Alya, gadis miskin yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di salah satu universitas harus bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya tertarik saat menerima tawaran menjadi seorang baby sister dengan gaji yang menurutnya cukup besar. Tapi hal yang tidak terduga, ternyata ia akan menjadi baby sister seorang anak 6 tahun dari CEO terkenal. kerumitan pun mulai terjadi saat sang CEO memberinya tawaran untuk menjadi pasangannya di depan publik. Bagaimanakah kisah cinta mereka? Apa kerumitan itu akan segera berlalu atau akan semakin rumit saat mantan istri sang CEO kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16, Perasaan canggung
Meskipun Aditya berusaha keras untuk menjaga jarak emosional dengan Alya, ada sesuatu yang mulai mengganggu pikirannya. Kehadiran Alya, dengan sifat cerianya yang alami dan pendekatannya yang penuh perhatian terhadap Tara, mulai memengaruhi cara ia melihat hidupnya sendiri. Sejak dulu, ia menganggap kehidupannya—pekerjaan yang sukses, rumah yang megah, dan gaya hidup yang mapan—adalah segalanya. Namun, semakin banyak waktu yang ia habiskan bersama Alya dan Tara, semakin ia merasakan ketidaknyamanan yang tak bisa diabaikan.
Aditya tengah berada di ruangannya setelah menyelesaikan rapatnya siang ini, ia duduk sendiri di ruang kerjanya, tatapannya kosong menatap layar laptop yang sudah lama tidak ia buka, "Apa yang sebenarnya kurang dalam hidupku?" gumamnya pelana sembari memainkan ponsel di tangannya.
Ia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa selama ini ia merasa cukup dengan pekerjaan dan statusnya. Namun, kehadiran Alya—dengan cara pandangnya yang lebih manusiawi dan hangat—mulai mengguncang prinsip-prinsip yang telah ia pegang teguh.
Aditya menghela nafas, "Aku punya semuanya, bukan? Uang, rumah, pekerjaan yang sukses... jadi kenapa rasanya ada yang kurang?" tanyanya pada diri sendiri dengan nada yang begitu frustasi.
Saat ia berpikir lebih dalam, ia teringat kembali pada saat-saat bersama Tara. Meskipun ia selalu memberikan segala yang dibutuhkan Tara, ia menyadari bahwa hubungan mereka jauh dari sempurna. Tara yang diam, lebih banyak menghabiskan waktu sendiri, dan sikap dingin yang selalu ia tunjukkan, semuanya mulai memberi sinyal bahwa ada lebih dari sekadar masalah yang harus dihadapi.
Belum selesai dengan pemikirannya, tiba-tiba pintu ruangannya di ketuk dari luar,
"Boleh saya masuk?" tanya sekertaris Roy sebari mendongakkan kepalanya dan Aditya hanya mengangkat pelan tanpa mengucapkan sepatah katakan.
Sekretaris Roy mendekat dan duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Aditya.
"Ada apa? Apa ada masalah? Proyek kita berhasil kan?" tanya sekretaris Roy yang seketika hilang sikap formalnya saat hanya berdua seperti ini.
Sekretaris Roy, selain sekretaris dan tangan kanan Aditya dan juga sahabat dekat Aditya semenjak mereka kuliah jadi cukup hafal dengan sifat Aditya.
Aditya menghela napas, "Ini soal Tara."
Sekretaris Roy mengerutkan keningnya, "Sejak kapan seperti ini?"
"Hmmm?" Aditya menatap sekretaris Roy aneh,
"Sejak kapan membawa nama Tara di kantor?"
Aditya kembali menghela nafas, "Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku. Aku... aku kehilangan koneksi dengan anakku."
"Benarkah?" tampak sekretaris Roy tidak percaya begitu saja.
"Menurut kamu apa?!" Aditya balik bertanya, ia terlihat tidak suka jika sekretaris Roy terlalu tahu dengan perasaannya.
" Alya, mungkin." ucap sekretaris Roy dengan santainya.
Aditya terlihat kaget, ia menatap sekretaris Roy dengan tatapan tidak percaya, "Dia pengasuh Tara."
"Ya ...., aku tahu. Seorang wanita yang datang dengan sikap sederhana namun penuh perhatian. Ia tahu bagaimana cara mendekati Tara dengan penuh kesabaran, sementara ...,"
"Sementara?"
"Sementara, kamu hanya bisa mengamati dari kejauhan, merasa tidak tahu harus berbuat apa."
"Kamu terlalu sok tahu." ucap Aditya pelan sambil kembali memperhatikan layar laptopnya seolah tidak menganggap serius perkataan sekretaris roy. Tapi apa yang dikatakan sekretaris Roy tidak sepenuhnya salah. Kehadiran Alya yang selalu sabar dan ceria itu memaksa Aditya untuk menghadapi kenyataan yang tidak pernah ia sadari sebelumnya: mungkin, selama ini, ia terlalu fokus pada apa yang tampak sempurna, tapi melupakan esensi dari hubungan keluarga itu sendiri.
"Baiklah, terserah kamu." ucap sekretaris Roy sembari bangkit dari duduknya, "Dua jam kedepan jangan mencariku, aku akan pergi menemui Mr Arman." ucapnya lagi kemudian berlalu begitu saja meninggalkan ruangan Aditya.
Aditya menatap pintu yang sudah kembali tertutup, "Aku merasa seperti... aku kehilangan kontrol. Alya datang, dan sekarang semuanya terasa berbeda. Aku merasa seperti aku mulai... kehilangan diriku sendiri." ucapnya pelan nyaris tidak terdengar.
