Caca, seorang mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa di London, terpaksa bekerja sebagai pengasuh anak CEO kaya, Logan Pattinson, untuk mencukupi biaya hidup yang mahal. Seiring waktu, kedekatannya dengan Logan dan anaknya, Ray, membawa Caca ke pusat perhatian publik lewat TikTok. Namun, kisah cinta mereka terancam oleh gosip, kecemburuan, dan manipulasi dari wanita yang ingin merebut Logan. Ketika dunia mereka dihancurkan oleh rumor, Caca dan Logan harus bertahan bersama, menavigasi cinta dan tantangan hidup yang tak terduga. Apakah cinta mereka cukup kuat untuk mengalahkan segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cherryblessem, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Surrey
...Jangan lupa klik like dan komentar ya teman-teman! Mohon dukungannya untuk cerita ini! Terimakasih banyak semua! ❤️❤️...
...****************...
Caca melangkah dengan penuh rasa ingin tahu, matanya terpaku pada setiap sudut kapel keluarga Pattinson yang begitu megah dan penuh sejarah. Begitu mereka memasuki ruang utama, pemandangan di depan mata langsung memukau. Tiang-tiang besar yang terbuat dari batu marmer, langit-langit dengan lukisan-lukisan indah yang menggambarkan kisah-kisah leluhur keluarga Pattinson, dan cahaya lembut yang masuk melalui jendela kaca patri yang berwarna-warni, menciptakan atmosfer sakral dan mistis di dalam ruangan. Caca tak bisa menahan diri untuk mengeluarkan ponselnya dan merekam setiap momen, seakan tempat ini adalah sebuah karya seni yang harus diabadikan.
"Semua di sini sangat indah," kata Caca dengan suara rendah, matanya berbinar penuh kekaguman. "Seperti dunia lain yang ada di dalam sejarah."
Logan berjalan di sampingnya, tampak tenang meski tetap memperhatikan Caca yang tampak sangat terkesima. "Di kapel ini, seluruh keluarga Pattinson dimakamkan," jelas Logan dengan nada yang lebih serius. Ia menuntun Caca menuju area pemakaman keluarga, yang terletak di sisi kapel. "Ini adalah bagian dari warisan keluarga kami yang sudah ada sejak berabad-abad."
Di depan mereka, terdapat peti mati besar dan beberapa makam lainnya yang dihiasi dengan ukiran-ukiran rumit yang menggambarkan sosok-sosok keluarga Pattinson di masa lalu. Caca berdiri di sana sejenak, mencoba membayangkan betapa besar dan kuatnya pengaruh keluarga ini di masa lalu. "Antik sekali," ucap Caca terpesona, suaranya bergetar sedikit, seolah menghargai kedalaman sejarah yang ada di sana.
Logan hanya tersenyum kecil. "Aku tak pernah membayangkan akan membawa seseorang ke sini," katanya pelan, mungkin lebih pada dirinya sendiri, merasa sedikit canggung dengan kehadiran Caca yang begitu terpesona dengan segala hal yang ada di sekitar mereka.
Setelah itu, Logan mengajak Caca berkeliling ke bagian lain dari kapel, menuju ruang yang lebih pribadi di mana keluarga Pattinson menyimpan berbagai relikui dan peninggalan bersejarah mereka. Di balik sebuah pintu kayu besar, terdapat ruangan dengan rak-rak kayu yang penuh dengan benda-benda bersejarah, beberapa di antaranya tampak sangat tua, tetapi terawat dengan sangat baik.
Caca melangkah dengan hati-hati, matanya penuh rasa ingin tahu. "Wah… jujur saja, Tuan Pattinson, aku tak pernah membayangkan hal ini," katanya dengan nada kagum. "Aku seperti dibawa kembali ke masa lalu. Pusaka-pusaka ini, apa aku benar-benar boleh melihatnya?"
Logan tertawa ringan, menatap Caca dengan mata lembut. "Kau bebas melakukan apapun di sini, selama ada aku yang menemanimu," jawabnya dengan suara yang tenang dan penuh pengertian.
Mendengar kalimat itu, Caca merasa pipinya merona. Ada sesuatu dalam cara Logan berbicara yang membuat hatinya berdebar, meskipun ia tak tahu persis mengapa. Kejutan dan kekaguman atas tempat itu seolah membuatnya melupakan segalanya sejenak, dan fokus hanya pada momen itu. Untuk pertama kalinya, ia merasa terhubung dengan tempat dan dengan Logan, dengan cara yang tidak bisa ia jelaskan.
