalian membawanya kemari?” tanya ibu Hana begitu melihat Nando yang baru datang bersama Haikal dan Pandu. “Pergi dari sini! ayo pergi!” Berusaha mengusir Nando, mendorong-dorong tubuh pemuda itu.
“Sabar Tante, ini di rumah sakit,” kata Arjuna mencoba mengingatkan, tapi emosi ibu Hana semakin menjadi, bahkan sang suami kewalahan menenangkannya.
“Aku tak pernah merestui kalian ya! dasar anak urakan, punya apa kamu berani-beraninya deketin anakku? yang ada bawa pengaruh buruk saja,” hina ibu Hana lagi.
“Sudah, jangan keras-keras malu sama orang, ada teman-teman Hana juga di sini,” ujar suaminya.
“Kamu yang diam, Mas! aku nggak akan lega sebelum anak ini pergi. Keberadaan dia hanya virus yang akan menghambat kesehatan putri kita.”
“Maaf Tante, kenapa Tante bicara seperti itu? bukannya di mata Allah derajat manusia itu sama? yang membedakan hanya iman dan taqwa,” seloroh Nuria, gadis itu sudah terlewat kesal melihat betapa songongnya orang tua Hana itu.
“Heh, siapa kamu? berani-beraninya menggurui orang tua, sudah jauh lebih hebat kamu daripada aku ya rupanya?”
Nuria terdiam, bukan karena takut melainkan Fisa melarangnya membantah lagi, khawatir semakin menyulut amarah dan menimbulkan kekacauan di rumah sakit, bisa-bisa mereka diusir nanti.
“Keluar nggak! kalau menolak baiklah, kuseret kau sekarang!” bentak ibu Hana lagi, menarik kerah pakaian Nando dan berusaha menyeretnya. Nando yang sedari awal memilih diam terkikis stok kesabaran di hatinya, pria itu menarik tangan ibu Hana dan mencampakkannya. Menatap tajam sorot mata wanita di depannya.
“Saya datang bukan keinginan saya sendiri, melainkan keinginan putri Ibu. Tidak masalah jika saya harus pulang, tapi kalau sampai terjadi apa-apa dengan Hana, terima akibatnya!”
Mata wanita paruh baya itu membeliak tajam, kalimat yang diucapkan penuh penekanan itu seolah menamparnya, bagaimanapun juga ia yang paling tahu bagaimana putrinya selama ini, sangat mencintai Nando. Itu juga yang membuat hubungan mereka buruk, karena gadis itu tak bisa melupakan Nando begitu saja. Sementara saat ini kondisi Hana sedang kritis, ada perasaan takut jika terjadi apa-apa pada putri kecilnya itu.
Ibu Hana hanya diam, bibirnya terkunci rapat. Sang suami meminta teman-teman Hana mengajak Nando duduk, bersama-sama menanti kabar dari dokter yang melakukan pemeriksaan di dalam sana.
Suasana pun lengang, hanya sesekali terdengar helaan nafas dari mulut sang ibu, wanita itu menyesal selama ini bersikap kurang baik pada putrinya, detik ini menjadi saksi betapa khawatirnya dia jika sampai terjadi hal yang tak diinginkan pada gadis itu.
Beberapa waktu berlalu, seorang perawat keluar dengan tergesa, melewati pihak keluarga yang mulai panik sebab kehebohan di dalam ruangan dingin itu. Perawat kembali bersama dokter lain, mereka bersama-sama masuk dan memberikan pertolongan untuk seorang gadis yang tak sadarkan diri di dalam sana, monitor detak jantung berdengung kencang, Fisa mengerti apa yang terjadi.
Semua orang mendekati pintu, menyaksikan sendiri bagaimana dokter memberi perintah untuk mengaktifkan defibrillator, memberi aba-aba sebelum menempelkan alat tersebut pada tubuh pasien. Keadaan menjadi sangat tegang, ibu Hana menangis dalam pelukan sang suami, sementara Nando menatap datar suasana ricuh di dalam sana.
Fisa melirik Nuria yang menangis memeluknya, meski belum lama mereka mengenal Hana tapi kebaikan gadis itu seolah memiliki tali temali yang terikat kuat di hati masing-masing, bahkan Fisa menyaksikan wajah tegang Arjuna, Haikal dan Pandu, tak ada yang baik-baik saja di tempat itu.
Keadaan berlangsung cukup lama, bahkan dokter hampir saja menyerah, menyatakan pasien telah tiada. Diam-diam Fisa meraih cermin kecil yang dibawanya, mengarahkan cermin ke arah tubuh Hana yang berbaring dalam ruangan, cahaya putih di kaki gadis itu belum menyentuh pusar, yang artinya Hana masih hidup.
“Bagaimana? Hana masih ada kan?” bisik Nuria disela isak tangisnya, Arjuna turut melirik Fisa, di wajah lelaki itu terdapat pertanyaan yang sama.
“Dia masih hidup,” jawab Fisa.
“Dari mana kamu tahu?” Pandu yang tak sengaja mendengar percakapan ketiganya bertanya heran, tapi Fisa, Nuria bahkan Arjuna tak menghiraukannya. Memilih fokus menyaksikan dokter yang terus berusaha menyelamatkan Hana.
Nando mulai bereaksi, meninju dinding bata dengan nafas yang tersengal, matanya memerah dan sorotnya meredup, ada penyesalan yang begitu dalam bergelayut dalam tatapannya yang bergetar. Lelaki itu berusaha kuat meredam gejolak hati, sementara Haikal datang mendekat untuk menenangkannya.
“Sabar Bro, kita doakan saja semoga ada keajaiban,” kata Haikal menepuk pelan pundak lelaki itu, Nando melirik sekilas sebelum tubuhnya merosot dengan kedua tangan memeluk lutut, lelaki itu hancur, tak ada yang tahu betapa besar cintanya pada gadis di dalam sana.
Selama ini mati-matian mengabaikan Hana karena ibu gadis itu yang terus meneror keluarganya, sehingga orang tuanya sendiri berusaha menjauhkan dirinya dari Hana.
“Aku yang salah, aku yang tak tegas, seharusnya aku tak meninggalkannya apapun yang terjadi, kalau dia pergi aku tak akan bisa memaafkan diriku sendiri,” gumam lelaki itu. Arjuna datang mendekat, mengusap pelan pundak Nando, tak ada satupun kalimat yang lolos dari mulut mereka, hanya berharap usapan kecil di pundak itu menandakan jika Nando tak sendiri, ada mereka di sini.
Fisa merasa situasi ini sama seperti saat-saat menjelang kematian kakeknya, saat itu dokter mengupayakan keselamatan sang kakek, bahkan keluarga tak henti membaca doa dan mengaji, tapi takdir tetap akan berjalan sesuai mestinya, tak ada yang bisa mencegah.
Arjuna menyadari perubahan sikap Fisa, ia meminta Pandu dan Haikal terus menemani Nando, sementara dirinya membawa Fisa duduk di kursi tunggu, menenangkan gadis itu yang mulai terisak. “Tarik nafas dan hembuskan, lakukan sampai kamu tenang, Naf,” titahnya.
Fisa melaksanakan perintah Arjuna, menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Tak butuh waktu lama hingga detak jantungnya mulai normal, Fisa bersyukur penyakit paniknya tak kambuh di saat seperti ini, ia mengucapkan terimakasih pada Arjuna yang sigap membantunya.
Dan disaat yang sama, Nuria menjerit memanggil mereka. “Fisa, Kak Arjun, Hana selamat!” kata gadis itu.
...