Lilyana Belvania, gadis kecil berusia 7 tahun, memiliki persahabatan erat dengan Melisa, tetangganya. Sering bermain bersama di rumah Melisa, Lily diam-diam kagum pada Ezra, kakak Melisa yang lebih tua. Ketika keluarga Melisa pindah ke luar pulau, Lily sedih kehilangan sahabat dan Ezra. Bertahun-tahun kemudian, saat Lily pindah ke Jakarta untuk kuliah, ia bertemu kembali dengan Melisa di tempat yang tak terduga. Pertemuan ini membangkitkan kenangan lama apakah Lily juga akan dipertemukan kembali dengan Ezra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hubungan Toxic
Beberapa jam kemudian, Lily dan Radit bertemu di sebuah kafe dekat kampus, tempat yang nyaman untuk belajar. Radit sudah menunggu di meja, membawa laptopnya sendiri sambil tersenyum lebar ketika melihat Lily datang.
“Kak Radit, aku beneran butuh bantuin tugas kali ini,” kata Lily sambil duduk di depan Radit.
Radit tertawa kecil. “Tenang, aku udah siap. Kita bisa mulai dari mana aja.”
Lily membuka laptopnya dan mulai menunjukkan tugas yang sedang ia kerjakan. Tugas kali ini adalah esai tentang teori komunikasi, yang membutuhkan penelitian dan penjelasan yang mendalam. Radit mulai membantu Lily dengan beberapa referensi yang relevan, namun tak lama kemudian, suasana mulai berubah.
“Jadi, Lil... setelah ini kita bisa jalan-jalan dulu nggak? Refreshing sedikit setelah tugas selesai,” kata Radit sambil tersenyum menggoda.
Lily menggeleng dengan tawa. “Kak, fokus dulu ya. Tugas ini penting dan harus dikumpulkan minggu depan.”
Radit mengangkat tangan dengan gaya menyerah. “Oke, oke. Fokus. Tapi janji ya, kalau udah selesai kita bisa makan bareng atau nonton sesuatu.”
Lily hanya mengangguk sambil tersenyum. Mereka melanjutkan mengerjakan tugas bersama, namun Radit terus menyelipkan candaan dan godaan ringan yang membuat Lily sesekali tertawa.
Ketika akhirnya sebagian besar tugas selesai, Lily merasa lega. Tapi di saat yang sama, Radit semakin terlihat santai dan mulai lebih banyak berbicara tentang hal-hal di luar tugas.
“Aku seneng bisa bantu kamu, Lil,” kata Radit sambil menutup laptopnya. “Dan aku seneng kita bisa habisin waktu kayak gini. Rasanya nyaman.”
Lily tersenyum, merasa hubungan mereka semakin erat. “Aku juga, Kak. Makasih udah bantuin aku. Kalau nggak ada Kakak, mungkin tugas ini bakal lebih lama selesai.”
Radit tersenyum lebar. “Sama-sama, Lil. Aku seneng bisa bantu. Jadi, gimana, mau jalan-jalan sebentar sebelum kita pulang?”
Lily tertawa kecil, mengingat janji yang ia buat. “Baiklah, tapi nggak lama ya. Aku masih harus revisi sedikit nanti di rumah.”
Malam itu, mereka berjalan-jalan sebentar di sekitar kafe, menikmati suasana santai setelah seharian mengerjakan tugas. Meskipun Radit beberapa kali menggoda Lily untuk lebih banyak bersenang-senang, Lily tetap mengingat bahwa kuliah adalah prioritasnya. Namun, di dalam hati, Lily tahu bahwa kebersamaan dengan Radit membuat hari-harinya lebih berwarna, dan ia merasa beruntung memiliki seseorang yang selalu ada untuk mendukungnya, bahkan di saat-saat penuh tekanan seperti mengerjakan tugas.
Hubungan mereka terus berkembang, dan meskipun ada tantangan dalam akademik dan kehidupan kampus, Lily merasa siap untuk menjalani semuanya bersama Radit di sisinya.
***
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan hubungan antara Lily dan Radit semakin dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, baik di kampus maupun di luar. Bagi Lily, Radit adalah sosok yang sangat ia kagumi dan cintai. Setiap perhatian yang Radit berikan, meski kecil, membuat hati Lily berbunga-bunga. Namun, di balik itu semua, ada sesuatu yang perlahan mulai berubah.
Suatu sore, setelah pulang dari kampus, Lily menerima pesan dari Radit.
Radit: "Lil, aku lagi pusing banget sama tugas nih. Banyak banget deadline yang mepet. Kamu bisa bantuin aku nggak?"
