"Dengerin saya baik-baik, Ellaine! Kamu harus jauhin Antari. Dia bakal kuliah di luar negeri dan dia bakal ngikutin rencana yang saya buat. Kamu nggak boleh ngerusak itu. Ngerti?"
Gue berusaha ngontrol napas gue. "Nyonya, apa yang Ella rasain buat dia itu nyata. Ella—"
"Cukup!" Dia angkat tangannya buat nyuruh gue diam. "Kalau kamu beneran sayang sama dia, kamu pasti pengen yang terbaik buat dia, kan?"
Gue ngangguk pelan.
"Bagus. Karena kamu bukan yang terbaik buat dia, Ellaine, kamu tahu itu. Anak dari mantan pelacur, pecandu narkoba nggak pantas buat cowok kayak Antari."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiket VIP
...Ellaine...
...────୨ৎ────જ⁀➴...
Gue harus jauhi Antari.
Itu sudah jelas banget dari pertemuan-pertemuan terakhir kita. Jarak yang gue pasang di antara kita ternyata masih belum cukup.
Tapi barusan itu apa?
Kenapa jantung gue deg-degan seperti itu?
Mungkin gue masih belum terbiasa sama perubahan dia, seberapa banyak dia sudah tumbuh dan berubah.
Itu doang.
Tapi tetap saja, bayangan mukanya deket banget sama muka gue masih terngiang-ngiang. Gimana gue sempat memperhatikan tiap lekuk wajahnya, melihat sorot matanya yang dalam, rahangnya yang tegas dengan janggut tipis yang rapi, dan badannya…
Sudahlah, gue males mikirin itu lagi.
Pas dia masuk dapur tanpa baju, gue harus nahan diri mati-matian biar gak kelihatan keganggu. Antari tuh ganteng banget, dan dia sadar betul soal itu.
"Terus kenapa lo selalu kabur dari gue? Lo takut sama apa?"
Suara beratnya, napasnya yang nyentuh bibir gue, sumpah, itu masih ganggu gue sampai sekarang.
Gue geleng-geleng kepala sendiri. Mungkin gue cuma tertarik sama dia secara fisik. Dia kan memang cowok yang menarik, wajar aja kalau reaksi gue begitu. Itu doang alesannya kenapa jantung gue kemarin berdebar seperti orang tolol.
Gue memang ogah banget ngaku kalau gue ada ketertarikan sama dia. Tapi setidaknya, sekarang gue bisa ngerti kenapa badan gue bereaksi seperti gitu tiap kali dia ada di deket gue.
Gue coba lupain kejadian pagi itu. sudah beberapa hari berlalu, gak ada alasan buat gue memikirkan itu.
Seenggaknya Antari juga ngejaga jarak setelah kejadian itu. Gue belum ketemu dia sama sekali. sepertinya dia ngindarin gue, dan gue bersyukur banget. Itu yang terbaik buat kita berdua.
Gue lagi ngelap debu di tirai ruang tamu pas denger suara aneh dari ruang game. Gue langsung mengerutkan dahi.
Oh, jadi akhirnya Zielle, si tetangga, kena juga.
Gue masih ingat bagaimana gugupnya dia tadi waktu nanya soal Anan, dan gue kasih dia masuk. Jadi sekarang mereka berdua…
Ya, gue cukup kaget juga sih, Zielle bisa nahan diri dari pesona Anan selama ini. Soalnya cewek-cewek lain yang dateng sebelum dia?
Sudah kalah di detik pertama. Cuma butuh satu tatapan dan beberapa kata manis dari Anan, dan mereka langsung jatuh.
Gue jalan ke arah lorong buat nyalain musik, biar suara dari ruang game ketutup dikit. Meskipun gue tahu pemilik rumah lagi gak ada dan Antari juga belum pulang, tetep aja, gue jadi ikutan malu sendiri.
Tapi usaha gue sia-sia, karena gue malah melihat Asta diam terpaku di depan pintu.
"Gue gak tahu kalau Anggi dateng."
Gue kasih senyum tipis. "Itu bukan Anggi."
Asta langsung angkat sebelah alis. "Terus siapa?"
Gue buang napas panjang. "Kayaknya anak tetangga belakang."
Asta kelihatan shock banget. "Zielle?"
"Yup, yang itu."
"Anjir… gue gak nyangka. Gue kira mereka musuhan."
Gue angkat bahu. "Kadang, cinta memang suka nyamar jadi kebencian."
Gue jalan ke dapur, Asta ngikutin dari belakang, dan gue bersyukur dia ada di sini. Begitu masuk, suara dari ruang permainan sudah gak kedengeran lagi.
"Mau sandwich kalkun?"
Asta langsung angkat kepalan tangannya buat gue tabrak pakai kepalan gue juga. "Lo udah tahu selera gue."
Gue gak bisa nahan ketawa. "Lo gampang banget dibuat seneng."
"Bisa jadi dia memang gitu." Suara Antari tiba-tiba muncul dari ambang pintu, bikin kita berdua langsung kaku.
