Ini adalah cerita tentang Lini, seorang gadis yang pergi merantau ke Jakarta dan tinggal di salah satu rumah kost. Hari-harinya dipenuhi warna ketika harus menghadapi trio emak-emak yang punya hobi ngejulidin tetangga. Naasnya salah satu anggota trio itu adalah ibu kost-nya sendiri.
Ga cuma di area kostan, ternyata gosip demi gosip juga harus dihadapi Lini di tempat kerjanya.
Layaknya arisan, ghibah dan julit akan berputar di sekitar hidup Lini. Entah di kostan atau dikerjaan. Entah itu gosip menerpa dirinya sendiri, atau teman dekatnya. Tiap hari ada aja bahan ghibah yang bikin resah. Kalau kamu mau ikut gabung ghibah sama mereka, ayok aja! Tapi tanggung sendiri resikonya, bisa-bisa nanti giliran kamu yang kena giliran di-ghibahin!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Evichii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menentukan Pilihan
Seperti biasa gue turun dengan susah payah dari motornya Restu yang kebilang tinggi buat badan gue yang semampai (semeter ga sampai) hehe..
"Makasih ya, bro..!" ujar gue basa basi sambil mengembalikan helmnya. Restu menyodorkan tas punggung berukuran besar miliknya yang berisi ordner-ordner gue.
"Kok bro sih? Honey atau babe dong!" celetuknya bikin gue menjulurkan lidah buat protes.
Restu tertawa, bahkan tawanya ga berenti karena ngeliat badan gue yang mungil keliatan susah payah ngangkut tas laptop dan tas punggung gede sekaligus.
"Bisa ga sih, yang?" tanyanya sambil berusaha bantu gue biar ga kesusahan.
"Yang! Yang! Yang! Emang gue mirip kuyang?! Awas lu manggil gue sembarangan lagi!" kali ini gue protes dengan lebih galak sambil menyingkirkan tangannya yang berusaha ngebantu gue.
"Jangan sering-sering ngambek.. Nanti gue makin sayang!" Restu malah nambah ngelunjak bikin gue inisiatif megang jidatnya yang ternyata ga panas.
"Lo lagi kenapa sih hari ini? Kayak musang birahi! Kegatelan!!!" sewot gue sambil berjalan masuk gerbang kantor meskipun masih dengan sempoyongan karena beban yang gue bawa.
"Ga usah pake lembur ya, yang.. Abang tungguin di sini nih!" teriak Restu sekenceng-kencengnya bikin security yang ada di dalem pos mesem-mesem. Dugh! Si Restu tampang doang ganteng tapi kelakuan minus!!
Gue menoleh sambil melirik sebal dan mengacungkan tinju ke udara. Tapi Restu malah membalasnya dengan memberi isyarat 'kiss bye'. Nyebelin!!!
Gue naik ke lantai atas ruangan PPIC. Rupanya ruangan Mbak Silvi masih gelap, sepertinya mereka berdua, Mbak Silvi dan Mas Abdan, belom sampe kantor.
Gue duduk lalu menenggak habis air mineral di atas meja gue. Suasana ruangan PPIC di sore menjelang jam absen pulang tampak lengang seperti biasa. Sebagian besar mungkin ada yang lagi turun ke lantai produksi untuk ikut sosialisasi jadwal produksi besok, sebagian lagi mungkin lagi enak-enakan di pantry sambil ngopi. Lu tau kan siapa?
Gue menyalakan laptop yang barusan gue bawa dan mencoba merapikan Minutes of Meeting yang tadi udah kita sepakati sama klien untuk di kirim ke divisi-divisi yang terkait dengan project tersebut, termasuk juga ke Pak Andreas si pemegang keputusan terpenting untuk setiap project di perusahaan ini.
Dan bener aja, ga lama Niken dan Okta, juga ada Iis nongol dari balik dinding pantry. Hmm, kolaborasi apik nih bertiga..
"Udah balik lo?" tanya Okta ke gue yang keliatan banget cuma buat basa basi, tapi sebenernya pasti dia pengen tau kenapa Mbak Silvi dan Mas Abdan belom sampe kantor sedangkan gue udah duduk manis di meja kerja gue.