"Aku akan mengingat semua detil tempat ini dengan baik," kata Caca akhirnya, sambil mengamati desain kapel yang kuno dan penuh detail. "Sangat indah."
Logan mengangguk, senyumnya lembut. "Aku senang kamu menyukainya," jawabnya, matanya tidak hanya tertuju pada Caca, tetapi juga pada ruangan yang penuh dengan kenangan keluarga itu.
Caca mengangguk, hatinya masih dipenuhi dengan kekaguman. Tak ada tempat lain yang bisa ia bayangkan akan memberikan perasaan ini, tempat yang menyimpan begitu banyak sejarah dan cerita. Dan di sinilah, di antara reruntuhan waktu dan masa lalu keluarga Pattinson, ia merasakan ketenangan yang mungkin tidak akan ia temui di tempat lain.
-
Setelah menghabiskan waktu di kapel keluarga Pattinson, Logan dan Caca memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju Surrey Hills. Udara segar dan tenang menyambut mereka saat mereka melangkah menuju jalur setapak yang menuju perbukitan.
"Tempat ini selalu membuatku merasa tenang," kata Logan, suaranya serak, meskipun nada kelelahan masih terasa di dalamnya. Namun, wajahnya terlihat sedikit lebih ringan, seiring dengan setiap langkah mereka yang membawa mereka lebih jauh dari kesedihan yang tadi menyelimuti hati.
Caca mengangguk setuju. Meskipun baru pertama kali mengunjungi Surrey Hills, ia bisa merasakan kedamaian yang terpancar dari setiap sudut alam yang terbentang di hadapan mereka. Bukit-bukit yang hijau, pepohonan yang bergoyang pelan tertiup angin, dan suara riang burung yang berkicau membuatnya lupa akan segala kepenatan.
Mereka berjalan perlahan, menyusuri jalur setapak yang dikelilingi semak-semak rendah. Pemandangan di sekitar mereka sungguh menakjubkan—hamparan padang rumput yang luas, dengan ladang bunga liar yang bermekaran di sepanjang jalan. Di kejauhan, Caca bisa melihat kota-kota kecil yang tersembunyi di balik bukit, rumah-rumah tradisional yang terjalin dengan alam, seakan hidup dalam keharmonisan yang sempurna.
Ray, yang awalnya duduk di gendongan Caca, kini melompat turun dengan ceria, berlarian di sepanjang jalur tanah, menikmati kebebasan yang jarang ia rasakan di kota besar. Caca tersenyum melihatnya, merasakan kehangatan yang baru setelah seharian dipenuhi dengan kenangan yang berat. Tak lupa, ia mengambil ponselnya untuk mengambil gambar dan video sebanyak mungkin sebagai kenangan dan konten.
"Apakah kamu sering ke sini?" tanya Caca sambil melirik Logan, yang tampak lebih rileks dari biasanya. Mungkin alam ini memiliki kemampuan untuk menyembuhkan luka yang dalam.
"Ya, ini tempat yang aku kunjungi saat aku membutuhkan waktu untuk sendiri," jawab Logan sambil menatap pemandangan yang terbentang luas di depan mereka. "Di sini, aku bisa merasakan kedamaian, jauh dari semua hal yang mengganggu."
Caca mengangguk, meresapi kata-kata Logan. Dia bisa memahami betapa pentingnya tempat seperti ini bagi seseorang yang telah kehilangan orang yang begitu berarti dalam hidupnya. Mungkin di sini, di antara bukit-bukit yang sepi dan padang rumput yang tak terbatas, Logan bisa menemukan sedikit ketenangan setelah perasaan yang berkecamuk selama dua tahun belakangan.
Mereka terus berjalan, mengikuti jalur yang mengarah ke titik tertinggi bukit, tempat mereka bisa melihat panorama luas dari seluruh kawasan. Caca merasa seolah-olah dunia berhenti sejenak di sini, di tengah alam yang menenangkan. Begitu mereka mencapai puncak, mereka berhenti sejenak, menghela napas, dan mengagumi keindahan yang ada di depan mata. Awan-awan putih melayang rendah di langit biru, dan di bawah kaki mereka, hamparan hijau yang tak berujung berkilau diterpa cahaya matahari senja.
