Malam itu, Ajela dijual oleh ibunya seharga satu miliar kepada seorang pria yang mencari gadis perawan. Tak ada yang menyangka, pria tersebut adalah aku! Aku yang membeli Ajela! Dia dipaksa menjalani sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya, dan Mama masih tega menganggap Ajela sebagai wanita panggilan?
Ajela dianggap tak lebih dari beban di keluarganya sendiri. Hidupnya penuh penderitaan—dihina, diperlakukan tidak adil, bahkan sering dipukuli oleh ibu dan kakak tirinya.
Demi mendapatkan uang, Ajela akhirnya dijual kepada seorang pria yang mereka kira seorang tua bangka, jelek, dan gendut. Namun, kenyataan berkata lain. Pria yang membeli Ajela ternyata adalah pengusaha muda sukses, pemilik perusahaan besar tempat kakaknya, Riana, bekerja.
Bagaimana Riana akan bereaksi ketika menyadari bahwa pria yang ia incar ternyata adalah orang yang membeli Ajela? Dan bagaimana nasib Ajela saat malam kelam itu meninggalkan jejak kehidupan baru dalam dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Riana membasuh wajahnya dengan air. Sudah hampir 30 menit ia menghabiskan waktu di toilet.
Perlakuan Alvian kepadanya benar-benar melukai perasaan dan harga dirinya sebagai wanita.
Riana memandangi pantulan wajahnya di cermin. Padahal menurutnya ia sangat cantik.
Bahkan di kantor ini tidak ada staf yang lebih cantik dibanding dirinya. Ia menjadi incaran beberapa pria. Seharusnya dengan modal kecantikan ini ia bisa mendapatkan Alvian seperti cerita di novel-novel ketika sang bos jatuh cinta dengan sekretaris yang cantik. Tetapi, mengapa Alvian berbeda? Mengapa tak sedikit pun Alvian meliriknya?
Riana masih terperangkap dalam sakit hati ketika mendengar suara cekikikan beberapa wanita yang baru saja masuk ke toilet.
"Kasihan sekali si Riana itu.
Padahal selama ini dia sudah bercita-cita jadi nyonya bos tapi akhirnya gagal," ucap salah seorang wanita.
"Makanya jangan mimpi terlalu tinggi, kalau jatuh kan sakit ," tambah salah wanita lainnya.
"Aku tidak bisa bayangkan seberapa malunya dia malam itu. Ditinggal sama Pak Alvian di puncak acara."
"Kalau aku jadi Riana, aku akan bunuh diri."
Tawa tiga wanita itu menggema di toilet. Tangan Riana terkepal geram. Ingin sekali ia jambak satu-persatu rambut wanita-wanita itu. Tak tahan, ia pun segera membuka pintu dan keluar. Tiga wanita yang baru saja membicarakan dirinya itu tampak cukup syok.
"Berani sekali kalian bicara yang tidak-tidak tentangku!" bentak Riana penuh murka.
Tiga wanita itu terdiam. Tak menyangka jika wanita siluman ini ada di salah satu bilik toilet. Semuanya pun diam, tak ada yang berani melawan.
"Ingat ya, pertunanganku dengan Alvian tidak batal tapi hanya ditunda. Semalam Alvian ada urusan penting yang tidak bisa ditinggal. Pertunangan dan pernikahan kami pasti akan tetap dilanjutkan."
Hening! Sejauh ini tak ada yang berani menyahut.
"Dan ingat satu hal lagi, begitu aku menikah dengan Alvian, kalian bertiga akan jadi orang pertama yang kupecat dengan tidak terhormat. Ngerti?"
Riana menatap marah. Lantas keluar dari toilet dengan membanting pintu kasar.
**
**
Ajela menatap seorang perawat wanita yang sedang memeriksa kondisi tubuhnya. Ia terbangun beberapa menit lalu dan merasakan sakit yang menjalar di sekitar perut. Beruntung sekarang sakitnya perlahan mulai berkurang setelah perawat memberinya suntikan obat.
Tangan Ajela yang terasa lemas tak bertenaga bergerak meraba area perut. Perut yang biasanya buncit itu kini tampak rata. Ke manakah bayi di dalamnya?
"Suster, anak saya di mana?" tanyanya nyaris berbisik.
Perawat wanita itu tersenyum ramah. "Anak Ibu lahir dengan selamat meskipun prematur.
Untuk sekarang sedang menjalani perawatan di ruangan khusus bayi ."
Ada rasa haru bercampur sedih menjalar ke hati.
"Laki-laki atau perempuan, Sus?" Ajela memang tidak mengetahui jenis kelamin anaknya selama kehamilan, sebab ia tak pernah melakukan pemeriksaan USG karena keterbatasan biaya.
"Laki-laki."
Ajela menjatuhkan air mata. Ingin rasanya ia peluk putranya. Tetapi, saat terbangun bayi kecil itu tak berada di sisinya. Ia benar-benar ingin menjerit.
