Raisha seorang agen rahasia ditugaskan menjaga seorang pegawai kantor bernama Arya dari kemungkinan ancaman pembunuhan Dr. Brain, seorang ilmuwan gila yang terobsesi menguasai negara dan dunia menggunakan alat pengendali pikiran yang terus di upgrade menggunakan energi kecerdasan orang-orang jenius. Temukan keseruan konflik cinta, keluarga, ketegangan dan plot twist mengejutkan dalam novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Here Line, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16 : Teka-teki Tak Terpecahkan
Langkah kaki hati-hati kembali lagi mendekati pintu, langkah itu maju perlahan berusaha menghindari tumpukan barang di lorong. Dalam suasana remang, terlihat tatapan mata yang kosong.
Sementara itu di dalam ruangan Raisha membuang nafas, “Kurasa, kita tak punya banyak waktu lagi, apa kamu bisa membuat alat yang memiliki fungsi serupa dengan fungsi kalung ini?”
Arya berpikir sejenak, lalu menjawab:
“Aku tak yakin, kalungmu terlalu istimewa. Sepertinya kotak metal itu memiliki akurasi tinggi dan sistem yang unik untuk memblok gelombang kendali Dr. Brain. Aku mungkin bisa membuatnya, tapi hanya jika aku melihat isi kotak metal kalung ini. Dan aku harus pastikan apakah ini memang alat, atau…” Arya tampak ragu-ragu, lalu melanjutkan perkataannya, “semacam benda ajaib yang bahkan ketika dilihat, aku… belum tentu bisa memahaminya.”
“Kita harus segera tahu. Apa kita bisa membongkar paksa kotak metal ini?” tanya Raisha dengan nada mendesak sambil menyentuh kalungnya dan memperhatikan benda berkilau kotak seukuran 5 x 5 centimeter dengan tebal satu centimeter di bawah rantainya.
Arya bereaksi dengan pasti “Tidak, aku takut merusak isinya, sebaiknya kita berusaha membuka kotak metal itu dengan cara yang seharusnya,”
Raisha tampak tertekan, dia sedikit menjauhi Arya, membalik badannya, “Arya, seharusnya kita sudah mulai memecahkan teka-teki siapa sebenarnya Dr. Brain, sekarang malah ada teka-teki lain yang harus kita pecahkan,”
Arya sedikit limbung, merasakan kepalanya mulai pusing begitu Raisha menjauhinya. Namun ia berusaha mengendalikan diri, lalu menjawab :
“Aku mengerti, tapi aku merasa kotak metal kalungmu itu harus benar-benar diketahui segera isinya. Justru itu benda yang cukup penting dalam situasi sekarang,” kata Arya.
Raisha menghela napas sambil memejamkan mata. Dia memahami perkataan Arya. Gadis itu hanya merasa bahwa semuanya terasa begitu mendesak dan tumpang tindih.
“Paling tidak, aku harus membuatnya satu untuk diriku sendiri,” lanjut Arya. “bahkan… kalau bisa kita buat sebanyak-banyak-nya terutama untuk orang-orang yang bisa kita andalkan untuk ikut membantu menyelesaikan kasus ini. Jika tidak, gerakanku jadi terbatas, aku hanya bisa bisa beraktifitas ~~~~dalam radius dua meter darimu. Jika sedikit melampaui itu… aku sudah merasakannya beberapa kali, kepalaku sedikit pusing, dan jika semakin jauh mungkin aku akan kehilangan kesadaran.”
Raisha masih memejamkan mata dan mendengarkan setiap perkataan Arya, mencoba memahami semuanya.
“Kurasa sinyal gelombang pengendali itu saat ini telah bekerja semakin luas, atau… titik pusatnya mengikuti pergerakan kita… aku tidak tahu dan… tidak begitu yakin.”
Raisha mengangguk mengerti dengan pertimbangan dan analisis Arya, sekaligus kagum dengan kecerdasan Arya dalam membaca dan mewaspadai situasi.
Raisha berbalik dan menghembuskan napas, “Baiklah, aku mengerti, dan… mengenai jati diri Dr. Brain?”
“Kita bisa memikirkannya seiring waktu… Mungkin semua ini akan berkaitan,” jawab Arya sambil berpikir.
Raisha mengangguk. Ia berpikir dan berusaha menenangkan emosinya yang masih tersisa, “kalau begitu, darimana kita bisa mulai memecahkan teka-teki ini?”
