Apa pun itu, perihal patah hati selalu menjadi bagian kehidupan yang paling rumit untuk diselesaikan.
Tentang kehilangan yang sulit menemukan pengganti, tentang perasaan yang masih tertinggal pada tubuh seseorang yang sudah lama beranjak, tentang berusaha mengumpulkan rasa percaya yang sudah hancur berkeping-keping, tentang bertahan dari rindu-rindu yang menyerang setiap malam, serta tentang berjuang menemukan keikhlasan yang paling dalam.
Kamu akan tetap kebasahan bila kamu tak menghindar dari derasnya hujan dan mencari tempat berteduh. Kamu akan tetap kedinginan bila kamu tak berpindah dari bawah langit malam dan menghangatkan diri di dekat perapian. Demikian pun luka, kamu akan tetap merasa kesakitan bila kamu tak pernah meneteskan obat dan membalutnya perlahan.
Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu penawar, tapi raciklah penawarmu sendiri, Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu kebahagiaan, tapi jemputlah kebahagiaanmu sendiri.
Kamu tak boleh terpuruk selamanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hawa zaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16
Pukul sebelas malam, aku terbangun dengan tubuh yang terasa sakit semua. Mungkin lelah karena dalam seminggu ini, banyak pekerjaan yang aku dapatkan. Dalam hening malam yang sunyi, aku termenung dengan pikiran yang carut marut. Langkah ini membawaku masuk ke dalam kamar anak gadisku, terlihat wajah ayu Luna yang sudah tertidur lelap. Nampak gurat duka dalam wajah polosnya. Aku tertegun dan tak terasa air mata ini mulai berjatuhan, entahlah kenapa aku selalu sensitif saat menatap lekat wajah putriku.
Tak ingin Luna mendengar isakan ku yang semakin tergugu, aku mengayunkan langkah menuju ke ruang tamu. Haruskah aku meratapi nasib diri yang sebatang kara ini. Entahlah, tiba tiba aku memikirkan nasibku yang kurang beruntung. Seolah takdir enggan menyapaku dengan kebahagiaan. Di saat lemah dan tak berdaya seperti ini, aku tak punya tempat mengadu dan bersandar. Hanya Tuhan yang menjadi saksi bisu setiap tetes air mata dari denyut rasa sakit yang menyesakkan dada ini.
Pikiranku semakin melayang jauh, mau tak mau harus bisa menghadapi kenyataan pahit dalam perjalanan di kehidupanku yang malang ini. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana aku akan menjalani hari hariku setelah ini. Semoga Luna bisa menerima keadaan ini dengan hati yang lapang. Aaah gadis kecilku itu bahkan sudah terbiasa hidup serba kekurangan bersamaku, tapi hebatnya dia tidak pernah mengeluh dan protes. Bahkan kami pernah melalui hari hari yang sangat sulit. Waktu itu pernah aku kehabisan uang karena sakit dan tak bisa bekerja. Kami sampai tidak makan selama dua hari karena tidak ada yang di makan. Kalau mengingat kejadian saat itu, hari ini masih terasa nyeri, sungguh aku begitu menyayangi Lunaku, anak perempuan ku, anak istimewa yang sungguh luar biasa.
Entah berapa lama aku meratapi nasib dan menangis, hingga terdengar samar suara adzan dari masjid yang tak jauh dari rumah. Ternyata aku ketiduran di atas sofa panjang semalaman.
"Loh, ibuk tidur di sini?" Suara Luna membuatku langsung membuka mata ini lebar lebar, memasang senyuman hangat untuk menutupi kegundahan yang masih menyengat dada ini.
"Iya, nak. Semalam ibu gak bisa tidur, terus pindah di sini dan ketiduran. Luna sudah bangun, mau sholat subuh bareng ibu?" Balasku dengan tetap berusaha terlihat baik baik saja.
"Iya, Luna mau ambil wudhu dulu." Sahut Luna yang selalu cantik dengan wajah cerianya. Akupun tersenyum bangga melihat segala kebaikan yang ada pada diri anak perempuan ku yang selalu di pandang rendah oleh semua orang di luar sana, padahal jika mereka tau, Luna adalah anak yang sungguh luar biasa.
Setelah menyelesaikan kewajiban dua rakaat, Luna menyiapkan keperluan sekolahnya sambil menonton acara kartun di televisi. Sedangkan aku langsung berjibaku di dapur untuk membuat sarapan. Bikin bakwan jagung dan juga begedel kentang kesukaan Luna. Setelah selesai memasak, aku langsung mandi dan menyiapkan sarapan juga bekal untuk Luna.
"Mau nambah begedel nya?" Luna terlihat sangat lahap menyantap sarapannya pagi ini.
"Masih banyak ya Bu, begedel nya?" Sahut Luna dengan mulut penuh, wajahnya terlihat begitu menggemaskan.
"Masih, mau di bawakan bekal lebih?" Balasku dengan senyuman, senang kalau Luna menyukai masakan ibunya ini.