"Indah sekali," kata Caca, hampir berbisik, tak ingin mengganggu kedamaian ini.
"Ya," jawab Logan pelan, matanya mengamati cakrawala, "Kadang kita hanya perlu melupakan segalanya dan menikmati keindahan yang ada."
Caca mengangguk, merasa tersentuh dengan kesederhanaan dan kedalaman kalimat itu. Di tempat yang begitu tenang, seolah-olah semua masalah dunia bisa dilupakan, dan mereka hanya ada di sini, bersama alam, dan sesaat merasakan keheningan yang mengisi ruang di antara mereka.
Logan mengamati Caca yang sibuk mengambil gambar pemandangan dengan penuh perhatian. Lalu, dengan senyuman yang lembut, dia mengajukan pertanyaan yang membuat Caca sedikit terkejut. "Mau ku foto?" tanyanya, matanya penuh kehangatan.
Caca tersipu, merasa sedikit canggung. Terkadang, berada di dekat bosnya membuatnya ragu untuk bersikap terlalu bebas. "Ah, Tuan, tak perlu repot," jawabnya, mencoba merendah. "Aku hanya ingin mengambil pemandangannya saja, kok."
Namun, Logan hanya tersenyum lebih lebar, mengulurkan tangannya untuk mengambil ponsel Caca dengan gerakan yang santai. "Bergayalah, aku akan memotretmu," katanya, suara Logan terdengar ringan. "Meskipun mungkin, aku bukan fotografer yang baik."
Caca tertawa kecil mendengar ucapan Logan yang penuh canda. Meski sedikit merasa tidak enak, senyum ramah Logan membuatnya merasa lebih nyaman. Ia memutuskan untuk mengikuti permintaan itu tanpa banyak pikir.
Sementara itu, Ray yang sedang berlari riang di sekitar bukit, menikmati kebebasannya dari dunia kota, tampak menyadari kegiatan mereka dan berlari menuju mereka. Caca, yang melihatnya, mengajak Ray bergabung dalam foto.
Mereka bertiga kemudian ber-selfie ria, dengan pemandangan alam yang menakjubkan di latar belakang. Caca merasakan momen yang langka ini begitu berharga, melihat Ray yang ceria, Logan yang santai, dan dirinya yang merasa lebih ringan setelah semua yang terjadi.
Setelah sesi foto berakhir, Logan tersenyum, dan Caca merasakan kehangatan dari senyuman itu. Ada sesuatu yang berbeda kali ini—sesuatu yang membuatnya merasa lebih dekat, meski dalam kesederhanaan. Mungkin, di antara bukit-bukit hijau Surrey ini, mereka semua bisa menemukan ruang untuk merasakan kedamaian. Di tempat ini, dengan segala kesederhanaannya, mereka bisa berhenti sejenak dan membiarkan dunia yang penuh beban itu melintas jauh di bawah kaki mereka.
-
Matahari telah tenggelam sempurna saat mereka keluar dari Surrey Hills, meninggalkan lanskap perbukitan yang perlahan diselimuti kabut tipis senja. Tidak seperti pagi tadi yang penuh keheningan canggung, perjalanan kali ini terasa lebih santai. Mereka berbicara tentang berbagai hal kecil, mulai dari masa kecil Ray hingga ide Caca untuk memposting kesehariannya bersama Ray di akun TikTok. Gelak tawa dan percakapan ringan itu seolah menghapus batasan yang selama ini Caca rasakan antara dirinya dan Logan.
Mobil berhenti di depan sebuah restoran tradisional khas Inggris, sebuah bangunan batu bata tua dengan lampu-lampu temaram yang memancarkan kesan hangat. Logan memarkir mobil dengan tenang, kemudian membantu Ray keluar dari kursinya. Mereka berjalan masuk bersama, disambut oleh aroma hangat dari roti panggang dan sup krim. Logan segera meminta meja yang lebih privat. Seorang pelayan dengan senyum ramah mengantarkan mereka ke lantai dua, ke sebuah meja dengan sekat kayu ukiran yang menambah kesan eksklusif dan intim.
Logan tidak membuang waktu. Saat pelayan memberikan menu, ia langsung memesan hidangan terbaik restoran itu. Caca tersenyum lega; ia selalu merasa canggung ketika harus memilih makanan sendiri di tempat yang tidak familiar.
“Bagaimana menurutmu?” Logan tiba-tiba bertanya setelah pelayan pergi.