Dia teringat pada beberapa percakapan dengan Alya, yang selalu mengingatkannya bahwa hubungan yang baik tidak hanya dibangun dengan memberi materi, tetapi juga dengan memberi perhatian dan waktu. Aditya merasa canggung dengan cara Alya berinteraksi dengan Tara—yang meskipun terasa ringan dan tidak rumit, namun memiliki dampak besar terhadap Tara. Itu adalah sesuatu yang tidak pernah bisa ia lakukan.
"Apa aku sudah terlalu jauh terjebak dalam rutinitasku? Apa ini yang namanya kebahagiaan? Atau hanya... keberhasilan yang kosong?" Aditya berbicara pelan, hampir berbisik.
Ia merasa kebingungan antara terus mempertahankan kehidupannya yang sudah terstruktur dengan rapih, atau mencoba membuka diri terhadap sesuatu yang lebih manusiawi, lebih hangat. Sebuah pertanyaan yang semakin sulit ia jawab dengan jelas.
Di sisi lain, Alya juga merasa canggung melihat perubahan sikap Aditya. Ia mulai merasakan bahwa Aditya tidak hanya menjaga jarak fisik, tetapi juga emosional.
"Alya, kamu nggak pa pa?" pertanyaan Tara mengejutkannya, ia pun segera terbangun d ati lamunannya dan tersenyym pada Tara.
"Enggak. Aku nggak pa pa, ada apa?"
"Aku ingin pasang manik-manik ini, tapi nggak bisa."
Alya pun berjongkok,mensejajarkan dirinya dengan Tara, "Sini, Alya bantu."
Alya pun mengambil benang dan manik-manik di tangan Tara, memberi contoh beberapa kemudian menyerahkan kembali pada Tara, "Bagaimana, sudah bisa kan sekarang?"
Tara mengangguk dengan semangat, "Baiklah, aku bisa."
Tara kembali duduk di tempatnya, sedangkan Alya kembali berdiri, menatap ke luar jendal besar itu.
Di saat yang sama, mobil Aditya memasuki halaman rumah itu, senyum lya mengembang tapi kemudian kembali tertahan saat melihat Aditya dari jauh, "Ada sesuatu yang sedang bergulat dalam diri dia. Apa mungkin dia merasa terjebak? Jika iya, mungkin... dia butuh waktu untuk menyadari itu." gumamnya pelan.
Rupanya perlahan, Alya juga mulai merasakan sesuatu yang lebih mendalam. Meskipun Aditya sering menjaga jarak, ia bisa melihat adanya potensi kebaikan dalam dirinya. Bagaimana ia melindungi Tara dengan cara yang diam-diam, dan bagaimana ia mulai sedikit lebih terbuka. Tapi ada perasaan takut dalam dirinya, bahwa jika ia terlalu mendekat, ia mungkin akan membuat Aditya semakin tertekan.
Alya kembali menghela nafas, "Memang apa yang bisa aku lakukan." gumamnya pelan hampir berbisik.
***
Malam ini, saat mereka duduk bersama di ruang keluarga, Aditya tidak bisa menahan perasaan kacau dalam dirinya. Alya yang tampak begitu tenang dan bahagia, seolah tidak terpengaruh oleh perasaan gelisah Aditya, justru membuatnya semakin bingung. Meskipun ia tahu, Alya bukan orang yang bisa ia kendalikan seperti pekerjaannya atau bisnisnya, ada sesuatu dalam diri Alya yang membuatnya merasa lebih manusiawi—dan itu membuatnya semakin terganggu.
Aditya melihat Alya dengan ragu-ragu, "Alya,"
Alya yang tengah asik membantu Tara mewarna pun mendongakkan kepalanya menatap Aditya, "Iya?"
"A..., ak.. aku...," ucap Aditya ragu, bahkan bibirnya terasa kelu saat hendak mengucapkan sesuatu.
"Iya...?" Alya tengah menunggu kelanjutan ucapan Aditya.
"Aku cuma mau bilang terima kasih karena sudah membantu Tara." ucap Aditya dengan cepat seolah-olah takut jika ia berhenti akan sulit mengucapkannya lagi.
"Itu sudah tugasku kan," ucap Alya dengan senyum seperti biasanya.
"Yahhh, aku tahu." ucap Aditya yang tidak berniat untuk kembali mengungkapkan apa yang sebenarnya ingin ia katakan.
Alya hanya tersenyum, namun dalam senyum itu, ada sedikit kesedihan. Ia tahu bahwa Aditya sedang berjuang dengan dirinya sendiri. Ia hanya bisa memberi ruang, berharap Aditya akan menemukan jawabannya sendiri, tanpa harus dipaksa.
"Maaf aku tidak bisa bersikap ramah padamu." akhirnya Aditya mengatakan sesuatu kembali setelah cukup lama saling diam.
"Tidak apa-apa, Aditya. Semua butuh waktu. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri." ucap Alya dengan lembut, seolah tahu maksud Aditya sebenarnya.
Aditya menatap Alya sejenak, merasakan kehangatan dari kata-kata itu, meskipun ia tak tahu bagaimana harus meresponsnya. Perasaan canggung dan kebingungannya semakin dalam. Aditya tahu, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya, dan perubahan itu dimulai sejak kehadiran Alya. Namun, ia juga merasa terjebak—terjebak dalam kenyamanan dunia yang ia kenal, dan di saat yang sama, terjebak dalam perubahan yang mulai mengusik ketenangannya.
Aditya tidak tahu seberapa jauh ia akan melangkah dengan perasaan ini. Yang ia tahu, perasaannya terhadap Alya semakin rumit, dan itu membuatnya semakin jauh dari jawabannya.
Bersambung
Happy reading