"Tapi dia baik-baik saja, kan?"
"Kondisinya sudah semakin membaik dalam beberapa hari ini.
Semoga secepatnya bisa keluar dari ruang NICU."
Ucapan suster tak langsung membuat Ajela bernapas lega.
Sekarang wanita itu fokus dengan ruangan tempatnya berbaring.
Kamar luas ini sama sekali tidak mirip seperti rumah sakit, melainkan terlihat seperti kamar hotel yang mewah. Ada beberapa fasilitas di dalamnya yang pasti tidak ada di ruang perawatan kelas 3 yang biasa dilihat Ajela .
"Suster, siapa yang bawa saya ke sini?"
"Suami Ibu yang bawa ke sini."
Kening Ajela berkerut tipis.
Hatinya dipenuhi pertanyaan.Suami yang mana? Ajela bahkan belum menikah. Ajela merinding membayangkan berapa biaya yang akan ia bayarkan selama beberapa hari dirawat di ruangan ini. Sementara ia hanya memiliki uang 25 ribu rupiah di dompet.
Ingatan Ajela berputar pada kejadian sebelumnya. Ia tergesa-gesa meninggalkan hotel setelah menyadari acara pertunangan itu ternyata untuk Alvian dan Riana. Satu hal yang menjadi pertanyaan Ajela , mengapa Riana malam itu didampingi wanita asing dan bukan ibunya. Ajela lebih terkejut lagi saat mendapati Bu Nana berada di dalam gedung hotel, namun bukan sebagai ibu dari mempelai wanita, tetapi sebagai pekerja yang sedang membantu membersihkan peralatan makan.
"Sebenarnya apa yang terjadi ?
Ajela masih berkutat dengan pikirannya sendiri ketika pintu ruangan itu terbuka. Dalam sekejap suasana ruangan itu terasa mencekam bagi Ajela . Bagaimana tidak, sosok yang paling ditakutinya muncul di sana. Alvian Setyo Darmawan, lelaki yang pernah mengancam akan meluluh-lantakkan hidupnya tanpa sisa jika berani macam-macam.
Tubuh Ajela gemetar. Dalam hitungan detik keningnya berkeringat. Kehadiran Alvian di tempat itu membuatnya menyimpulkan bahwa lelaki itulah yang sudah membawanya ke rumah sakit. Berbagai pikiran buruk sudah muncul di benak Ajela . Mengkhawatirkan keselamatan putranya.
Ajela mengalihkan pandangannya ke arah lain dan tak berani lagi menatap Alvian. Entah harus ke mana untuk mendapatkan tempat yang aman untuk hidup. Sekeliling terasa penuh dengan orang jahat.
Setelah mengerjakan tugasnya memeriksa, sang perawat tadi keluar dari ruangan. Meninggalkan Ajela dan Alvian berdua. Ingin sekali Ajela menjerit dan meminta agar tidak ditinggalkan berdua dengan monster ini.
"Bagaimana keadaan kamu?"
Ajela tersentak mendengar pertanyaan itu. Namun, ia menemukan nada ramah dalam suara Alvian.
"Sa-saya baik-baik saja, Tuan." Ada getaran dalam suara Ajela kala menjawab pertanyaan Alvian.
Lelaki tampan dengan sejuta pesona itu menarik kursi dan duduk tepat di sebelah pembaringan Ajela . Membuat wanita itu ingin segera berlari ke mana saja untuk menghindar. Tapi apa daya, fisiknya benar-benar lemah. Untuk sekedar bergerak pun Ajela kesulitan.
"Oh ya, bagaimana kamu bisa jatuh dari tangga malam itu?"
Selama beberapa saat Ajela membungkam. Mau menjawab takut, diam saja juga takut. Alvian adalah sosok yang terlalu menakutkan baginya. Salah menjawab sedikit saja mungkin Ajela akan menyesal seumur hidup.
"Saya tidak tahu, Tuan. Saya hanya merasa seperti didorong seseorang."
Alvian menatap wanita itu secara intens. "Didorong?"
Ajela mengangguk.
"Kamu melihat orangnya?"
"Ti-tidak. Saya tidak melihat."
Alvian diam sejenak. Sedang menarik kesimpulan dalam pikirannya tentang jawaban Ajela .
Apa mungkin Bu Nana yang sengaja mendorong Ajela ?
Bukankah malam itu Bu Nana juga ada di acara pertunangan itu.Alvian pikir harus menyelidiki rekaman CCTV hotel.
"Terima kasih sudah menolong saya, Tuan. Maaf sudah membuat Anda repot. Saya akan mengganti biaya yang Anda keluarkan begitu punya uang."
Alvian tak menyahut dengan kata ataupun senyum. Melainkan hanya dengan tatapan datarnya.
"Sebenarnya ada hal penting yang mau aku tanyakan dan aku ingin kamu jujur."
Ajela menajamkan pendengaran untuk menyimak.
