Saat acara perayaan desa, Julia justru mendapati malam yang kelam; seorang lelaki asing datang melecehkannya. Akibat kejadian itu ia harus mengandung benih dari seseorang yang tak dikenal, Ibu Asri yang malu karena Julia telah melakukan hubungan di luar nikah akhirnya membuang bayi itu ke sungai begitu ia lahir.
3 tahun kemudian, dia pergi ke kota untuk bekerja. Namun, seorang pria kaya mendatanginya untuk menjadi pengasuh anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon unchihah sanskeh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15 - Semua Yang Tak Terduga
Sepulang makan siang, kami pun pulang ke rumah. Suasana hening dan kaku kembali menguasaiku. Untung Pak Bima tidak membahas apa pun atas ucapan Rumana yang ceplas ceplos tadi itu. Aku berbaring di ranjang. Dari kisi-kisi jendela, angin bertiup sepoi dan basah, mengusik tubuhku.
Kuambil novel yang kubaca malam kemarin. Tapi, mataku tak lagi mampu membacanya. Rasa penat hampir memadamkan seluruh seleraku. Mandi malas, apalagi baca buku. Aku hanya bisa bermalas-malasan, dikutuk kesunyian yang mematikan.
"Benar kata Mas Andrean," aku menggumam pelan. "Ternyata aku benar-benar kelelahan."
Aku menggeliat di ranjang, pelan dan tenang, seakan aku tak ingin kehilangan sedikit pun nikmatnya berbaring di atas kasur empuk dan seprei abu yang wangi.
"Bulan ini, kalau gajian sepertinya harus kusisihkan sedikit buat beli alat pijat." Kataku meyakinkan. "Untung ditawari kerja sama Pak Bima, kalau tidak mungkin belum tentu bisa mikir begitu. Beli nasi ayam saja harus sepuluh kali berkorban tidak jajan, apalagi mau beli alat pijat!"
Aku dapat mengerti kalau uang yang kuhasilkan tidak serta merta adalah milikku semuanya. Ibu, selama ini jauh lebih membutuhkannya di banding aku. Belum lagi Ibu masih suka berhutang dengan rentenir; entahlah, dulu Ibu paling pantang gali lubang tutup lubang apalagi untuk beli barang-barang yang tidak perlu.
Sekarang tabiat Ibu berubah sepuluh kali lipat. Mungkin karena masih kecewa dengan yang kulakuan waktu itu.
Aku tersadar dari lamunan, begitu ku dengar suara ketukan dari pintu kamarku. Tentu saja aku kaget.
"Iya siapa? Sebentar..." wajahku yang lesu mau tidak mau harus segar dan segera bangkit dari ranjang.
"Iya sebentar, ada apa----" Kataku menggantung, begitu ku buka pintu kamar. Aku memang tahu yang mengetuk pintu kamarku pasti Pak Bima, karena kalau bukan dia siapa lagi? Namun sayangnya yang ku temui bukanlah sosok Pak Bima semata, melainkan juga bersama anaknya.
"Pak Bima?"
Aku agak heran melihat penampilannya yang berantakan, air menetes dari rambutnya yang panjang. Semua basah, dari ujung ke ujung, dia seperti baru selesai mandi dan tidak sempat mengeringkan diri.
Dan yang membuatku cemas karena Lily ada dalam rengkuhannya. Memang dia sering menimang Lily, hanya saja entah mengapa sore ini nampak lain. Dilihat dari caranya menatap, dia menatapku dengan tatapan tak biasa, matanya lesu tak berbinar dan semangat seperti biasanya,
"Ada apa Pak? Apa terjadi sesuatu?" Kataku. "Lily kenapa tidur begitu? Kenapa tidak langsung ditidurkan di kasur?"
"Lily rewel ya Pak? Sini biar saya yang urus."
Aku tidak sempat berpikir apa pun. Yang ku yakinkan, kenapa Pak Bima datang sambil menggendong Lily; ya karena anaknya sedang rewel.
Lantas dia berbalik, mengambil sesuatu yang dia sembunyikan dari balik badannya. "Julia, ini."
"Ini-----" Aku mengambil benda itu dari tangannya,
"Inhaler? Untuk siapa, Pak? Siapa yang sesak napas?" Mataku melebar begitu ku lihat Pak Bima begitu.
"Lily yang sesak napas?" Kataku mulai bergetar,
Ku hela nafas panjang, dengan mata yang mulai berair. "Kok bisa Pak?"
"Penyakitnya kambuh."
Melemas aku, begitu ku dengar ucapan Rambo yang menyampaikan kesehatan Lily. Penyakitnya kambuh. Aku tak tahu harus apa dan bagaimana, Aku tiba-tiba merasa merambang, tersesat dan hilang arah bersama dengan seluruh energi dan kekuatanku yang melayang...
"Saya tidak tahu apa sebabnya, tapi saat saya selesai mandi Lily mulai sesak."
Lantas tiba-tiba, dengan gerakan yang tak ku sadari, Pak Bima meraih salah satu sisi pipiku menyadarkan aku. "Bisa temani aku tidak?cepatlah! kita harus ke rumah sakit sekarang."
"Bisa!"
Berangkatlah kami, Sepanjang jalan, di dalam mobil ku peluk erat-erat tubuh Lily. Kubalut dan kuselimuti tubuhnya dengan mantel tebal. Aku memang cuma pengasuh, tapi entah kenapa rasanya pengap sekali lihat Lily terkulai dan susah bernapas. Ada sesuatu, seolah dia adalah bagian dari diriku, dan aku adalah bagiannya.