Arya memejamkan mata dan menajamkan pikirannya seraya mengingat ukiran kecil di kotak metal kalung milik Raihsa itu lagi.
“Aku yakin huruf acak sebanyak 26 digit itu adalah kuncinya, dan kemungkinan ini hanya bisa dipecahkan dengan kalimat di bawahnya: ‘The function of knowledge for the brain.’ Sebenarnya aku belum yakin, mana yang lebih dulu dan mana yang berikutnya. Mungkin juga… kita perlu mencoba memahami kedua-duanya, untuk mengetahui kira-kira mana yang wajar lebih dulu dipecahkan,” kata Arya.
Raisha mendengarkan perkataan Arya. Gadis itu berusaha berpikir mana yang lebih dulu harus dipecahkan antara 26 digit huruf acak itu dan kalimat di bawahnya. Lalu apa kaitan antara keduanya? Tapi sebelum ia bisa memikirkan persoalan itu, Raisha teringat sesuatu.
“Arya, bukankah 26 digit itu adalah jumlah alfabet?”
Arya yang sedari tadi berpikir tersadar, membulatkan mata, lalu menjawab, “Kamu benar!”
“Apa yang kira-kira tersirat dari itu?” tanya Raisha, tak sabar.
Arya mondar-mandir di dalam ruangan. Sekal-kali melihat ke langit-langit, sekali-kali duduk di kursi.
“Kita… membutuhkan angka, bukan huruf,” gumam Arya.
“Dan… 26 itu… angka,” timpal Raisha.
“Ya… 26…” Arya menatap jauh ke langit-langit ruangan.
Raisha menunggu reaksi Arya dengan tegang.
“Aku tahu!” teriak Arya, nyaris tak mampu menahan diri.
Raisha menatap tajam ke arah Arya, tampak memfokuskan pikiran.
“Kita bisa menyusun huruf-huruf alfabet sesuai dengan angka A = 1, B = 2, dan seterusnya hingga Z = 26 ini adalah sebuah sandi yang sering disebut ‘sandi alfabet numerik’ atau ‘cipher Caesar numerik’. Ini merupakan suatu cara untuk mengganti huruf dengan angka berdasarkan posisi huruf-huruf dalam urutan alfabet. Metode ini biasa digunakan dalam berbagai teka-teki atau sandi karena memungkinkan untuk menyamarkan kata atau pesan menjadi deretan angka.”
Raisha mengangguk setuju, tapi kemudian ia terpikir sesuatu.
“Baiklah, tapi… jika itu adalah metode yang benar dalam pemecahan teka-teki ini, aku rasa itu bukan satu-satunya cara. Semua proses ini tetap akan memakan waktu dan pemikiran yang cukup panjang,” ucap Raisha, kembali gelisah dan tak sabar.
“Kamu benar,” Arya beranjak mendekati sebuah rak, diikuti Raisha yang takut Arya kehilangan kesadaran, “Tapi kita harus tetap berusaha memecahkan teka-teki ini,” katanya sambil mengambil selebar kertas dan pulpen.
Raisha terus mengikuti Arya hingga kembali ke tempat duduknya menghadap meja.
“Rasiha, apakah namamu terdiri dari lima atau enam huruf?”
Raisha tersadar, “Enam,” jawabnya. Mata Raisha membulat, menyadari sesuatu.
“Sebelumnya, apa kamu sudah mencoba memasukkan angka inti dari huruf-huruf namamu untuk membuka kotak metal kalungmu itu?” tanya Arya.
“Angka inti?”
“Ya, angka inti,”
“Kalau tanggal lahir, aku pernah mencobanya, dan... beberapa kombinasi acak lain. Tapi semuanya tidak berhasil. Kalau angka inti… aku tidak tahu. Mmm… apa itu?”
Arya segera menjelaskan dengan mantap, “Angka inti atau nilai inti adalah konsep numerik di mana kita mengambil satu angka dari lebih dari satu digit angka. Misalnya 10 = 1 + 0 = 1, atau 23 = 2 + 3 = 5. Proses ini disebut reduksi digital atau pengurangan hingga satuan dasar.”
“Oh, aku mengerti sekarang! Tapi, aku belum pernah mencobanya!” kata Raisha antusias.
Arya membulatkan mata, “Kalau begitu kita bisa mencobanya sekarang. Kalung ini milikmu, kurasa kombinasi yang mungkin adalah segala sesuatu yang terkait denganmu, termasuk namamu.”
