NovelToon NovelToon
Sunday 22.22

Sunday 22.22

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Balas Dendam / Cinta Karena Taruhan
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: sun. flower. fav

Di tengah keindahan Jogja, proyek seni yang seharusnya menggembirakan berubah menjadi teka-teki penuh bahaya. Bersama teman-temanku, aku terjebak dalam misteri yang melibatkan Roats, sosok misterius, dan gadis bergaun indah yang tiba- tiba muncul meminta tolong.
Setiap sudut kota ini menyimpan rahasia, menguji keberanian dan persahabatan kami. Saat ketegangan memuncak dan pesan-pesan tak terjawab, kami harus menemukan jalan keluar dari labirin emosi dan ketegangan yang mengancam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sun. flower. fav, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

kehancuran yang berkelanjutan

Aku menatap layar laptop lama, diam bersama cahaya yang terpancar selama kurang lebih delapan jam sejak tadi malam. Mataku terasa perih dan enggan diajak tidur semenjak kehadiran Anindya semalam. Kepalaku terasa penat, penuh dengan berbagai pikiran yang bercampur aduk, ditambah lagi dengan pipi yang masih penuh luka, hasil dari siang yang mencekam itu.

Sesekali, aku menoleh ke belakang, melihat Anindya yang masih tertidur pulas di kasur. Wajahnya yang tenang dan damai memberikan sedikit ketenangan di tengah kekacauan yang kurasakan. Meskipun ia tampak damai, aku tahu bahwa di dalam benaknya, ia juga dihantui oleh banyak hal anceman yang datang tidak tanpa perkiraan. Dalam keheningan pagi ini, hanya suara napas tenang Anindya yang terdengar.

Sekelibat aku mendengar beberapa suara menggema dari ruang tamu sampai ke kamarku. Keningku mengerut, lama-kelamaan suara itu mengundang perasaanku untuk bergerak. Kakiku langsung beranjak, berjalan mendekati pintu. Aku menempelkan telingaku ke badan pintu, tapi suara itu tetap samar-samar masuk ke telinga.

Rasa penasaran semakin memuncak, dan detak jantungku meningkat. Relung hatiku yang tidak sabar pun nekat membuka pintu, ingin melihat apa yang ada di ruang tamu. Di sana sudah ada Ebra, Baskara, Evan, ditambah dengan Roats dan dua awaknya. Mataku terbelalak, segera aku turun sambil sekali meringis menahan perih di pipiku yang kena terjang angin.

“Jadi, aku sudah tidak bisa menoleransi apapun itu, aku sudah memberi peringatan untuk tidak melakukan sebuah penghalang buat pekerjaan kalian sendiri,” ujar Roats angkuh dengan seringainya.

“Aku meminta kalian mengerjakan pekerjaan kalian, bukan mencempuri urusanku dengan Anindya,” lanjutnya. Di sana ku lihat para temanku hanya terdiam ikut angkuh tanpa ada penyesalan setelah mendengar beberapa kalimat memuakkan dari mulut Roats.

“Tidak bisa begitu, Roats.” Aku menyahut dari tangga. Roats menoleh mentapku dengan mata elangnya. Pria itu tersenyum tipis, senyum yang tidak membuatku nyaman sama sekali. Dia memperhatikanku berjalan turun sampai ke bawah.

Roats meringis kemudian berdiri di hadapanku, disusul dengan Ebra yang segera berdiri dengan wajah penuh kekhawatiran.

“Pasti sakit, ya, cantik.” Tangan Roats berusaha menyentuh pipiku diiringi wajah ibanya yang dibuat-buat. Namun dengan cekatan Evan menyingkirkan tangan itu dariku.

Roats mengangkat bahu dengan santai. "Tenang saja, akan kubalas kan demi kalian," jawabnya dengan nada mengejek. "Walaupun bukan salah pengawal."

Ebra menyela, “Buat apa membalas, itu juga ulahmu.”

Roats menatapku dengan mata yang tajam, lalu mulai berbicara. "Aku hanya ingin memperingati bahwa kalian harus ada di jalur yang seperlunya. Itu adalah jawaban kalau bisa berakhir sangat buruk bagi semua yang berani terlibat."

Aku tertawa kecil, “Tidak perlu menjelaskan, kami tidak sebodoh itu sampai kamu harus repot-repot memperingati. Tanpa ada peringatan, kita selalu tahu konsekuensi yang akan terjadi. Tapi perlu kamu tahu, kami suka menginjak ranjau aktif, kalau meledak, kita terluka, tapi tidak akan mati. Lalu dia adalah tempat kosong yang aku tuju mati-matian walau harus terkena ledakan.” Kemudian aku menunjuk keatas, ke arah Anindya yang baru terbangun, berdiri di pinggiran pagar lantai dua menyaksikan kami dan semua ketegangan di dalam gedung ini.

Aku mengangkat lengan menunjukkan tepat dihadapan Roats apa yang sedang kubawa. “Aku sudah melakukan seperempat pekerjaan, dan tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Akan kulanjutkan, setelah selesai penuhi semua janji jaminanmu itu, lalu kami akan melepaskan Anindya sebegai jaminan.”

Aku memasukkan tiga lembar kertas polaroid hasil potretku semalam kedalam saku jas Roats. “Jadi sekarang urusan kita cukup, bawa badan dan pengawal pribadimu itu pergi.”

Roats menyeringai. Dia bertepuk tangan secukupnya lalu menutup pertemuan. “Sampai bertemu lagi, cantik.”