"Siapa ayah biologis dari anak yang kamu lahirkan?" Pertanyaan itu membuat jantung Ajela terpompa lebih cepat. Pertanyaan itu seperti sebuah ancaman baginya. Seorang Alvian Setyo Darmawan mana mungkin sudi memiliki anak dengan wanita tidak layak dan miskin sepertinya.
Paling-paling Alvian akan mencelakai putranya jika tahu.
Sepasang mata Ajela terpejam. Berusaha menahan rasa sakit yang menyiksa. "Bukan Anda, Tuan. Saya hamil dari laki-laki lain. Saya mengatakan yang sebenarnya."
Alvian tidak terkejut lagi mendengar jawaban Ajela . Ia sudah menduga jawaban seperti itu yang akan ia berikan. Alvian tidak akan memaksa, namun akan membuktikan dengan tes DNA meskipun tanpa sepengetahuan Ajela .
"Oh ya, di mana keluargamu?
Aku mau menghubungi keluargamu untuk memberitahu bahwa kamu di sini tapi kamu tidak memiliki hape."
Ajela merasakan hatinya bak disayat sembilu. Pertanyaan Alvian mengingatkan Ajela akan kesendirian. Ya, Ajela sebatang kara di dunia ini. Tidak memiliki siapapun untuk bersandar atau sekedar mengadu.
"Saya tinggal sendiri. Saya tidak punya siapa-siapa lagi, Tuan ."
"Jadi siapa yang menjualmu malam itu? Dan kenapa malam itu di badanmu ada banyak bekas lebam?"
Ajela bungkam seketika.
Hanya bola matanya yang dipenuhi cairan bening dan Alvian melihat itu. Entah mengapa hati Alvian ikut berdenyut nyeri melihat pancaran luka dari sepasang mata Ajela .
"Baiklah. Tidak usah jawab. Aku tidak akan memaksa."
**
**
Pengakuan Ajela tentang penyebabnya terjatuh di eskalator menimbulkan tanda tanya di pikiran Alvian. Demi membuktikan kecurigaannya, lelaki itu mendatangi pihak hotel untuk meminta diputarkan rekaman CCTV.
Bersama Galih, Alvian kini sudah berada di ruang kendali hotel. Seorang petugas sedang membantu memutarkan rekaman CCTV yang diambil dari berbagai sudut.
"Kira-kira pukul berapa kejadiannya?" tanya sang petugas hotel.
Alvian dan Galih saling pandang. Jika ditanya jam berapa pastinya, mungkin mereka tak tahu. "Aku tidak begitu ingat, tapi antara pukul tujuh sampai pukul delapan," jawab Alvian.
Pria yang duduk di kursi itu mulai memutar rekaman di jam yang diminta Alvian. Terlihat suasana hotel sangat ramai oleh para tamu. Dahi Alvian sempat berkerut ketika menemukan potongan rekaman di mana Riana dan Mami Trisha alias mami palsu berbicara di depan pintu masuk dengan Bik Nana. Riana bahkan sempat memeluk Bik Nana.
"Kamu tidak merasa aneh dengan interaksi mereka?" tanya Alvian.
Galih turut melihat rekaman yang ditunjuk Alvian. "Sepertinya biasa saja. Bukankah Bik Nana itu memang bekas pembantunya Riana? Mungkin Riana dan maminya sedang menyapa Bik Nana."
Alvian mengangguk pelan. Namun, kemudian teringat pada pertemuan pertama dengan Ajela di kafe tempatnya bekerja. "Tapi Riana pernah mengatakan bahwa Ajela adalah bekas tetangganya. Kalau Ajela adalah anak Bik Nana, berarti sebelumnya mereka pernah bertetangga, kan?"
Alvian mengasah otak.Mencoba menyimpulkan rentetan hal aneh yang ia temukan. Rasanya sangat ganjil jika Riana terkesan sangat menghormati Bik Nana, tetapi di sisi lain sangat membenci Ajela yang katanya wanita panggilan.
Hingga akhirnya perhatian Alvian tertuju pada layar monitor yang memperlihatkan detik-detik Ajela keluar dari ballroom hotel dengan terburu-buru. Mata Alvian berkilat marah kala menemukan Bik Nana mengikuti Ajela dan mendorongnya hingga terjatuh terguling di eskalator.
Kedua tangan Alvian mengepal kuat hingga pembuluh darahnya tampak menonjol. Amarah membuat tubuhnya serasa panas bak dilahap api. Apalagi selepas mendorong Ajela ia berlalu begitu saja.
"Bangsat! Ibu macam apa dia!" Alvian menggerutu geram.
Galih melirik Alvian. Ia merinding. Pasalnya belum pernah sebelumnya Galih melihat Alvian semarah ini. Meskipun terkesan sedikit angkuh dan dingin, namun Alvian adalah tipe orang yang pandai mengendalikan amarahnya.
"Dia bukan hanya hampir membunuh Ajela , tapi juga hampir mencelakai anakku. Lihat saja bagaimana aku akan membalasnya ."
Bersambung ~