Sasa, seorang gadis SMA yang tertekan oleh ambisi ayahnya untuknya menjadi dokter, mendapati pelarian dalam persahabatan dengan Algar. Namun, persahabatan mereka berakhir tragis ketika Sasa menyerahkan keperawanannya kepada Algar, yang kemudian menghilang tanpa jejak. Terjebak antara tekanan ayahnya dan rasa kehilangan yang mendalam, Sasa harus mencari cara untuk mengatasi kedua beban tersebut dan menemukan jalan menuju kebahagiaan dan jati dirinya di tengah kesulitan.
Butuh support guys, biar author makin semangat upload-nya
Jangan lupa
* LIKE
* KOMENT
* VOTE
* HADIAH
* FAVORIT
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melita_emerald, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 16 ( Hari Terakhir di Vila)
Pagi itu, matahari mulai menyelinap di balik jendela vila. Hembusan angin pagi membawa aroma segar dari dedaunan basah setelah semalam hujan. Vila yang telah menjadi rumah mereka selama lebih dari seminggu kini terasa semakin akrab, meski suasana pagi ini sedikit berbeda. Setelah sekian hari dipenuhi tawa dan obrolan, keheningan pagi ini menyisakan ruang untuk pikiran mereka masing-masing.
Di kamar Sasa dan kedua temannya, suasana tenang itu tiba-tiba dipecahkan oleh dering telepon. Suara itu memantul di dalam ruangan, cukup keras untuk membuat Sasa yang sedang tidur lelap terbangun. Dengan mata masih setengah terpejam, ia mengulurkan tangan, meraih ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidurnya.
Di layar ponsel, terlihat nama Mama.
Sasa menelan ludah, seolah-olah dering telepon itu membawa firasat tak nyaman. Ia segera menjawab panggilan itu, meskipun suara mamanya di seberang terdengar lebih dulu, tanpa menunggu sapaan darinya.
“Sasa! Kamu di mana?!” suara mamanya terdengar tajam, sedikit serak seperti habis menangis.
“Mama?” Sasa mencoba mengatur nada suaranya, meski rasa kantuk masih tersisa. “Aku... di vila, Ma, sama teman-teman.”
“Di vila? Kenapa kamu nggak bilang sama Mama?! Mama pulang semalam, rumah kosong! Kamu pikir Mama nggak khawatir?”
Nada marah itu membuat Sasa semakin terjaga. Ia menegakkan tubuh, bersandar di kepala ranjang. “kemarin aku aku bilang tapi, mama dan papa, udah keburu pergi.”
“kenapa kamu gak bilang sama mama dan papa sebelum kita pergi, kamu tau gak rasa nya pulang kerumah, cape tapi dirumah tak ada siapa pun ”
Sasa terdiam sesaat. Perasaan bersalah merayap di dadanya, membuat ia sulit mencari kata yang tepat. Akhirnya, ia hanya bisa berkata pelan, “Maaf, Ma... Aku nggak bermaksud bikin Mama khawatir. Aku cuma butuh waktu buat refreshing. Tapi aku janji, besok aku pulang bareng teman-teman.”
Suara mamanya di seberang telepon masih terdengar kesal, tapi sedikit mereda. “Besok pulang, ya? Jangan sampai kamu bikin Mama khawatir lagi.”
“Iya, Ma. Aku janji. Besok aku pasti pulang,” jawab Sasa meyakinkan.
“Baiklah. Jaga dirimu di sana. Jangan macam-macam, Sasa,” ujar mamanya sebelum menutup telepon.
Telepon berakhir, meninggalkan Sasa duduk termenung. Ia memandang layar ponselnya yang kini gelap, lalu menghela napas panjang. Ia tahu, meskipun ia hanya ingin melarikan diri sejenak dari rutinitas dan tekanan, ia seharusnya tetap memberi kabar lebih jelas pada mamanya.
Sasa keluar dari kamar, bermaksud mencari udara segar. Namun langkahnya terhenti ketika melihat ruang tengah yang masih remang-remang diterangi cahaya TV yang masih menyala. Di sofa besar, Algar, Aldrin, dan Radit tertidur lelap dalam posisi yang terlihat tidak nyaman. Algar meringkuk dengan bantal kecil di bawah kepala, Aldrin memeluk selimut yang hampir terjatuh, sementara Radit tidur telentang dengan mulut sedikit terbuka.