Roats pun keluar dari gedung bersama dengan awaknya. Tapi tiba-tiba suasana yang barusan tenang kembali mencekam saat awak Roats yang keluar dari mobil membukakan pintu mobil untuk tuannya. Dia adalah pengawal Roats yang kemarin memukuliku. Tanganku spontan mengepal, tapi bukan aku yang mengacau, justru Baskara yang berlari menghampiri awak Roats dan memukulinya dengan pukulan bertubi-tubi.

Aku terkejut dan segera bergegas berlari menghentikan pergerakan Baskara yang penuh amarah. "Baskara, stop!" teriakku, menarik lengannya dengan sekuat tenaga. Namun, amarah Baskara membuatnya sulit dihentikan.

Pengawal Roats jatuh tersungkur, darah mengalir dari sudut bibirnya. Roats, yang duduk tenang di dalam mobil, hanya tertawa sembari menggelengkan kepala. Wajahnya menunjukkan ekspresi puas, seolah semua ini adalah bagian dari rencana jahatnya. Roats benar-benar sudah gila.

Ebra dan Evan segera datang, mereka bersama-sama menarik Baskara menjauh dari pengawal Roats yang tergeletak di tanah, terengah-engah dan berlumuran darah. Baskara masih berusaha melepaskan diri, kemarahannya belum mereda.

"Tenang, Baskara!" Ebra berusaha menenangkan, suaranya tegas namun penuh kepedulian.

Roats keluar dari mobil, wajahnya masih dihiasi senyum sinis. "Kalian sungguh menghibur," katanya dengan nada mengejek. "lucu sekali seperti melihat drama pahlawan kesiangan."

Aku menatap Roats dengan penuh kebencian, tapi tahu bahwa melawan secara langsung bukanlah solusi yang bijak. " Aku juga terhibur melihatmu tersenyum di mobil tadi, lucu sekali, seperti melihat drama penjahat amatir,” kataku dengan suara yang tegas meski hatiku gemetar. Roats tertawa kecil, lalu melambaikan tangan kepada pengawalnya yang lain untuk membawa rekan mereka kembali ke mobil.

Mobil Roats melaju pergi, meninggalkan kami dalam keheningan yang penuh ketegangan. Aku menoleh ke arah Baskara yang masih terlihat marah namun mulai tenang.

***

Aku mengambil segelas air putih dari meja di sudut ruangan dan membawanya ke tempat Baskara duduk. Wajahnya penuh keringat, dan napasnya masih tersengal-sengal. Memukuli pengawal Roats pasti menghabiskan banyak tenaga. Aku bisa melihat otot-ototnya yang tegang dan tanda-tanda pertempuran yang baru saja berakhir.

"Ini, minum dulu," kataku sambil menyerahkan gelas itu padanya. Baskara menatapku sejenak, matanya masih menyala-nyala dengan amarah, lalu mengambil gelas itu dan meneguk isinya dengan cepat.

"Terima kasih," gumamnya seraya mengembalikan gelas kosong itu. Tangannya masih gemetar, tapi sedikit demi sedikit, dia mulai tenang.

"Bagaimana, lega?" tanyaku, meski aku tahu jawabannya sudah jelas. Dia mengangguk lemah, menatap keluh luka di pipiku, dengan mata berkaca-kaca.

“Lega, kalau tadi dia mati di tanganku.” Baskara menyentuh lembut pipiku yang penuh luka dan lebam. Sorotan matanya menunjukkan penyesalan karena dia tidak segera datang saat aku dipukuli.

“Tidak perlu begitu, pukulanmu tadi sudah berlipat-lipat, ditambah pukulanku kemarin pakai batu,” ujarku terkekeh kecil, mencoba tegar.

Baskara tersenyum tipis, jarinya terus menerus mengelus lembut pipiku seperti berandai andai bisa menyulap lukanya bisa tiba-tiba menghilang.

“Za, nanti malam ikut aku sebentar, cari angina,” ujar Evan datang mengambil segelas air. Jelas saja aku terheran-heran. Tumben sekali seorang Evan yang selalu sibuk dengan rakitan dan lukisannya, tiba-tiba mengajakku keluar mencari angin.

“Curiga,” balasku sinis pada Evan. Evan membalasku dengan tidak kalah sinis, “aku serius.” Evan lalu pergi. Mataku mengikuti langkahnya sampai hilang, pasti kembali ke ruang galeri meneruskan kerjaanya.

Aku membuka handphone, melihat notifikasi pesan instgram baru masuk dari Eja. Aku menghela napas membacanya.

@raden.reza: kamu benar-benar baik-baik saja, kan? Setidaknya jawab pesanku sedikit. Tolong jangan lagi ikut urusan Anin, bahaya, lukamu kemarin sudah jadi bukti awal.

Sedikit kesal membaca pesannya jika sambil mengingat kejadian kemarin. Dia menghentikanku saat memukuli pengawal Roats, tapi dia tidak empati dengan luka basah di pipiku yang memar bersamaan darah. Dia malah mengabaikanku begitu saja setelah delapan tahun tidak bertemu.

“Ah, sialan,” umpatku menutup handphone.

***

1
pausberkuda
semangattt🫶👏👏
Azzah Nabilah: weeehhhhh🥲
total 1 replies
ׅ꯱ƙׁׅᨮׁׅ֮ᥣׁׅ֪ꪱׁׁׁׅׅׅꭈׁׅɑׁׅ ηα
kerja bagus ija
Azzah Nabilah
jangan lupa ikuti kisan Eliza dan eja ya
Ohara Shinosuke
Semangat terus thor, aku yakin ceritamu akan menjadi luar biasa!
boing fortificado
Yang bikin author sebisanya aja ya, pengen lanjutin ceritanya.
Min meow
Tidak ada yang kurang.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!