Lily menghela napas. Ia sendiri sebenarnya punya banyak tugas yang menumpuk, namun perasaannya pada Radit membuatnya tak bisa menolak permintaan tersebut.
Lily: "Boleh, Kak. Tugasnya apa aja? Aku coba bantu secepat mungkin."
Radit: "Thank you banget, Lil! Ini ada beberapa tugas esai dan presentasi. Aku kirim filenya ya."
Lily tersenyum kecil sambil memandangi layar ponselnya. Baginya, membantu Radit adalah bentuk cinta yang ia tunjukkan. Ia tak peduli meski tugasnya sendiri masih banyak yang belum tersentuh.
Seminggu berlalu, dan Lily mulai merasakan tekanan yang besar. Setiap kali ia bertemu Radit, tugas-tugas Radit terus bertambah. Dari sekadar membantu esai, kini Lily diminta untuk mengerjakan presentasi, laporan, bahkan penelitian kecil yang harus dikumpulkan Radit. Di sisi lain, tugas-tugas kuliahnya sendiri mulai terbengkalai. Setiap malam, Lily begadang untuk menyelesaikan semua pekerjaan Radit, sementara tugas kuliahnya sendiri terabaikan.
Pada suatu malam, Melisa yang selalu dekat dengan Lily mulai merasa ada yang tidak beres.
“Kamu kok kelihatan capek banget akhir-akhir ini, Lil?” tanya Melisa saat mereka sedang makan malam bersama di sebuah kafe dekat rumah mereka. “Ada yang nggak beres ya? Apa karena tugas?”
Lily mencoba tersenyum, tapi jelas raut wajahnya menunjukkan kelelahan. “Iya, tugas kuliah lumayan banyak, sih. Tapi nggak apa-apa, aku bisa atasin.”
Melisa memandang Lily dengan tatapan khawatir. “Bukan karena tugas Kak Radit, kan?”
Lily terdiam sejenak. Ia tahu Melisa mungkin sudah menyadari situasinya, tapi ia masih belum siap untuk mengakuinya. “Ya... aku cuma bantuin sedikit, kok. Kak Radit juga sibuk, dan aku seneng bisa bantu.”
Melisa menghela napas panjang. “Aku ngerti kamu sayang sama Kak Radit, tapi kamu harus jaga diri sendiri juga, Lil. Tugas kamu sendiri gimana? Jangan sampai malah tugasmu terbengkalai karena terlalu fokus sama tugas dia.”
Lily tersenyum lemah, mencoba menenangkan sahabatnya. “Aku tahu, Mel. Nggak apa-apa, kok. Aku bisa atur waktu.”
Namun, di dalam hati, Lily mulai merasakan keraguan. Selama ini, ia begitu sibuk membantu Radit hingga tak menyadari bahwa dirinya mulai kehilangan arah dalam mengerjakan tugasnya sendiri.
***
Hari demi hari berlalu, dan keadaan semakin memburuk. Radit terus meminta bantuan Lily, dan Lily, yang masih buta oleh perasaan cintanya, dengan senang hati menuruti permintaan tersebut. Malam-malam panjang yang ia habiskan untuk mengerjakan tugas Radit membuatnya kelelahan, dan tugas-tugas kuliahnya sendiri semakin menumpuk.
Suatu ketika, di tengah kelas, salah satu dosen memanggil Lily ke depan setelah melihat bahwa ia belum menyerahkan tugas yang seharusnya sudah dikumpulkan seminggu sebelumnya.
"Lily, kenapa tugas ini belum kamu kumpulkan? Padahal ini tugas penting untuk penilaian akhir," tanya dosen tersebut dengan nada serius.
Lily merasa panik. Ia sama sekali lupa tentang tugas tersebut karena terlalu fokus mengerjakan tugas-tugas Radit. "Maaf, Pak. Saya... saya akan segera mengerjakannya," jawab Lily dengan suara bergetar.
Setelah kejadian itu, Lily merasa semakin tertekan. Ia mulai menyadari bahwa apa yang ia lakukan selama ini salah. Bantuan yang ia berikan kepada Radit justru menghancurkan fokusnya sendiri. Namun, setiap kali ia mencoba untuk membicarakan hal ini dengan Radit, Radit selalu berhasil meyakinkannya bahwa semuanya baik-baik saja.
Lily cpt move on syg, jgn brlarut larut dlm kesdihan bgkitlh fokus dgn kuliamu. aku do'akn smoga secepatnya tuhan mngirim laki" yg mncintai kmu dgn tulus. up lgi thor byk" 😍💪