Raisha merasakan jantungnya berdegup kencang.
“Sekarang tuliskan namamu dulu!” pinta Arya.
Raisha segera menuliskan namanya yang terdiri dari enam huruf.
R A I S H A
Setelah itu Arya mengambil alih dan mulai mencoretkan pulpennya di atas kertas. Raisha mengikuti setiap gerakan Arya dengan rasa penasaran dan antusias yang tinggi.
Arya menuliskan angka di bawah setiap huruf nama Raisha, dan didapatkanlah sederet angka dalam waktu kurang dari satu menit.
18 1 9 19 8 1
Raisha memantau setiap proses, sementara Arya melanjutkan pekerjaannya dengan menyederhanakan angka-angka itu melalui coretan: 1 + 8 1 9 1+9 8 1 hingga didapatkan: 9 1 9 10 8 1, lalu 9 1 9 1+0 8 1 dan akhirnya didapatkan hasil akhir berupa enam digit angka.
9 1 9 1 8 1
Arya mengangkat wajahnya dan menatap Raisha. Raisha terkejut. Gadis itu segera meraih kotak metal kalungnya dan sebuah kaca pembesar.
“Aku butuh pinset!” kata Raisha.
Arya segera beranjak dan mengaduk-aduk kotak alat sambil memegang kepalanya yang kembali terasa pusing karena jarak yang terlalu jauh. Namun akhirnya ia berhasil menemukan pinset yang dibutuhkan Raisha dan segera memberikannya kepada Raisha.
Raisha menerima pinset itu. Gadis itu sejenak menghela napas, lalu membuka kalungnya dan meletakkannya di atas meja.
Raisha mulai mengamati kotak metal itu lewat kaca pembesar dan memutar roda mekanis penguncinya dengan gerakan hati-hati. Gadis itu menyesuaikan setiap roda itu dengan penunjuk segitiga statis di tengahnya. Tak butuh waktu lama semua roda mekanis berhasil diputar dan disesuaikan dengan urutan angka : 9 1 9 1 8 1
Tapi setelah itu tak ada yang terjadi. Kotak pipih metal itu tetap terkunci. Tak bisa dibuka. Wajah Raisha tampak berubah kecewa.
“Tidak bisa…” keluhnya. “Kombinasi digit ini tidak berhasil membukanya,”
“Baiklah... sepertinya teka-teki ini tak semudah yang kita bayangkan. Mungkin kakekmu tahu, metode ini terlalu mudah. Orang yang tahu namamu dan menyadari metode ini akan dengan mudah membukanya,” ucap Arya, akhirnya. “Apalagi jika itu… hanya tanggal lahirmu."
“Tapi, kenapa kakek mempersulit ini?”
“Aku tidak tahu pasti, tapi mungkin inilah cara yang dia lakukan untuk melindungi benda ini jika jatuh ke tangan yang salah. Sepertinya benda ini bisa diperbanyak dan disalahgunakan untuk tujuan lain yang tidak dibenarkan bahkan… merugikan,” jawab Arya.
Raisha menyandarkan punggungnya dan memejamkan mata. Sebuah kaca pembesar di tangan kirinya, dan pinset di tangan kanannya. Raisha mulai memahami dan merasakan kebenaran ucapan Arya.
“Lalu kita harus bagaimana?” tanya Raisha.
“Tak ada pilihan lain, kita harus berhasil memecahkan teka-tekinya, dan untuk memulainya kita mungkin punya dua pilihan, pertama kita konversi dulu dua puluh enam huruf acak itu menjadi angka, atau… kedua, kita memulai pemecahan teka-teki ini dari memahami kalimat di bawahnya. The function of knowledge for the brain.”
Kemudian keduanya tampak menyandarkan punggu di kursi, tak berkata-kata lagi. Saat keheningan menyelimuti, tiba-tiba mereka mendengar suara benda terjatuh di luar pintu.
Arya terkejut dan segera bangkit dari duduknya. Ia mendekat ke pintu diikuti Raisha. Raisha mencabut pistolnya dan bersiaga sambil melangkah mengendap-endap.
TBC
Dukung terus "Raisha & Arya" menghadapi kejahatan Dr. Brain di cerita ini ya teman-teman ! Jangan lupa LIKE, COMMENT, KASIH BINTANG & IKUTI Author, biar Author tambah semangat !!! Nantikan chapter berikutnya, daaah... !!!