Dia pakai setelan kerja khasnya, kelihatan seperti baru pulang. Kehadirannya aja sudah cukup buat merusak momen bagus yang tadi gue punya sama Asta.
"Lo kita bayar buat ngobrol atau kerja, Ellaine?"
Oke, sepertinya dia lagi masuk mode Bajingan hari ini.
Asta langsung maju, berdiri di antara gue dan Antari.
"Udah, Antari. Jangan mulai."
Tapi Antari cuma diam di situ, mandangin kita berdua. Gue buru-buru nyelesein sandwich buat Asta, taruh di meja, terus langsung cabut dari dapur sebelum drama makin panjang.
Baru juga sampe ruang tamu, suara Antari dan Asta mulai meninggi.
Mereka lagi ribut?
Gue noleh pas Antari keluar dari dapur, diikutin Asta yang kelihatan mau ngomong sesuatu. Tapi sebelum dia sempat buka mulut, Zielle tiba-tiba muncul dari lorong ruang permainan dan nabrak gue.
Rambutnya acak-acakan, matanya merah, dan dia nangis. Dia seperti gak sadar ada kita bertiga di situ, langsung keluar rumah dan banting pintu.
Gue, Antari, dan Asta saling lirik dengan tatapan bingung.
"Itu bukannya Zielle?" tanya Antari, dan gue sama Asta langsung kaget. Soalnya cowok ini cuma ingat hal-hal yang dia anggap penting.
Asta langsung mengepalkan tangan, terus jalan ke ruang Game. Sepertinya dia bakal ngasih ceramah ke Anan.
Bagus, sih.
Tapi masalahnya sekarang, gue malah jadi berdua doang sama Antari.
Ini pertama kalinya gue ketemu dia lagi sejak pagi itu. Walaupun dia kelihatan capek abis kerja, setelan dan rambutnya masih rapi banget, seperti elegan itu sesuatu yang nempel alami di dirinya.
Tanpa ngomong apa-apa, gue langsung ke dapur. Tapi Antari ngikutin.
Lagi ngapain sih nih orang?
Dia gak ngerti apa kalau suasana di antara kita masih canggung?
Dia diam di ambang pintu, sementara gue sibuk merapikan beberapa kertas di meja. Gue tadi pagi bawa mereka ke sini buat ngerjain laporan kuliah, tapi belum sempat gue sentuh.
"Ellaine."
Suaranya dingin lagi. Sama seperti waktu dia ngehina gue dulu.
Gue narik napas panjang, terus taruh kertas gue, lalu berbalik ke arahnya.
"Iya, Tuan?"
Oke, kalau lo mau main dingin, gue juga bisa, Antari Batari.
Muka dia kosong. Gak ada sisa-sisa keisengan dari pagi itu, atau kehangatan pas dia nolongin gue waktu mimpi buruk. Kosong.
"Gue mau minta maaf buat kelakuan gue pagi itu. Itu gak pantas. Dan gak bakal kejadian lagi." Nada suaranya stabil. Tegas. Dingin banget. " Gue mau hubungan kita tetep profesional."
Gue silang tangan di dada. "Gue setuju. Gue juga gak pernah minta lebih dari itu. sepertinya lo yang salah paham."
Dan lo gak bakal bisa menang lawan gue di permainan ini, Antari.
Ekspresinya sedikit berubah.
Tersinggung?
Terluka?
Gak tahu.
Tapi dia cepet banget balikin mukanya jadi datar lagi.
"Oke. Itu aja."
Dia kasih gue satu tatapan terakhir sebelum pergi. Begitu dia ngilang, gue baru sadar kalau dari tadi gue nahan napas.
Harusnya gue lega.
Dia sudah minta maaf, sudah tegasin kalau hubungan kita cuma hubungan pekerjaan.
Itu yang gue mau, kan?
Terus kenapa gue malah ngerasa gak enak?
Gue ngerasa seperti abis diputusin, padahal kita bahkan gak punya hubungan.
Gue duduk di meja buat lanjut ngerjain laporan. Gue harus inget prioritas gue, nyokap, kuliah, dan kerjaan. Kalau gue kebawa suasana sama Antari, itu bisa-bisa akan ngancurin semuanya.
Tatapan dinginnya kebayang lagi di kepala gue. Berdiri di sana, pakai setelan rapi, mukanya tanpa ekspresi.
Dingin banget. seperti gunung es.
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
"Ini Jumat!"
Irvy tiba-tiba teriak sambil angkat tangan ke udara.
Kita baru aja keluar dari kampus, sudah hampir jam 10 malem. Presentasi laporan tadi berjalan lancar, dan gue gak bisa bohong, gue ngerasa lega banget.
Senyum kecil muncul di wajah gue.
Irvy langsung megang mulutnya pura-pura kaget. "Eh, itu senyum? Oh Tuhan, ternyata lo bisa senyum juga!""
Gue jitak lengannya. "Jangan mulai."
Dia malah makin senyum lebar.
"Lo kelihatan makin cantik kalau senyum, tahu gak? Kenapa gak sering-sering?"
Gue sangkutkan tangan gue di lengannya sambil jalan ke halte. Kampus kita agak di pinggir kota, tapi untungnya bus masih beroprasi sampe malam.
