“Gun ... namamu memang berarti senjata, tapi kau adalah seni.”
Jonas Lee, anggota pasukan khusus di negara J. Dia adalah prajurit emas yang memiliki segudang prestasi dan apresiasi di kesatuan---dulunya.
Kariernya hancur setelah dijebak dan dituduh membunuh rekan satu profesi.
Melarikan diri ke negara K dan memulai kehidupan baru sebagai Lee Gun. Dia menjadi seorang pelukis karena bakat alami yang dimiliki, namun sisi lainnya, dia juga seorang kurir malam yang menerima pekerjaan gelap.
Dia memiliki kekasih, Hyena. Namun wanita itu terbunuh saat bekerja sebagai wartawan berita. Perjalanan balas dendam Lee Gun untuk kematian Hyena mempertemukannya dengan Kim Suzi, putri penguasa negara sekaligus pendiri Phantom Security.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fragmen 16
Hujan masih saja deras. Suzi berdiri memandang ke luar jendela dengan perasaan resah. Teh hangat di tangan mulai mendingin.
Bukan karena hujan, tapi ini kali pertama dia berada satu kamar dengan seorang pria. Hatinya terus berkicau; semoga pagi lekas datang dan dia terbangun dengan perasaan tenang.
Berbeda dengan Suzi, Gun seperti tak ada beban. Pria itu duduk di atas sofa, fokus pada ponsel dengan dahi mengernyit sesekali, lalu datar kembali.
Suzi memerhatikan melalui ekor mata, bibirnya tergerak mencebik dengan suara yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. "Sesantai itu. Apa dia sering satu kamar dengan wanita?" Sedikit ingin tahu tentang itu. "Hh, aku lupa, wajah tampannya pasti sangat sayang jika tidak dimanfaatkan. Aku yakin dia sudah meniduri banyak wanita." Memikirkan itu Suzi jadi kesal sendiri.
"Sial, memangnya siapa dia? Kenapa jadi aku yang pusing. Awas saja kalau sampai malam ini dia berani kurang ajar padaku!" Detik berikutnya gadis 26 tahun itu melangkah menuju ranjang yang hanya satu, dengan ukuran tak begitu besar. Dalam hatinya terus bersungut-sungut.
"Aku ingin tidur," katanya pada Gun dalam posisi sudah duduk di tepi ranjang. "Jika kau sudah selesai dengan ponselmu, tolong matikan lampu."
Gun mengangkat wajah sekilas saja dan berkata, "Ya, Nona. Selamat tidur." Tak ada hormat apalagi ketulusan. Benar-benar pengawal gila.
Sebait pesan berisi candaan untuk membalas pesan Bomi di ponselnya, mengganti ekspresi pria itu sedikit ramah. Kekehan renyah namun pelan membuatnya terlihat seperti manusia normal pada umumnya.
Ya, baik Suzi maupun Archie dan semua yang mengenal, Gun memang seperti bukan manusia. Satu ungkapan yang di dalamnya memiliki arti bercabang untuk orang yang menanggapi, mereka masing-masing mempunyai pandangan berbeda terhadap seorang Lee Gun.
Entahlah, pria itu terlalu aneh, tapi juga terlalu sayang untuk diabaikan.
Kekehan renyah Gun yang tadi saat ini justri jadi penyakit mendadak bagi Suzi. Jantungnya seketika berdegup kencang hanya karena hal sesederhana itu. Dia tersihir lalu sadar dan mendapati dirinya dalam keadaan terpesona.
"Tuhan ... jantungku!" Tangannya naik memegang dada. "Sebaiknya aku tidur sebelum menjadi gila." Dia memutuskan buru-buru berbaring dan menutupi diri dengan selimut, meliput sampai kepala. "Ada apa dengan diriku?!" Hatinya terus mengutuk.
Gun melirik ke arah wanita itu, terheran lagi. "Kenapa lagi dia?" Kemudian mengedik bahu malas peduli. Tak lepas dari layar menyala ponselnya, dia merubah posisi jadi merebah, kaki panjangnya terjuntai karena ukuran sofa tak sesuai tinggi tubuhnya. Kali ini dia berbalas pesan dengan O-sung.
Lagi-lagi tawa rendahnya terdengar dan sampai di telinga Suzi yang belum bisa menormalkan diri.
Di dalam selimut, gadis itu semakin tak bisa mengkondisikan debaran jantung yang parahnya bertambah kadar. Begitu rumit sampai dia sendiri pun tak memahami perasaannya.
Mana mungkin hanya karena suara tawa pria itu dia jadi tak waras?
"Aku harus tidur, aku harus tidur. Tuhan, kumohon buat aku mengantuk." Anggap saja itu adalah mantra.
**
Waktu merangkak ke angka sekian di putaran jam. Hampir tengah malam. Gun melihat Suzi sudah terlelap. Terdengar dengkuran halus dari balik selimut yang menutupi seluruh bagian tubuh gadis itu.
Gun bangkit untuk mematikan lampu sesuai permintaan nona-nya tadi, lalu kembali merebahi sofa. Mata dan tubuhnya sinkron di tema sama-sama lelah. Dia memutuskan untuk tidur.
Detak jarum jam seperti melodi di keheningan. Semua sudah dalam keadaan nyenyak sekarang. Suzi juga berhasil menguasai hati setelah perjuangan panjang seorang diri yang menjengkelkan.
