Terima atau tidak, mau tak mau manusia harus menerima kenyataan itu. Bahwa mereka terlahir dengan apa adanya mereka saat ini. Sayangnya manusia tak bisa memilih akan dilahirkan dalam bentuk seperti apa. Kalau bisa memilih, mungkin semua orang berlomba-lomba memilih versi terbaiknya sebelum lahir ke dunia.
Terkadang hal istimewa yang Tuhan beri ke kita justru dianggap hal aneh dan tidak normal bagi manusia lain. Mereka berhak untuk berkomentar dan kita juga berhak memutuskan. Mencintai diri sendiri dengan segala hal istimewa yang Tuhan tuangkan dalam diri kita adalah suatu apresiasi serta wujud syukur kepada sang pencipta.
Sama seperti Nara, yang sudah sejak lama menerima kenyataan hidupnya. Sudah sejak dua tahun lalu ia menerima panggilan spiritual di dalam hidupnya, namun baru ia putuskan untuk menerimanya tahun lalu. Semua hal perlu proses. Termasuk peralihan kehidupan menuju hidup yang tak pernah ia jalani sebelumnya.
Sudah setahun terakhir ia menjadi ahli pembaca tarot.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Dipa Pratiwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjelang Malam Bulan Purnama
Nara sudah berusaha untuk memberontak. Namun usahanya tetap saja gagal. Kekuatan fisiknya kalau jauh dengan pria itu. Hingga pada percobaan terakhir, Nara kembali memberontak. Namun secara tak sengaja tangannya menghantam ujung gerendel pintu, sehingga terluka.
"Argh!" rintih gadis itu kesakitan.
Sontak Baron langsung meraih pergelangan tangan gadis itu yang terluka. Namun dengam cepat ia menepisnya.
Dengan perasaan kesal, Nara memutuskan untuk meninggalkan Baron di sana. Ia buru-buru turun ke bawah sambil menutup lukanya.
"Nara!" sahut Baron.
Namun gadis itu sama sekali tidak menggubris.
Semula ia ingin menyusul gadis itu ke bawah. Namun perhatian Baron teralihkan dengan beberapa tetesan darah yang terdapat di lantai. Lantas ia segera menyeka noda tersebut.
Menurut kepercayaan para dukun, aroma anyir darah bisa memancing mahluk astral dan roh jahat untuk datang. Terlebih lagi malam ini adalah malam bulan purnama. Mayoritas dari mereka akan berkeliaran sepanjang malam bulan purnama.
Setelah selesai melakukan pekerjaannya, Baron lantas segera menyusul gadis itu ke bawah. Tapi ia sama sekali tak dapat mendapati Nara di lantai bawah.
"Kemana Nara pergi?" tanya Baron pada ibu gadis itu.
"Dia masih di kamarnya," jawab wanita itu dengan santai.
Baron terdiam sejenak. Otaknya tak mampu mencerna apa yang barusaja terjadi.
'TAP!'
'TAP!'
'TAP!'
Tak lama kemudian muncul sebuah suara dari balik anak tangga. Baron lantas memutar badannya menghadap sumber suara. Dan yang benar saja, itu adalah Nara dengan handuk di kepalanya. Sepertinya ia barusaja selesai mandi.
Baron benar-benar tak habis pikir. Ia mati kebingungan. Sebenarnya apa yang baru saja terjadi.
"Itu Nara!" celetuk ibunya sambil menunjuk ke arah gadis itu.
"Kenapa bu?" tanya Nara.
"Baron mencarimu tadi," ungkap wanita itu.
Mendengar jawaban tersebut, berhasil membuat Nara kehilangan semangatnya. Ia lalu berjalan melewati Baron begitu saja tanpa menyapanya sama sekali.
Sementara itu di sisi lain Baron masih berusaha untuk mencerna segalanya. Kedua netranya sama sekali tak terlepas dari gadis itu. Ia sudah menyoroti Nara sejak tadi. Mengamatinya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Sampai pada akhirnya ia menyadari ada sesuatu yang berbeda dengannya. Sosok Nara yang pertama kali ia temui memakai atasan kaos oblong berwarna biru dengan paduan rok panjang berwarna putih gading. Ia masih mengingat segala detailnya dengan akurat. Ingatan Baron cukup baik. Terlebih kejadiannya baru terjadi beberapa menit lalu. Memori itu masih terasa begitu segar di kepalanya.
Berbeda dengan Nara yang berada di hadapannya saat ini. Gadis itu kini terlihat lebih santai dari yang sebelumnya. Hanya menggunakan kaos oblong berwana abu-abu dan celana training hitam. Dan ysng terpenting adalah lukanya. Baron sudah memastikannya berkali-kali. Sama sekali tidak ada bekas goresan atau luka sedikit pun di pergelangan tangannya. Padahal Baron sangat yakin jika tadi ia melihat banyak darah keluar dari tangannya.