Gue ga menggubris pertanyaannya dan pura-pura sibuk komat kamit membaca ulang point-point hasil meeting tadi.
"Dih, mentang-mentang udah di angkat karyawan.. Jadi kena sindrom budek dia..!" Iis yang mulutnya emang terkenal pedes ikut berkomentar.
Gue melirik sinis ke arahnya. Ga kayak waktu masih jaman jadi karyawan kontrak, sekarang gue udah ga takut lawan mereka, karena gue udah bisa nunjukin kemampuan kerja gue dengan baik. Buktinya Pak Andreas selalu percayain meeting-meeting penting ke gue, bukan ke mereka.
Gue anggap itu sebagai pencapaian atas hasil kerja keras gue selama ini. Gue ga pernah mengeluh kerjaan gue lebih banyak dari mereka selama itu masih berkaitan dengan job desc gue. Gue ga pernah menyesal kenapa atasan sekelas Pak Andreas melimpahkan pekerjaan dengan tanggung jawab besar ke gue. Gue malah bersyukur karena itu berarti gue punya standar lebih tinggi dibanding senior-senior gue yang kerjaannya ga pernah beres karena sibuk ngerumpi di pantry.
"Bacot!" gumam gue pelan tapi sengaja memperjelas gerakan di bibir gue biar mereka bertiga liat.
"Weh! Anak baru kemaren udah berani nyolot!" Iis menghampiri meja gue dan menggebraknya. Niken dan Okta menyusul di belakangnya sambil berkacak pinggang kayak jagoan.
"Ngomong apa lo barusan?" tanya Iis emosi, sampe-sampe mukanya yang kemerahan karena sering kena produk merkuri itu makin keliatan merah menyala.
Gue cuma melirik sekilas lalu mulai mengetik lagi di laptop. Berusaha tidak terganggu dengan kedatangan mereka yang udah keburu makin emosi ngeliat sikap gue yang malah cuek.
"Anj**g lo!"
Ga gue sangka, Iis menjambak rambut gue dan menghantam kepala gue ke meja sekeras mungkin. Seketika itu juga gue ngerasa pusing dan sempat ga sadar beberapa detik.
Sakit di kening gue rasanya menjalar sampe ke kepala belakang bahkan sampe-sampe otot leher gue ikutan kaku. Beberapa detik kemudian gue seperti ngerasain sesuatu yang hangat mengalir dari hidung gue.
Gue meraba hidung gue yang ternyata udah berdarah karena mimisan. Mungkin karena benturan keras tadi jadi darah keluar lumayan banyak lewat hidung gue.
Sontak aja seisi ruangan PPIC langsung ricuh. Beberapa tim PPIC yang baru aja kembali dari lantai produksi karena bersiap untuk pulang juga berlarian menghampiri gue yang masih dalam kondisi setengah sadar sama enggak.
"Lin.. Lin..? Lo ga papa?" gue cuma denger suara Toni yang ada di samping gue dan berusaha nyumpel hidung gue dengan tisu. Terus ada beberapa orang lagi yang coba manggil-manggil nama gue biar tetep sadar.
Gue mencoba tetap tersenyum dan menyandarkan tubuh agar tetap duduk tegak di tangan Pak Sarkam, tim PPIC yang paling senior sementara yang lain sibuk menyelamatkan berkas-berkas dokumen gue yang sedikit terkena percikan darah.
Yang paling nyebelin, gue liat Iis, Niken dan Okta rebutan untuk kabur berhamburan keluar ruangan dan entah mau kemana. Tapi gue ga peduli, karena sekarang kepala gue rasanya pusing bukan maen.
"Nih Mbak Lini.. Kompres pake ini.. Jidatnya benjol tuh, mbak!" Mbak Endang, office girl yang gercep banget kalo ada apa-apa, datang tergopoh-gopoh sambil bawa kantong plastik berisi es batu dan langsung menempelkannya di dahi gue.