Setelah reda beberapa saat, hujan kembali turun dengan deras di waktu jam dua malam. Petir menggelegar keras di langit lepas.
"Arrrrggghhh!"
Teriakan Suzi membahana, gadis itu bangun spontan dari rebahnya seraya menutup telinga.
Gun tentu terkejut, langsung bangkit menghampiri gadis itu dengan gerak cepat. "Nona, kau tak apa?!" Bertanya panik seraya mendudukkan diri di hadapan Suzi.
"Aku takut petir. Sungguh aku takut. Aku benci."
Sepasang mata Gun membola lebar. Tubuhnya mendadak kaku. Suzi langsung menubrukkan diri ke pelukannya.
"Aku tak suka suara itu." Suzi mengulang kata dengan tangisan.
Gun bisa merasakan tubuh gemetar Suzi di pelukannya. Gadis itu benar-benar ketakutan.
Tiba-tiba muncul perasaan aneh dalam hati Gun, mengalir pelan seperti lahar namun terasa hangat. Perlahan, dua tangannya tergerak naik untuk membalas peluk, seakan ada perintah gaib dari hatinya.
Telapak tangan naik dan turun mengelus punggung Suzi dengan lembut dan hati-hati. "Tenanglah. Ada aku." Ucapan itu meluncur begitu saja dari mulutnya seolah menyesuaikan diri sebagai seorang pengawal yang siap melindungi sang nona dari apa pun, termasuk itu adalah petir.
Tanpa terasa waktu kembali meninggalkan yang sudah terjadi. Malam berganti pagi. Cahaya matahari masuk menembus lewat celah ventilasi di atas jendela.
Suzi membuka mata dengan perlahan, menyesuaikan penglihatannya.
Dia ingin bergerak, namun tubuhnya seperti terkunci. Dan ....
"Tunggu!"
.... "Oh, tidak!"
Barulah menyadari bahwa saat ini dirinya berada dalam dekapan pengawalnya sendiri. Dia mendongak, wajah Gun begitu dekat di atas kepalanya. Hangat napas dari hidung pria itu membentur kening.
"Tidak mungkin! Bagaimana bisa begini?! .... Apa semalam dia ..."
"TIDAK!"
BAMM!
"AWWW!" Gun mengaduh seraya memegangi kepala yang kesakitan. Cukup terkejut dengan perbuatan Suzi. Gadis itu baru saja melepaskan diri dan langsung mendorongnya dari atas ranjang hingga berakhir konyol di dasar lantai.
"Apa yang kau lakukan padaku?!" Suzi meneriaki. Sebuah jam weker terkepal di satu tangan siap untuk dilemparkannya ke wajah Gun.
Gun menatapnya dengan raut terkejut. "Bukankah seharusnya aku yang bertanya begitu?" Sakit di bokongnya bahkan masih terasa.
Suzi berpikir sesaat untuk mencerna, namun berujung tak peduli dan memilih tetap pada modenya.
“Apa yang kau lakukan padaku semalam?! Kenapa kita tidur seranjang?! Kau melecehkanku, ya?!"
Nggg ....
Hanya butuh dua detik untuk Gun memahami kemana arah perkataan wanita muda itu.
"Hah, petir semalam rupanya berhasil membuatmu amnesia," cibirnya seraya bangkit berdiri. Tidak dia menggunakan sapaan formal lagi macam biasa. Sedikit terpengaruh rasa kesalnya karena tuduhan konyol Suzi sesaat lalu.
Suzi memiringkan kepala sembari berekspresi tidak mengerti. "Petir semalam? Maksudmu?"
Gun yang membelakangi untuk mengambil ponsel di atas sofa, menoleh ke wajah gadis itu, memberi tatapan keruh. "Gali ingatanmu dengan benar. Aku butuh mandi untuk membersihkan bau parfummu."
Membola lebar sepasang mata Suzi mendengar itu, mulutnya pun turut menganga seperti anak burung meminta makan. "Apa katanya? Huh! ... Hey! Parfumku tidak sebusuk itu!”
Puas bersungut akhirnya dia kembali diam.
Gun menghilang ke dalam kamar mandi, gadis ini mulai lagi menguatkan pikiran. Berjalan mondar-mandir seraya memijit kening.
Ekspresinya berubah beku saat semua ingatan berlayar di pelupuk mata. "Oh, my Lord!" pekiknya sontak menutup mulut.
Dia menggeleng dengan wajah meringis bukan karena sakit. Sekarang saat yang tepat untuk menyesali semua yang tadi dia tuduhkan pada Lee Gun.
"Petir sialan itu benar-benar membuatku amnesia." Pintu kamar mandi yang masih tertutup ditatapnya dengan raut resah. "Sekarang bagaimana aku menghadapinya?"
“Yang takut petir pada akhirnya adalah aku.”
semoga diterima amal ibadahnya
diberi ketabahan buat keluarga yg ditinggalkan.
turut berdukacita thor /Pray//Pray//Pray/
sepertinya malah agen rahasia
lnjutkan
semoga keluarga kalian d berikan kesabaran yg luas
meski ikhlas tidaklah mudah
semangat Up
turut berdukacita thor... smogaauthor sekeluarga diberi ketabahan n kesabaran/Rose//Rose//Rose/
semangat/Determined//Determined//Determined/