"Kau tak terluka?" tanya Baron untuk memastikan.
"Menurutmu?" tanya Nara balik.
Ia rasa dirinya tak perlu menjawab pertanyaan dari pria itu barusan. Bukankah sudah terlihat dengan sangat jelas jika ia tampak baik-baik saja tanpa ada luka sedikit pun. Lantas kenapa masih dipertanyakan.
Merasa ada yang tidak beres, Baron lantas memutuskan untuk kembali mengecek lantai dua. Jika benar Nara terluka, maka seharusnya masih ada bekas darah yang tersisa di sana meski sudah di seka. Lantai kayu akan menyerap setidaknya tiga puluh persen noda saat pertama kali jatuh. Sehingga cukup sulit untuk dibersihkan.
Dengan langkah yang tergesa-gesa, Baron menaiki anak tangga tersebut untuk menuju ke kamar gadis itu. Kemudian ia menunduk. Merendahkan pandangannya untuk melihat lebih jelas lagi. Bekas darahnya masih ada di sana. Baron bisa melihatnya dengan jelas.
Lalu ia beralih ke sapu tangan miliknya. Untuk memeriksa apakah benda yang satu itu memiliki noda yang serupa atau tidak. Dan ya, sesuai dengan dugaannya. Noda kemerahan tersebut masih tampak cukup jelas di sapu tangannya.
"Ck!" Baron berdecak kesal.
Jelas ada yang sedang berusaha untuk mencoba bercanda dengannya. Namun ia sama sekali tak tahu siapa itu. Ia bahkan tak bisa membedakan mana Nara yang asli dan mana Nara yang palsu.
Baron menghela napasnya dengan berat. Kini kepalanya terasa sedikit pusing memikirkan segalanya. Sepertinya ia perlu sedikit istirahat.
Fase bukan purnama memang selalu menjadi fase yang melelahkan. Ada saja peristiwa di luar nalar yang terjadi. Terlalu banyak energi negatif yang mendominasi saat ini, sehingga membuatnya merasa cepat kehabisan energi.
Pria itu memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Ia perlu meditasi untuk memulihkan energi positif yang ada di dalam tubuhnya. Yang terpenting ia harus mendinginkan kepalanya terlebih dahulu.
'CEKLEK!'
Baron mengunci pintu kamarnya untuk meminimalisir gangguan dari luar. Ia harus benar-benar fokus saat bermeditasi.
Pria itu lalu mengambil pemantik, kemudian membakar beberapa dupa dan meletakkannya di atas meja. Kemudian ia duduk dengan kaki terlipat di depan meja tersebut. Menemukan posisi yang sebaik dan senyaman mungkin baginya.
Meditasi dimulai dengan menarik napas dalam-dalam lalu dibuang. Hal itu dilakukan selama beberapa kali. Kunci dari meditasi adalah pola pernapasan dan pemusatan pikiran. Semakin baik kau melakukannya, maka akan semakin bagus juga hasilnya.
'BUGH!'
Berselang beberapa menit kemudian, Baron merasakan sesuatu yang keras menghantam punggungnya secara tiba-tiba. Membuat pria itu kehilangan konsentrasinya. Padahal sebelumnya meditasinya sudah berjalan dengan cukup baik.
Ia merintih kesakitan sambil memegangi punggungnya. Lalu dengan hati-hati menoleh ke arah belakang. Namun ia tak mendapati apa pun di belakangnya. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada Baron di ruangan itu. Lagi pula Baron sudah mengunci kamarnya tadi. Mustahil jika ada orang lain yang masuk tanpa seizin pria itu.
Tak ingin terburu-buru dalam mengambil keputusan, Baron lantas mengamati sekelilingnya sekali lagi. Tidak ada satu pun benda yang berpotensi untuk menyakitinya saat ini. Sudah bisa dipastikan jika itu adalah gangguan dari alam lain.
Kini ia merasa benar-benar kesal. Amarahnya tak lagi terbendung. Sejak kemarin emosinya cenderung tak stabil akibat pengaruh energi negatif yang makin mendesak menjelang bulan purnama.
"Baron…" bisik seseorang.
Mendadak sebuah suara dengan volume kecil muncul di telinganya. Memanggil namanya.
"Siapa kau?!" seru Baron yang tak sabaran.
Sama sekali tak ada jawaban setelahnya. Emosinya makin memuncak. Ia sudah tak bisa berpikir dengan jernih lagi. Mereka sungguh sudah kelewatan batas.
"Jika kau berani, tunjukkan dirimu. Aku tak suka dengan pengecut!" ucap Baron.
Masih tidak ada jawaban dari sosok ysng mengganggunya barusan.