Nasib memang tidak bisa di tebak. ayah pergi di saat kami masih butuh perlindungannya. Di tengah badai ekonomi yang melanda, Datang Sigit menawarkan pertolongan nya. hingga saat dia mengajakku menikah tidak ada alasan untuk menolaknya.
. pada awalnya aku pikir aku sangat beruntung bersuamikan pria itu.. dia baik, penyayang dan idak pelit.
Tapi satu yang tidak bisa aku mengerti, bayang-bayang keluarganya tidak bisa lepas dari kehidupannya walaupun dia sudah membina keluarga baru dengan ku.
Semua yang menyangkut keluarga harus di diskusikan dengan orang tuanya.
janji untuk membiayai adik-adik ku hanya omong kosong belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon balqis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Sampai keesokan harinya, mas Sigit tidak ada kabar lagi.
Aku juga mulai lupa dan menyibukkan kan diri membantu ibu membuat kue untuk di jual di sore harinya.
Bulan terlihat lebih ceria berada di rumah ibuku. Mungkin karena banyak orang yang menyayanginya dengan tulus. Hafsah adik bungsuku tidak pernah lepas darinya. kemanapun dia pergi selalu mengajak Bulan.
Pukul sebelas semuanya sudah rampung. Kami beristirahat sambil menunggu waktu sholat zhuhur.
Sambil rebahan, Iseng ku buka aplikasi hijau di ponselku. bukan bermaksud apa-apa, cuma ingin mengecek kabar teman-teman ku. Tapi status Rani menggelitik hatiku. aku penasaran juga apa yang di lakukannya setelah kepergianku dari rumah.
Dia mengunggah story kebersamaannya dengan keluarga. Terutama dengan mas Sigit.
Diiringi caption yang mengundang tawa.
"'Menghabiskan waktu bersama orang tersayang" lalu di bawahnya dia tambahkan emoji love.
Aku hanya tersenyum membacanya.
Semalam aku masih menangisi dan menyayangkan sikap mas Sigit. Tapi hari ini, entah kemana perginya simpati itu. aku tidak respect lagi dengan keberadaannya.
Ibu menyentuh pundak ku pelan.
"Kenapa kau tertawa sendiri, apanya yang lucu?" mata teduhnya menelisik wajahku.
"Ini, Bu."
"Astaghfirullah.. Itu, kan Sigit? Dan bukannya itu iparnya?" ibu begitu kaget melihat pose-posenya mereka yang kelewat batas.
"Begitulah setiap harinya. Apa salah kalau aku mengambil keputusan untuk bercerai?"
"Sekarang ibu mengerti kenapa kau berkeras ingin berpisah. Ibu juga tidak akan menghalangi mu lagi. Tapi ibu juga tidak menganjurkan sebuah perceraian."
"Terima kasih, Bu. Andai saja ayah masih ada..." ucapku sendu.
"Yang sabar ya Nduk..!"
"Selama ibu ada bersamaku, aku tidak akan takut menghadapi apapun." ucapku sambil memeluk lengannya.
"Bilal, tolong antarkan pesanan Bu Romlah!"
"Ini baru jam lima Bu, bukannya pengajiannya jam tujuh malam? Aku main bola dulu sebentar. Teman-teman sudah menungguku." jawab Bilal.
"Tapi, Nak. Ini pesan Bu Romlah. kita harus menghormati pelanggan." ucap ibu prihatin.
Dengan terpaksa Bilal setuju.
Aku yang melihat itu kasian pada adik ku itu.
"Biar Mba, saja yang antar. Kau lanjutkan main bolanya "
Ibu dan Bilal menatapku.
"Benar,Mba?"
"Benar, masa Mba bercanda."
Bilal memeluk ku erat.
"Lalu Bulan?" tanya Ibu khawatir.
"Kan, ada ibu dan Hafsah. Dia akan anteng kok." jawabku pasti.
Akhirnya aku yang mengantar pesanan kerumah Bu Romlah.
"Eeh, May.. Kapan pulang kerumah ibumu?" sapa wanita itu dengan ramah.
"Iya, Bu. Kemarin." jawabku asal. aku tidak tertarik menceritakan prahara rumah tanggaku kepadanya.
Rumah Bu Romlah tapi tidak ada kegiatan yang menunjuk kan itu.
"Katanya ada pengajian, ya Bu?"
"Itu dia, memang rencananya begitu. Tapi suami ibu, tiba-tiba tidak enak badan. Terpaksa pengajiannya di tunda. Tapi jangan khawatir, kue ys g di pesan tetap ibu bayar kok." aku menarik nafas lega. Karena sudah terbayang kerugian ibu kalau sampai Bu Romlah tidak mau membayar.
Setelah mendapat uangnya, aku mohon diri.
Tapi tak di sangka Dokter Agam keluar dari dalam rumah itu.
Aku terpaku menatapnya. Sungguh momen yang tidak ku bayangkan. Aku cemas dengan rumor yang beredar tentang kami.
"May...? Kau di sini juga?" sapanya dengan senyum yang tak pernah ketinggalan.