"Iya, nanti mau Luna bagi sama Andika. Kasihan Andika, dia gak pernah jajan karena gak punya uang saku." Terlihat gurat prihatin di wajah putriku saat membicarakan teman satu kelasnya yang sama sama masuk di jalur inklusi. Andika adalah anak yatim piatu yang diasuh sama budenya. Andika sangat tertutup, bahkan dia sama sekali tidak mau bicara sama siapapun. Saat di tanya pun Andika juga tidak pernah mau menjawab. Namun Luna selalu punya akal untuk membuat Andika tersenyum dan ceria. Bahkan putriku itu sangat sering membawakan bekal yang sama untuk Andika. Aku bersyukur memiliki anak seperti Luna, meskipun dia anak istimewa namun jiwa sosialnya begitu tinggi terhadap sesama.
🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂 Pukul sebelas siang, ada tamu yang datang. Seorang laki laki muda yang mungkin seumuran denganku. Tapi sepertinya aku tidak asing dengan suara dan juga wajah lelaki itu.
"Assalamualaikum." Pria dengan kulit bersih, mata sayu, bibir tipis dan tatapan elang tengah berdiri di depan pintu yang sengaja aku buka lebar. Sesaat aku mematung melihat penampakan pria tinggi tegap tersebut.
"Maaf, permisi mbak." Suara bariton itu membuyarkan lamunanku seketika.
"Eeh iya, maaf. Waalaikumsallam, silahkan masuk mas." Jawabku sedikit gugup, entahlah aku sepertinya tidak asing dengannya, tapi lupa siapa laki laki yang kini sudah duduk dengan sopan di salah satu sofa di ruang tamuku.
"Em, maaf. Saya kesini mau melihat tanah yang di tawarkan mbak Rani, dan apa benar ini rumahnya mbak Laras?" Pria tampan di depanku kembali membuka suaranya.
"Iya benar, saya Laras. Tapi untuk jual belinya atau obrolan masalah tanah, lebih baik tunggu mbak Rani datang. Mungkin satu jam lagi beliau sudah sampai." Sahutku sopan, namun pikiran ini masih terus berusaha mengingat siapa pria yang ada di hadapanku karena wajahnya benar benar tidak asing untukku.
"Eem, apa kamu gak ingat sama aku, Ras?" Kembali dia membuka suaranya, senyumannya sungguh membuat dada ini berdesir.
"Maaf, saya lupa tapi sepertinya wajah masnya gak asing. Tapi jujur saya benar benar tidak bisa mengingatnya." Sahutku jujur sambil menyembunyikan wajah yang memerah karena malu.
"Dana, Wardana. Dulu kita satu sekolahan di SMU dua negri. Kita pernah mewakili sekolah untuk lomba mengarang dan pidato tingkat provinsi. Apa sudah ingat?" Sahut nya sambil tersenyum yang terlihat begitu manis.
"Oh, Masya Allah, iya iya aku ingat. Mas Dana ya, dulu kakak kelas yang paling populer di SMU dua, ketua OSIS yang jadi idola para cewek." Sahutku dengan antusias, tiba tiba mengenang masa masa indah sewaktu masih memakai putih abu abu. Mas Dana terlihat tertawa sambil menutup wajahnya, dan suasana yang tadinya canggung sudah mulai mencair. Kami seolah bernostalgia dengan bercerita panjang lebar mengenang jaman sekolah dulu.
"Oh iya, kamu tinggal di sini, Ras?" Mas Dana menatapku dengan tatapan yang sulit di artikan.
"Iya mas, tapi mungkin akan pindah kalau tanah ini mas Dana beli." Balasku santai dengan mengulas senyum tipis. Terlihat wajah tampan mas Dana mengerut.
"Kok di jual, kenapa? Padahal tempat ini strategis loh, Ras. Kamu bisa buka usaha karena sebentar lagi di sini bakalan ramai karena akan ada pembangunan besar besaran." Sahut mas Dana dengan tatapan yang terus menatapku heran.
"Karena aku gak punya hak atas tanah ini, mas. Semua milik budhe, dan sekarang anaknya mau menjualnya, jadi yasudah mau bagaimana lagi. Mungkin aku akan cari kontrakan untuk aku tempati dengan anakku." Sahutku jujur, dan terlihat mas Wardana terkejut sampai melipat dahinya.
"Lha suami kamu di mana, apa dia juga tinggal di sini atau kerja di luar kota?"
"Kami sudah berpisah, mas. Aku janda dan putriku sekarang sudah mau masuk SMP." Lagi lagi entah kenapa aku begitu lancar menjawab pertanyaan mas Wardana tanpa rasa canggung. Mungkin dulu kita memang cukup dekat, karena sering mewakili sekolah untuk berbagai lomba. Entahlah, apa aku salah lihat, setelah mendengar pengakuanku yang janda, justru nampak dia tersenyum dan menggumam lirih mengucapkan kata Alhamdulillaah.
"Bagaimana, mas. Alhamdulillah, maksudnya?"
diihh .. khayalan nya terlalu tinggi pake segala ingin ibu nya tinggal disitu .. hadeuuhh .. dasar ga tau malu .. semoga aja Laras bisa melindungi diri nya dan Luna ..