"Ya, ampun Lin, kenapa lo?" Gue denger suara Mas Abdan mendekat. Gue langsung mengambil alih kantong es dari tangan Mbak Endang dan memejamkan mata. Gue ga mau keliatan lemah dan dikasihani sama Mas Abdan. Titik!
"Dijedotin palanya sama si Iis.." jawab Pak Sarkam masih dengan posisi menyangga kepala gue.
"Mana si Iis?" suara Mas Abdan terdengar ga kayak biasanya, lebih kencang dan galak. Semua PPIC terdiam, ga ada yang menjawab.
"Ga usah lebay, gue ga apa-apa!" jawab gue sambil menyingkirkan tangan Pak Sarkam dengan sopan.
Pak Sarkam duduk di kursi samping meja gue sambil mengamati kondisi gue. "Biar Pak Daryanto aja yang anter kamu pulang! Nanti ta' telfon HRD!"
Pak Sarkam mengangkat gagang telfon tapi cepet-cepet gue larang. "Jangan pak, orang saya ga apa-apa! Malah ngerepotin semua orang!"
"Loh ga apa-apa gimana? Wong jidatmu itu bonyok kok! Noo liat nooo.." Pak Sarkam menyodorkan cermin lipat yang ada di saku kemejanya. Gue tersenyum menyadari kalau selama ini Pak Sarkam nyakuin cermin kemana-mana.
Tapi bener aja! Dahi gue penyok sekaligus lebam hijau ungu kebiruan dan mimisan gue masih netes terus ga berenti-berenti. Baju gue juga udah dipenuhin sama darah mimisan, mana gue ga bawa jaket!
"Biar saya anterin aja!" Mas Abdan menghampiri gue lebih dekat.
"Selesein kirim emailnya, terus siap-siap aja pulang.. Gue juga ambil tas dulu.. Please jangan nolak gue lagi kali ini, Lin.." bisiknya di telinga gue. Kepala gue mundur menjauh dari Mas Abdan karena ga enak diliat yang laen. Apalagi Mbak Silvi baru aja naek dan sempat ngeliat posisi Mas Abdan yang berbisik deket banget di telinga gue tadi.
"Ga usah.. Gue udah ditungguin sama jemputan gue kok!"
Sebenernya gue ga mau ngomong itu, tapi cuma itu satu-satunya cara biar Mas Abdan ga perlu nganter gue pulang. Gue harap Restu ga isengin gue dan beneran masih nunggu gue di bawah sana.
"Lo kenapa Lin?" Mbak Silvi mendekat dan baru menyadari kalo sesuatu terjadi sama gue.
"Dijedot..."
"Mimisan, Mbak.. Kecapekan kayaknya!" gue mencolek tangan Pak Sarkam dan buru-buru memotong omongannya. Pak Sarkam geleng-geleng karena gemas dengan sikap gue yang seperti melindungi Iis.
Mbak Silvi melirik ke arah jam tangannya. "Ya udah.. Kamu pulang aja sekarang ga apa-apa! Isi form biar gue paraf!"
Mbak Silvi melenggang masuk ke ruangannya tanpa melirik sedikit pun ke arah Mas Abdan seperti biasanya. Padahal jelas-jelas Mas Abdan berdiri tepat di samping gue, biasanya kalo liat Mas Abdan kan Mbak Silvi suka senyum-senyum ga jelas gitu terus suka kayak dilama-lamain gitu ngobrolnya. Tapi kali ini beda, kayaknya tadi emang mereka sempet ada obrolan sebelum turun ke parkiran mall. Gue sekarang yakin kalo tadi emang mata Mbak Silvi sembab karena baru nangis.
"Iya mbak.." gue menjawab singkat dan buru-buru mengirimkan draft email hasil meeting tadi. Abis itu gue ngisi form pulang cepat dengan tangan yang satunya masih sibuk mengompres dahi gue yang memar, padahal jam pulang tinggal setengah jam lagi. Ga apa-apalah gue ngikut aja maunya si bos..
"Gue besok sekalian ijin ga masuk ya, mbak.. Gue mau istirahat sehari!"