"Gue gak nyangka presentasi kita bakal sebagus itu."
"Yaiyalah! Dosen aja sampe takjub, gila lo!"
Begitu sampe halte, Irvy nyenderin kepalanya ke bahu gue.
"Kita harus ngerayain!"
"Nah kan, mulai lagi ide gilanya."
Dia langsung melepaskan diri.
"Lo butuh refreshing. Lagian, tadi lo bilang nyokap lo udah tidur sebelum lo berangkat, kan? Ya sudah, yuk minum! Gue yang traktir!"
"Lo tahu sendiri gue bukan pecinta alkohol."
"Karena lo takut kehilangan kendali dan akhirnya bersikap seperti anak muda pada umumnya?"
"Bukan gitu, sebenernya—"
Irvy langsung nutup mulut gue pakai tangannya.
"Gue gak mau denger alasan lo! Gue punya dua tiket gratis ke club malam dengan free flow minuman, dan lo bakal ikut sama gue, Ella."
Gue ngelirik dia, pasrah, terus melepas tangannya dari mulut gue.
"Oke, tapi cuma satu minuman."
Senyumnya langsung melebar.
"Yess! Ayo!"
Kita naik bus ke pusat kota, tempat sebagian besar club malam berada. Ada satu jalan yang penuh sama tempat-tempat seperti itu.
Di dalam bus, Irvy cerita gimana dia dapet tiket itu. Katanya dia ketemu cowok cakep di kafe, terus si cowok gak sengaja numpahin kopi ke bajunya. Sebagai permintaan maaf, dia ngasih tiket club.
"Dia ganteng parah," Gin mendesah. "Tipe cowok berkelas, percaya diri, senyumnya…"
Gue ketawa. "Minggu lalu lo naksir cowok tukang pizza, sekarang lo udah pindah ke yang ini. Lo tuh gimana sih?"
"Itu bakat gue," dia mengedip jahil. "Tapi serius, cowok kafe itu levelnya beda. seperti… Antari."
Nama itu langsung bikin senyum gue lenyap. Irvy, yang peka banget, langsung ngeh.
"Ada sesuatu yang mau lo ceritain?"
"Gak ada." Gue langsung geleng-geleng.
Dia mendelik. "Misterius banget sih. Lama-lama gue bakal nulis novel ala Harry Potter, judulnya: Ellaine dan Misteri Keluarga Batari."
"Lo gila. Tapi… 'keluarga' Batari?" Gue angkat alis. "Gue kira lo cuma penasaran sama Antari?"
Dia nunjuk gue pakai jarinya.
"Soalnya tiap kali gue nyebut Asta, reaksi lo juga aneh. seperti 'ada sesuatu, tapi kalau gue gak ngomong...."
"Lo sadar kan Asta masih 16 tahun?"
"Terus kenapa? Dia tetap punya—"
Gue langsung nampar ringan belakang kepalanya. "Irvy, plis!"
Dia ngakak.
"Santai, gue cuma bercanda! Gue suka aja ngeganggu lo. Sekarang diam, biar gue dandanin lo dikit. Lo kelihatan kayak mahasiswa yang baru kelar kelas."
"Memang iya?"
Gue akhirnya pasrah. Dia merapikan makeup gue, dan gue bahkan gak protes waktu dia pilih lipstik merah terang. Katanya cocok sama warna rambut gue.
Begitu turun dari bus, kita berdua masih pakai outfit santai, jeans, sepatu, dan sweater lengan panjang.
"Kita gak cocok buat ke club kayak gini."
Gin meluruskan rambut gue.
"Kita tetep cantik!" Dia langsung narik tangan gue dan ngajak jalan ke arah jalanan penuh club.
Rame banget. Ada yang ngerokok di luar club, ada yang sekadar jalan-jalan. Semua orang terlihat rapi dan keren, cewek-cewek pakai dress pendek atau atasan kece, sementara cowok-cowok juga tampil stylish.
"Serius deh, kita salah kostum."
"Udah ah, stop," Irvy bales santai sambil nuntun gue ke ujung jalan, ke sebuah club yang paling besar dan terlihat paling eksklusif. Gak ada antrean di depan, cuma ada tulisan "Only VIP & Guest Entry".
Pas gue lihat nama club-nya, gue langsung melongo.
"Lo pasti bercanda…"
Insomnia.
Suara Asta langsung terngiang di kepala gue, "Gue ke bar-nya Antari, Insomnia, terus gak sengaja mabok."
Irvy ternyata dapet tiket ke club milik Antari.
setelah antari beneran selesay sama maurice,tetap aja masih sulit buat bersatu dgn ellaine,blm lagi masalah restu dari orangtua antari
btw yg ngerasain perawannya ella natius kah 🤔🤔
senang nih antari bakal ada ellaine di kantornya 🥰 thanks elnaro
kayaknya bener,antari bukan batari,tapi emang karna jadi seorang batari lah antari jadi pengecut
akhirnya jadi tau asal luka di tangan antari dan memar di wajah asta
penasaran dgn part yg antari mukulin asta 🤔