Caca menoleh dengan bingung. “Apa?” tanyanya pelan, tidak yakin maksud Logan.
Logan tersenyum kecil, matanya yang biasanya tampak serius kini terlihat lebih lembut. “Restorannya,” ia mengulang. “Bagus, bukan?”
“Oh, ya. Sangat bagus,” jawab Caca cepat, sambil menggigit bibirnya sendiri. “Desainnya khas sekali. Saya suka detail-detail tradisionalnya.”
Logan tertawa kecil melihat kecanggungan Caca. Ia tidak menanggapi lebih jauh, hanya mengangguk puas. Sementara itu, Ray mulai mengetuk-ngetukkan sendok kecilnya di meja, membuat suara nyaring yang mengisi ruang kecil mereka. Caca dengan sigap menggantinya dengan mainan, memastikan suasana tetap tenang.
Ketika pandangannya menyapu ruangan, Caca merasa takjub. Dinding-dinding batu dengan dekorasi klasik, lampu gantung berbentuk lentera, hingga jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota kecil di bawah. Ia merasa seperti berada di dunia lain. Sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, terlebih karena pekerjaannya sebagai pengasuh Ray.
“Kau tidak memotret?” tanya Logan tiba-tiba, memecah lamunan Caca.
Pertanyaan itu membuat Caca tersipu. Ia memang sering memotret sepanjang perjalanan mereka, tapi kali ini ia ragu. “Tidak, Tuan. Saya tidak ingin mengganggu momen keluarga Anda,” jawabnya pelan.
Logan mengangkat alis, lalu menggeleng dengan senyum tipis. “Kau tidak mengganggu. Kau bagian dari momen ini.”
Kata-kata itu menghantam Caca lebih dalam dari yang ia duga. Ia terdiam sejenak, mencoba memahami apa maksud Logan. Dengan sedikit ragu, ia akhirnya mengambil ponsel dari tasnya, tetapi ia hanya mengecek pesan-pesan, seolah-olah mencoba mencari alasan untuk tidak langsung memotret.
“Biar aku yang memotretmu,” ujar Logan tiba-tiba, mengambil ponselnya.
“T-Tuan... tidak perlu...” Caca mencoba menolak, tetapi Logan hanya tersenyum.
“Tidak apa-apa,” katanya. “Siapa Yang tahu kapan kau bisa kembali ke tempat seperti ini?”
Caca merasa tersentuh. Tanpa sadar, ia mulai berpose sederhana, meskipun masih canggung. Logan memotret beberapa kali, dan tawa kecil mulai mengisi ruang di antara mereka. Seiring waktu, suasana menjadi lebih santai. Caca bahkan mulai mengajarkan Logan beberapa trik sederhana untuk mengambil foto yang lebih baik.
Ketika makanan tiba, Logan memperhatikan kebiasaan Caca memotret makanan terlebih dahulu. “Ambil saja fotonya dulu,” katanya santai, membuat Caca tersipu.
Mereka menikmati hidangan istimewa seperti Beef Wellington yang empuk, Shepherd’s Pie dengan aroma rempah yang menggugah, dan Sticky Toffee Pudding sebagai penutup manis. Sebelum mulai makan, Caca dengan sabar menyuapi Ray. Anak kecil itu sudah diajari makan sendiri, tetapi sesekali masih berantakan. Melihat Ray makan dengan riang membuat senyum Caca tidak henti-hentinya terpancar.
“Caca,” panggil Logan tiba-tiba. Nada suaranya lebih serius, tetapi tetap lembut.
Caca mengangkat wajahnya, sedikit terkejut. “Ya, Tuan?”
Logan menatapnya sejenak sebelum berbicara. “Bisakah kau memanggilku Logan saja?”
Mata Caca membulat. “Tapi... itu—”
“Aku tidak ingin kita terlalu kaku,” Logan memotong dengan tenang. “Aku ingin kau merasa nyaman. Bukankah kita sudah cukup mengenal?”
Caca hanya bisa mengangguk pelan, merasa bingung dan gugup. Kata-kata Logan terus berputar di pikirannya, menciptakan perasaan hangat yang sulit ia jelaskan. Apakah ia mulai terlalu nyaman? Atau mungkin... sesuatu yang lebih dari itu? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuinya sepanjang malam.
oh ya cerita ini menurut aku sangat menarik. apalagi judul nya jangan. lupa dukung aku di karya ku judul nya istri kecil tuan mafia