"Ya udah!" jawab Mbak Silvi singkat, padat dan jutek sambil menandatangani dua lembar form ijin tanpa menoleh sedikit pun ke arah gue.
"Makasih mbak.."
Gue pelan-pelan keluar dari ruangannya. Karena jujur kepala gue masih berasa keleyengan.
"Pak, saya titip ke HRD dong besok.. Kayaknya saya ga kuat jalan mampir-mampir!"
Pak Sarkam mengangguk sambil menerima form-form dari tangan gue.
"Sekalian gue aduin tuh si Iis menor!" ujar Pak Sarkam geram.
Gue tersenyum. "Jangan, pak.. Biar saya sama Mbak Iis yang selesein masalah ini.. Ga mau rame-rame ah! Malu saya!"
Gue pamit ke semua tim yang masih ada di dalam ruangan PPIC dan jalan pelan-pelan banget terutama pas turun tangga ke lantai satu.
"Lin..!" Mas Abdan manggil gue tapi gue ga ada niat untuk ngelirik ke belakang. Dengan masih nahan sakit di kepala dan rasa pusing yang hebat gue terus berusaha nurunin anak tangga satu per satu.
Mas Abdan berhasil nyusul gue dan memapah tubuh gue menuruni tangga.
"Jangan kayak gini, Lin.. Gue udah jelasin semuanya ke Silvi! Gue ga ada perasaan ke dia sama sekali.."
"Mas, please ya.. gue lagi ga enak mikir. Kepala gue aja rasanya muter-muter. Gue ga mau bahas itu!"
"Lin.. Biar gue anter lo pulang!"
"Ga usah, Mas.. Gue udah dijemput!"
"Siapa?"
"Temen gue.."
"Dia yang waktu itu pernah nganterin lo juga kan? Yang dulu lu digosipin juga gara-gara lo dianterin dia kan? Lo ngasih cowok itu kesempatan sedangkan lo ga ngasih gue kesempatan! Gue pikir setelah malam itu kita pulang bareng, lo bakalan nerima perasaan gue, Lin.. "
Gue menghentikan langkah kaki gue dan menatap Mas Abdan.
"Mas, gue lagi ga mau ngomongin ini.. Gue cuma mau pulang terus istirahat!"
"Lin, gue sayang sama lo.. Gue ga mau jauh dari lo!"
"Mas! Kita di kantor!" gue celingak celinguk takut ada orang lain yang diem-diem ngedenger omongan Mas Abdan barusan.
"Gue rela ngelakuin apa aja, asal lo jadi milik gue!" Mas Abdan masih nekat ngomong yang enggak-enggak dan bikin kesabaran gue ilang.
"Termasuk jadi penyusup dan coba masuk ke kamar kost gue kemaren malem?"
Mas Abdan terdiam sambil menatap gue dengan pandangan yang terkejut.
Gue balik menatapnya dengan tegas. Gue sadar, mungkin gue udah terlalu cepat nuduh dia sebagai penyusup itu. Tapi kesabaran gue udah mulai habis sekarang.
"Jangan deketin gue lagi kalo cuma untuk macem-macem, mas..! Gue bukan cewek yang gampang buat dimainin kayak mantan-mantan lo dulu!"
Gue meninggalkan Mas Abdan yang cuma bisa berdiri terpaku ngedenger tuduhan gue tadi. Gue berjalan sempoyongan dan sekuat mungkin untuk bisa bertahan sampai di lantai bawah.
Dan begitu sampai di depan lobi, gue sedikit ngerasa lega ngeliat Restu masih duduk di atas motornya.
Restu melambaikan tangan ke arah gue dan berlari kecil menghampiri gue yang makin sempoyongan.
"Lin, lo kenapa?"
Habis itu, gue ga inget lagi apa yang terjadi. Yang pasti gue udah ngerasa sedikit lega karena yakin kalau Restu yang memeluk tubuh gue pas tiba-tiba gue jatuh ga sadarkan diri.
***
semangat thor,suka banget sama gaya bahasa mu,ikut gemes ikut sedih tauu.
sukses menanti mu.
Ah Restu kenapa selalu mempermainkan ketulusan Lini. 🥺