"I-iya, pak Dokter ada di sini juga?" aku tidak bisa menyembunyikan kegugupanku.
"Suaminya Bu Romlah sakit, aku di panggil kesini." jawabnya santai.
"Dokter sudah kenal dengan May rupanya. Kebetulan sekali. May mengantarkan kue yang saya pesan. Kue buatan ibunya enak lho Dok." Bu Romlah memberi bungkusan kecil pada Dokter Agam.
"Terima kasih, Bu Romlah. Saya pasti memakannya." pria itu menerimanya dengan senang hati.
"Kalau begitu saya duluan.." ucapku cepat. Aku ingin lenyap dari tempat itu segera.
"Kebetulan pekerjaan ku juga sudah selesai. Kita bareng saja. Searah, kan?"
"Iya, benar kata Dokter. Kalian searah. Jadi bisa jalan bareng."
Aku tercekat, kami akan jalan bersama.
"Tidak apa-apa, kan?"
Aku menggeleng cepat.
"Tentu tidak. Justru saya yang harus bertanya begitu." jawabku berbasa basi.
"Aku senang ada teman bicara. Sebenarnya tadi mau bawa motor. Tapi motornya di pinjam si Udin." ucapnya dengan mengulas senyum khasnya.
Akhirnya kami berjalan beriringan saat pulang.
"Bagaimana keadaan, Bulan?" tanyanya membuka percakapan, sikapnya sangat santai seolah tidak ada apa-apa. Atau memang dia belum tau tentang rumor di antara kami.
"Baik, Dok.vdia sudah sehat."
"Suami mu?"
langkahku terhenti. Tak menyangka dia akan bertanya tentang mas Sigit.
"kenapa? kalian baik-baik saja? Maksudku. Aku merasa tidak enak dengan kejadian saat itu." ia meralat ucapannya.
"Kami baik. Dokter tidak usah merasa tidak enak. Justru Kamilah yang harus merasa tidak enak. Yang salah suami saya." jawabku sambil tertunduk.
Aku semakin khawatir kalau Dokter itu menyinggung tentang gosip yang beredar.
"Pak Dokter.. "
"Iya, ada apa? Kau terlihat ragu."
"Sebenarnya saya malu mengatakannya. Tapi saya harus meluruskannya."
"Ada apa? Kau gugup sekali."
"Saya mau minta maaf atas rumor yang beredar. Sungguh..! Itu di luar kehendak saya."
Aku mencoba meyakinkannya.
Pria itu terdiam menyimak
"Saya sudah menduga kalau dokter akan marah mendengarnya. Tapi ini di luar kemauan saya." melihatnya masih diam, membuatku semakin khawatir dan merasa bersalah.
"Pak Dokter, saya minta maaf...! Saya tau ini sangat memalukan buat dokter." aku memberanikan diri berjongkok di hadapannya. Aku pikir dia benar-benar marah.
"Iya, gosip itu memang sudah sampai padaku." ucapnya datar.
Aku semakin merasa bersalah.
"Tapi kau yang minta maaf, kau juga korbannya."
Aku mendongak kaget.
"Jadi..?" Aku semakin bingung dengan sikapnya.
"Aku tidak merasa terganggu, kok. Tapi tidak tau dengan mu." ia menjawab dengan santai.
Hah? Benarkah yang ku dengar ini?
"Itu hanya gosip. dan perbuatan orang yang kurang kerjaan. Kenapa kita ambil pusing?"
Sungguh aku merasa lega. Dan pendapat dokter muda itu sangat bijak.
Aku lega mendengarnya. Kecanggungan di antara kami mulai sedikit terurai.
Aku memperhatikan dokter itu diam-diam. selain baik dan ramah. Dia juga gagah dan punya senyum yang manis semanis gula. Tapi kenapa dia masih sendiri? Setahuku. Dia tidak pernah terlihat dekat dengan seorang gadis dari kampung kami. Di ruang kerjanya juga tidak ada photo wanita seperti pada dokter-dokter pada umumnya.
Tapi kenapa aku memikirnya? Mau dia ada istri atau kekasih di kota sana, apa hubungannya denganku? Otak ku memang sudah tidak beres. Aku mengetuk kepalaku beberapa kali. Lalu tersenyum sendiri. Tapi yang jelas pertemuanku dengannya hari ini sangat berkesan. paling tidak aku tau kalau dia tidak terbebani dengan gosip tentang kami.
Masalah mas Sigit sudah mulai terlupakan. Tapi berita mengejutkan datang padaku.
Sebuah kecelakaan terjadi di jalur yang menuju ke puncak.
Semua penumpangnya luka parah.
Aku terkejut. Dengan sigap ku cari informasi tentang kecelakaan itu.
Yang ku khawatir kan memang benar. Mobil yang di tumpangi mas Sigit sekeluarga terguling ke jurang.
Belum jelas kondisi mas Sigit dan yang lainnya. Cuma Rani mengalami patah tulang yang parah.
"Astaghfirullah.. Karma langsung terbayar kontan...!" ucapku tak sadar.