Sejak kecil Rea seorang anak tunggal terlalu bergantung pada Jayden. Laki-laki sok jagoan yang selalu ingin melindunginya. Meskipun sok jagoan dan kadang menyebalkan, tapi Jayden adalah orang yang tidak pernah meninggalkan Rea dalam keadaan apapun. Jayden selalu ada di kehidupan Rea. Hingga saat Altan Bagaskara tidak datang di hari pernikahannya dengan Rea, Jayden dengan jiwa heroiknya tiba-tiba menawarkan diri untuk menjadi pengganti mempelai pria. Lalu, mampukah mereka berdua mempertahankan biduk rumah tangga, di saat orang-orang dari masa lalu hadir dan mengusik pernikahan mereka?
Selamat Membaca ya!
Semoga suka. 🤩🤩🤩
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Budi Asih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep 21
"Kamu kemana saja, Zika? Aku nyariin kamu ke mana-mana. Apa Papaku ngusir kamu dari apartemen?"
Zika menggeleng, mencoba melonggarkan pelukan Altan. Namun, pria itu masih mendekap erat, tak ingin berpisah.
"Al ...."
"Kamu masih marah sama aku?"
"Iya," sahut Zika, membuat pria itu melepaskan pelukannya.
"Bukan aku yang pergi ninggalin kamu, Al. Tapi kamu! Kamu yang pergi ninggalin aku!"
Altan menggertakkan rahangnya. Dia tak punya alasan yang bagus untuk membantah tuduhan Zika padanya. Karna kenyataannya Altan memang pergi setelah perempuan itu mengakui kehamilannya. Jujur saja Altan takut dia belum siap menghadapi masalah yang datang bertubi-tubi ini. Belum juga masalah Clareance yang masih belum bisa dia redam. Di tambah lagi soal kehamilan Zika. Rasanya, kepala Altan sudah mau meledak sejak kemarin.
"Kamu masih belum bisa menentukan pilihan?" Desak Zika dengan tatapan mengancam.
"Kamu harus memilih, Al. Aku nggak mau menjadi perempuan cadangan, yang kapan saja bisa kamu buang kalau sudah tidak di butuhkan!"
"Zika ...."
"Aku sedang mengandung anak kamu, Al. Ada calon bayi kita di dalam rahimku! Apa kamu tega ninggalin aku dan menikah dengan perempuan tidak tahu diri itu?!"
"Clareance tidak tahu apa-apa. Kamu tidak perlu menyalahkannya."
"Ooh, jadi sekarang kamu sudah bisa membelanya di depanku. Apa hatimu sudah berpaling padanya selama kita tidak bertemu selama ini?"
Altan mengacak rambutnya sendiri karna merasa frustasi. Apa yang harus dia lakukan pada Zika. Pria itu sungguh kehabisan akal.
Karna tak juga mendapatkan jawaban. Akhirnya Zika bangkit dari duduk. Ia berjalan cepat menuju dapur dan mengambil sebilah pisau, lalu mengarahkan ke lehernya sendiri.
"Zika! Apa yang kamu lakukan?!"
"Aku menyuruhmu memilih, Al. Aku nggak bisa menunggu lagi. Aku butuh kepastian!" Teriaknya dengan mata melebar dan napas memburu, seolah siap menggoreskan pisau berujung runcing itu sekarang juga ke lehernya.
"Zika ... dengerin aku ... taruh dulu pisaunya. Kita bisa duduk dan bicara baik-baik."
Perempuan hamil itu menggeleng kuat, menolak bersikap baik dan menurut dengan ucapan Altan padanya.
"Lebih baik aku mati dari pada harus membesarkan bayi ini sendirian. Aku nggak mau dia hidup seperti ibunya yang besar tanpa orang tua," suaranya mendadak serak dan tercekat.
"Kalau kamu tetap memilih dan menikahi perempuan itu, kamu harus bersiap kehilangan aku dan calon bayi kita selamanya."
÷÷÷÷÷
"Mbak Clareance?"
Perempuan manis itu mendongak, menatap dari balik kaca mata hitam, tak ada lagi yang bisa mengenalinya. Ternyata, Clareance salah. Pesona dan auranya tak bisa tertutupi hanya dengan masker dan kacamata hitam.
Beberapa orang masih bisa mengenalinya dengan baik. Oh, mungkin karna setelan mahal yang ia kenakan, atau karna hand bag seharga puluhan juta yang kini duduk manis di atas mejanya?
"Ya," sahut Rea dengan senyum yang dibuat semanis mungkin, usai dia membuka maskernya dengan gerakan anggun. Rea sudah terbiasa melakukan hal ini. Tak ada lagi yang bisa membedakan senyum yang terukir di bibirnya itu tulus atau tidak. Tentu saja, kecuali Jayden.
"Ah, saya pikir salah lihat tadi. Ternyata benar Mbak Clareance," seru pelayan itu dengan muka berbinar. Boleh minta tanda tangan?"
"Hm? oh, sure."
"Sekalian fotbar."
"Fot-bar?" Ulang Rea dengan alis terangkat naik.
"Foto bareng, Mbak."
"Ooh, iya-iya. Boleh," sahutnya dengan suara lembut dan senyum mengembang. Dia sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini, melayani penggemar yang meminta tanda tangan dan juga foto.
"Makasih, ya, Mbak Rea. Pacar saya pasti senang banget."
"Pacar kamu?" Kening Rea kembali mengerut.
Gadis yang memakai seragam itu mengangguk riang.
"Pacar saya nge-fans banget loh sama Mbak Clareance. Dinding kamarnya saja penuh sama foto-foto Mbak Rea. Oh, ya. Waktu ada berita Mbak Rea mau menikah, pacar saya hampir satu minggu nggak mau makan. Patah hati katanya."