Sasa tersenyum kecil melihat pemandangan itu. Ia berjalan mendekat, lalu mematikan TV yang masih menampilkan tayangan malam sebelumnya. Suara TV yang mendominasi ruangan hilang, digantikan oleh keheningan pagi.
Ia menyesuaikan selimut Aldrin yang hampir jatuh ke lantai, lalu melirik Algar yang sesekali bergumam dalam tidurnya. Momen kecil ini, melihat teman-temannya dalam keadaan santai dan tanpa beban, membuat Sasa merasa bersyukur atas waktu yang telah mereka habiskan bersama.
Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, Sasa kembali ke kamarnya. Ia berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit sambil memikirkan percakapan dengan mamanya. Besok, mereka akan pulang, meninggalkan vila ini dan kembali ke kenyataan masing-masing. Tapi sebelum itu, ia ingin menikmati setiap momen yang tersisa bersama mereka, sahabat-sahabat yang membuatnya merasa benar-benar hidup.
***
Pagi terus merangkak naik, menandakan dimulainya hari baru di vila itu. Jam dinding menunjukkan pukul 10 pagi, dan suara-suara riuh mulai memenuhi ruang makan. Di meja panjang yang sudah penuh dengan hidangan sederhana seperti roti panggang, telur orak-arik, dan jus jeruk tersaji di atas meja. Aldrin dan Radit terus bercanda, membuat tawa mereka memenuhi ruangan. Sasa duduk di sisi meja, diam-diam menyendok sarapannya tanpa banyak bicara, sementara Algar, di ujung meja, sesekali melirik ke arahnya.
Di sela suasana riuh itu, Awan meletakkan gelas jusnya dengan semangat. "Guys !" katanya, menarik perhatian semua orang.
"Apa lagi, Wan?" tanya Aldrin sambil menyeka mulutnya dengan tisu.
"Kita kan besok udah balik. Gimana kalau hari ini kita naik ke puncak lagi? Buat kenang-kenangan terakhir sebelum pulang!" seru Awan antusias.
Aldrin langsung menyetujui. "Setuju banget! Pemandangannya keren, dan kita bisa foto-foto lagi di sana."
Radit mengangguk setuju. "Cuaca juga cerah banget hari ini. Pas banget buat ke puncak!"
Semua tampak antusias dengan ide itu, kecuali Sasa. Dia menggeleng pelan sambil berkata, "Gue nggak ikut. Gue mau Nikmatin Susana di vila aja. Lagian, gue masih ada barang yang harus diberesin."
Awan menatap Sasa dengan ekspresi kecewa. "Ayolah, Sa. Ini kesempatan terakhir, lho. Kapan lagi kita bisa jalan-jalan bareng kayak gini?"
Sasa tersenyum tipis. "Kalian aja yang pergi. Gue beneran nggak apa-apa. Serius."
Semua orang tampak bingung, tapi akhirnya mengangguk menghormati keputusan Sasa. Namun, suasana berubah ketika Algar tiba-tiba bersuara. "Gue juga gak pergi, gue mau nemenin sas aja."
Semua kepala langsung menoleh ke arah Algar. Aldrin, yang biasanya santai, kini terlihat heran. "Loh, lo kenapa nggak ikut? Kan ini buat seru-seruan bareng."
Algar hanya mengangkat bahu santai. "Nggak, gue juga pengen nikmatin hari di vila."
Awan menghela napas panjang, mencoba mengubah pendirian mereka. "Ini kan buat seru-seruan terakhir, kalau Sasa gak ikut, terus lo juga sama. Gak seru kali. Tapi kalau kalian nggak mau, ya udah."
Yang lain hanya diam, Sementara itu, Aldrin dan Radit hanya saling pandang, bingung dengan situasi yang mendadak jadi canggung.
Akhirnya, Awan memutuskan untuk tidak memaksa. "Ya udah, yang mau ikut siap-siap aja nanti. Jam satu kita berangkat."
Percakapan selesai, tapi di meja makan, suasana jadi sedikit sunyi. Sasa mencuri pandang ke arah Algar, yang terlihat biasa saja, seolah keputusan itu sama sekali bukan masalah.
Di dalam hati, Sasa merasa lega sekaligus bimbang. Vila itu memang tempat sementara, tapi hubungan yang terjalin di dalamnya terasa semakin rumit. Besok mereka akan pulang, tapi ia tahu, ada sesuatu yang tak akan sama lagi setelah semua ini.