Begitu sampai, aku dan Pak Bima segera berlari dengan gontai. Ku coba untuk menepis pikiran buruk yang ada di benakku tentang Kondisi Lily yang berada dalam dekapan Pak Bima sekarang. Harapku, Dia tetap baik-baik saja bahkan tidak separah yang sering kubaca di internet. Namun sayang Prasangka buruk mengenai Lily pun semakin kuat merajai pikiranku.
Kami berhenti di ruang IGD, dokter dan perawat lekas mengambil Lily dari Pak Bima. Dan kami cuma boleh menunggu di luar.
"Maaf ya, jadi ganggu istirahat kamu." Pak Bima berkata padaku, aku tahu saat itu dia tengah bertingkah tenang. Berpura-pura tenang.
Aku terdiam, tak memberi respon apa pun, dadaku sesak menahan isak yang berada di ujung tenggorok. Satu-satunya yang menyelamatkanku hanyalah boneka kelinci yang masih dipegang Lily tadi, ku rengkuh dan berada dekat di jantungku.
"Lily memang sering sakit begini, Pak?"
Pak Bima mengangguk pelan. "Dia begini malah dari bayi."
"Kenapa Pak?" Tanpa sadar kutarik kerah kemeja Pak Bima. "Kenapa Pak Bima bisa sesantai ini? Lily seperti mau mati, Pak! Kenapa Pak Bima santai begini?!"
"Saya tidak santai, Jul." Pak Bima membela diri. "Kalau bisa ditukar, lebih baik saya yang sesak dan ambil sakitnya Lily. Tapi, itu tidak bisa Julia. Yang bisa saya lakukan sekarang cuma diam dan percayakan semuanya ke dokter di dalam sana!"
"Saya diam, bukan berarti saya santai Jul. Tapi cuma itu yang bisa saya lakukan."
Begitu melihat sorot mata Pak Bima yang redup itu. Entah mengapa aku malu; malu karena bersikap berlebihan dan bisa-bisanya aku marah padanya cuma karena mengatakan ganggu istirahatku, di saat genting begini. Aku seolah lupa, kalau aku ini cuma sekadar ibu pura-pura.
Pak Bima mengusap punggungku untuk menguatkan, meski sebenarnya aku pun tak merasakan dampak apa pun dari sentuhannya.
Aku segera berbalik dan memutar badan menuju jendela bening untuk menatap Lily di dalam. Hanya bisa mematung di bibir jendela, Ku tatap semua orang yang berada di samping ranjang Lily satu persatu. Beberapa orang dokter dan perawat. Lalu, Lily? Aku hanya bisa melihat jemari kecilnya yang menjuntai. Lily akan baik-baik saja, kan? Batinku menerka-nerka.
"Dari bayi, sejak saya menemukan Lily, dia memang sering sesak begini. Dulu, saya juga sama paniknya dengan kamu, tapi bukan berarti sekarang tidak lagi. Intinya saya bakal tetap khawatir." Pak Bima masih berada di belakangku, rupanya ia tidak jera untuk menguatkan ku.
"Dokter bilang ini kemungkinan karena Lily minum air ketuban sebelum lahir. Jadi imbasnya ganggu ke pernapasan."
Aku diam saja, takut salah ngomong lagi.
"Karena air ketuban, ya ..." aku menggumam pelan. Panik dalam diriku makin bertambah, sebab teringat pada anakku yang sudah tiada, sebabnya juga sama karena air ketuban....
Sesuatu dalam hatiku berdesir, aku takut terulang ... Saat itu aku merasa takut, takut kehilangan Lily.
Begitu ku lihat dokter yang berkutat dengan alat mirip masker tapi yang ini ada pompanya. Ku lihat kondisi Lily yang mengap-mengap.
Aku mematung, Buliran air bening itu terasa menghangat mengalir di wajahku. Aku mendekatkan pandangan ke arah Lily yang tengah berjuang melawan sakitnya.
Pasien yang berada di depanku ini adalah benar-benar Lily, sosok anak hebat yang kehilangan orang tua, tapi tidak kehilangan perannya, karena dia memiliki Pak Bima.
Aku memang baru mengenal dia, dan aku sadari bahwa aku memang tak sehebat dia. Tapi, sejak pertemuan pertama ku dengannya, dari bantuan yang diberikannya padaku dan orang-orang disekitarnya, dia menjadi salah satu orang paling penting dalam hidupku.
"Lily -----"
Sambil berdiri di depan jendela, memandangnya dari sela-sela gorden yang terbuka. Ku peluk erat bonekanya, "Ly, kamu harus sehat. Boneka kesayangan Lily ada di sini. Mama tidak mau cuma peluk boneka, Mama mau peluk Lily." kataku dalam hati.
"Pak... " Kataku, begitu Pak Bima berdiri di sampingku.
"Lily itu anak yang kuat, dia jauh lebih kuat dari yang bisa kamu duga. Jangan berhenti berdoa, dia sedang berjuang di dalam." katanya, membuat hatiku makin bergejolak.
"Kenapa ya, Pak ..."
"Apa?"
"Di dunia ini banyak yang tidak bisa ditebak..." Jawabku lesu. "Padahal baru saja kita makan siang bertiga, Lily juga senang dan sehat-sehat saja. Kenapa waktu kita pulang dia malah sakit tiba-tiba?"
Pak Bima rupanya memelukku, sama sekali tidak kuduga dan aku pun tenggelam dalam dadanya, menggambarkan gairah kesedihan yang sama hebatnya dengan yang kumiliki. Aroma harum pakaiannya yang lembab tercium hidungku dan merasuk ke dalam diri. Rasanya aku tengah dikuatkan lewat hangat dan wangi parfumnya.
"Jangan menangis..." Bisiknya lembut. "Semua akan baik-baik saja."
Alhamdulillah... selamat ya kk🤗
Sukses selalu