Clareance hanya bisa melongo mendengar penjelasan gadis belia di hadapannya itu.
"Kamu ... nggak cemburu?"
"Cemburu? Sama Mbak Clareance? Ya nggaklah, Mbak," sahutnya sambil mengibaskan sebelah tangan.
"Waah, kamu punya hati yang baik," puji Rea sambil meringis geli.
"Nggak juga, Mbak. Itu karna pacar saya yang bilang, kalau dia nge-fans sama Mbak Clareance karna wajah kita berdua mirip. Sebelas dua belas katanya," ucapnya dengan senyum malu-malu.
Sedangkan Rea hanya bisa melipat bibir untuk menahan tawa. Harus Rea akui, gadis itu punya seorang kekasih yang pintar sekali membual. Pria itu bilang mereka mirip? Oh, astaga! Di lihat dari sudut manapun, mereka berdua sama sekali tidak mirip! Jauuuh, bagaimana bumi dan langit!
"Rea sudah pesan makanan?" Tiba-tiba Jayden muncul, melepas blazer hitam dan melonggarkan kancing kemejanya.
"Aku lapar banget, nih. Tadi nggak sempat makan sama klien," keluhnya tanpa mempedulikan tatapan terpesona seorang pelayan yang masih berdiri di sampingnya.
"Ini calon suaminya Mbak Clareance, ya?" Celetuk si pelayan, menatap Rea dan Jayden bergantian.
Baru saja Rea hendak menjawab, tiba-tiba Jayden meraih tangannya dan menatap pelayan itu dengan senyum tipis.
"Tolong bawakan buku menunya, saya mau pesan makanan," kata Jayden membuat pelayan itu tersadar akan posisinya, dan segera pergi untuk mengambil buku menu di meja counter.
"Nggak perlu bersikap sesinis itu, Jayden. Mereka itu fans. Kita harus ramah."
"Aku bukan kamu. Lagian, mereka tidak akan puas hanya melontarkan satu pertanyaan. Kalau kamu terus meladeni mereka. Kamu nggak akan punya privasi, Rea. Kamu harus bisa menentukan sikap, membuat batas yang tegas."
"Kehidupanku memang milik banyak orang. Kenapa aku harus membuat batas," lirih Rea sambil bersedekap, membuat Jayden menatapnya geram.
"Mereka ingin tahu bukan karna peduli padamu, Rea. Mereka ingin tahu semua hal tentangmu hanya untuk menggunjingmu di kemudian hari. Jangan bodoh jadi orang."
"Aku nggak bodoh!" Dengus Rea yang tiba-tiba emosi.
Jayden memutar bola matanya, lalu kembali fokus pada wajah Rea yang cemberut.
"Kamu memang gadis paling bodoh yang pernah aku temui," tegasnya, membuat Rea menyipitkan mata. Lalu sedetik kemudian, gadis itu bangkit dari duduk, menyambar hand bag miliknya dan melangkah pergi meninggalkan meja.
÷÷÷÷÷
"Rea, tunggu!" Panggil Jayden yang berjalan cepat mengikuti langkah Clareance.
Gadis itu benar-benar mahir melarikan diri, padahal dia sedang menggunakan stiletto sepuluh senti. Bagaimana bisa dia berjalan secepat itu?
"Rea!"
Gadis itu menoleh, dan tak sengaja ujung sepatunya menginjak batu. Alhasil, Rea jatuh di dekat tempat parkir restoran. Lututnya tergores dan berdarah. Rea berteriak kesakitan, hingga membuat beberapa pasang mata menoleh ke arahnya.
"Aduh! Sakiiit!" Rengeknya hampir menangis karna kesakitan.
Sementara Jayden yang mulai menyadari ada beberapa orang mendekat, segera melepas blazer dan menutupi Clareance. Agar terhindar dari orang-orang yang berniat mengambil foto dan video.
"Jangan sentuh aku," desis Rea dengan mata menyala amarah, menatap Jayden yang sudah berlutut di hadapannya.
"Kamu mau wajahmu muncul di tajuk utama berita gosip besok pagi? Orang-orang sudah mengarahkan kamera ke arahmu."
Baru saja Rea mau menoleh ke arah kerumunan, Jayden sudah menangkup wajahnya.
"Jangan menatap ke arah mereka. Tundukkan saja wajahmu dan jangan berteriak lagi, kamu bukan anak kecil," katanya tegas.
Rea hanya bisa pasrah sewaktu Jayden mengangkat tubuhnya dan membawa gadis itu masuk ke dalam mobil, menuju apartemen. Pria itu benar-benar bertingkah seperti kekasihnya.
Beberapa dari orang-orang itu saling berbisik dan bertanya-tanya. Siapa gerangan yang sudah menggendong Clareance dan membawanya pergi? Mungkinkah itu calon suami yang selama ini masih di sembunyikan identitasnya oleh Clareance?
Mungkin gadis itu akan bersiap-siap menghadapi pertanyaan para wartawan esok pagi.
"Aaw, sakit, Jayden! Bisa pelan-pelan nggak, sih?!"
"Ini sudah pelan."
"Lagian kenapa sih kamu buru-buru banget tadi? Sepatu aku jadi ketinggalan di sana!"
"Masih bisa mikirin sepatu ya kamu." Jayden menggelengkan kepala, menatap kesal pada Clareance.
"Itu limited edition. Belinya di luar negeri, loh. Di sini nggak ada!"
"Bawel banget, sih. Bisa diam, nggak?" Belalak Jayden tak tahan lagi mendengar ocehan Clareance.
Gadis itu bersungut-sungut. menggerutu tanpa suara sambil menatap Jayden yang tengah sibuk membersihkan luka di lututnya, dan mengoles salep agar lukanya tidak meninggalkan bekas di kakinya.