Laura, adalah seorang menantu yang harus menerima perlakuan kasar dari suami dan mertuanya.
Suaminya, Andre, kerap bertangan kasar padanya setiap kali ada masalah dalam rumah tangganya, yang dipicu oleh ulah mertua dan adik iparnya.
Hingga disuatu waktu kesabarannya habis. Laura membalaskan sakit hatinya akibat diselingkuhi oleh Andre. Laura menjual rumah mereka dan beberapa lahan tanah yang surat- suratnya dia temukan secara kebetulan di dalam laci. Lalu laura minggat bersama anak tunggalnya, Bobby.
Bagaimana kisah Laura di tempat baru? Juga Andre dan Ibunya sepeninggal Laura?
Yuk, kupas abis kisahnya dalam novel ini.
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Pembalasan Laura
"Bara itu akhirnya berubah jadi lidah- lidah api. Membakar habis hati yang selama ini teraniaya. Yang tersisa kini, seonggok debu penyesalan, yang pada akhirnya akan menguar terbang kemana-mana."
Gedoran keras di pintu, mengagetkan Bu Maya yang tengah tidur siang. Dengan merutuk panjang pendek, Bu Maya bangkit dari tempat tidur dan keluar dari kamar.
"Duh! Siapa sih, yang menggedor pintu tidak sopan begitu. Sabar dikit kenapa sih?" Bu Maya memutar anak kunci, ketika daun pintu telalh terbuka, Bu Maya merasa heran melihat tamu yang berdiri didepan pintunya.
Wajah tamu itu nampak sangar dan memandangnya dengan tajam.
"Ada perlu apa, Pak?" tanya Bu Maya, sedikit kecut melihat tamu yang tidak dia kenal itu
"Apa ini, rumah bu Laura?" tanya laki- laki botak dan bertubuh kekar itu.
"Iya, Pak, benar. Ada apa, ya?"
"Mana Ibu Laura? Kami hendak bertemu ibu itu."
"Eh, maaf pak. Menantu saya tidak di rumah."
"Hem, jadi ibu siapa?" ucap lelaki satunya. Lengannya penuh dengan tato.
"Saya ibu mertuanya. Ada apa!" Bu Maya menatap penuh curiga. Apa lagi kedua tamunya itu menatap liar kearah rumahnya.
"Kami ditugaskan menyita rumah ini. Jadi Ibu dan keluarga ibu segera mengosongkan rumah ini."
"Apa! Kalian jangan kurang ajar, ya. Rumah ini rumah anakku, kalian tidak bisa mengusir kami seenaknya saja!" seru Bu Maya kaget.
"Rumah ini telah dijual ke Bos kami. Kalau Ibu tidak percaya, ini suratnya." Lelaki botak itu memperlihatkan surat perintah pengosongan rumah.
Bu Maya sangat kaget saat membaca secarik kertas itu.
Jadi, Laura minggat dari rumah, setelah berhasil menjual rumah ini. Benar- benar keterlaluan. Dasar menantu durhaka.
"Pak, ini tidak benar. Perempuan itu tidak berhak menjual rumah ini. Ini adalah rumah kami!" letup Bu Maya emosi.
"Kami memiliki surat asli rumah ini. Jadi rumah ini harus segera dikosongkan! Kalau tidak, kami akan usir secara paksa!" ancam lelaki bertato dengan tatapan tajam. Membuat hati Bu Maya ciut.
"Sebentar Pak, saya hubungi dulu anak saya." Bu Maya merogoh ponsel didalam kantongnya. Menekan nomor Andre putranya. Tapi nomor yang dituju tidak aktif.
Bu Maya terus mencoba menghubungi Andre. Hingga panggilan yang keempat baru tersambung.
"Ada apa, Bu?" tanya Andre diseberang.
"Kamu pulang dulu. Ada yang datang kerumah, katanya rumah kita sudah dijual, Laura." lapor Bu Maya. Membuat Andre kaget tidak kepalang.
"Apa Bu? Rumah kita di jual! Siapa yang jual, Bu?"
"Siapa lagi, istri kamu, Laura!" jawab Bu Maya dengan kesal.
"Mana mungkin, Bu. Surat-suratnya, 'kan aku yang simpan. Mana bisa Laura menjualnya bu!" teriak Andre.
"Cepatlah kau kemari, bawa surat-surat itu. Tunjukkan pada preman itu!" sentak Bu Maya dongkol. Lalu memutus panggilan.
Andre tidak habis pikir dengan ucapan ibunya. Gak mungkinlah Laura menjual rumah mereka. Mana surat tanah dan bangunan dia yang simpan. Lebih tidak mungkin lagi Laura bisa menemukan pembeli secepat itu.
Andre memeriksa laci tempat dia menyimpan surat tanah dan bangunan rumahnya. Ternyata masih utuh tersimpan di laci.
Andre bergegas pulang kerumah mereka. Hari ini adalah hari ketiga istri dan anaknya pergi dari rumah. Andre sudah bertanya kebeberapa tetangga dan sahabatnya. Namun, tidak ada yang tau keberadaan anak istrinya.
"Andre, itu mereka. Ayo tunjukkan surat itu, Biar mereka tau, kalau mereka tidak berhak mengusir kita." ucap Bu Maya pongah. Begitu Andre tiba di pintu.
Andre menatap kedua tamu mereka. Hatinya sedikit kecut melihat kedua orang yang tidak ia kenal itu.
Tanpa basa basi kedua orang suruhan Om David itu menghampiri Andre.
"Mana surat rumah itu. Kita lihat mana yang asli dan yang palsu!"
Andre menyerahkan map ditangannya. Lelaki botak itu memeriksa surat yang dibawa Andre. Mendadak lelaki itu tertawa terbahak-bahak.
Andre dan Bu Maya saling pandang penuh keheranan.
"Ini yang Bapak sebut surat asli. Bapak benar- benar bego!" sergah lelaki botak itu. Seraya melemparkan surat- surat yang dibawa, Andre.
"Bapak, apa-apaan sih!" ucap Andre melihat kertas yang berserakan di lantai rumahnya.
"Surat yangnkau bawa itu adalah palsu. Yang asli adalah ini," ucap si botak, mengacungkan surat ditangannya.
Andre tidak percaya ucapan laki-laki itu. Dia memungut kertas yang berserak di lantai. Andre mengamati dengan seksama. Benar saja surat ditangannya itu adalah palsu. Hanya berupa foto copy.
Kenapa bisa berubah? Siapa yangbtelah menukar surat rumahnya dan surat tanah miliknya menjadi kertas foto copyan begini?
Apa benar Laura yang melakukan semua ini? Laura istrinya yang tidak pernah ia anggap. Istri yang selalu ia sepelekan. Ternyata mampu membalasnya dengan telak.
Justru dia yang dengan bodohnya bisa dipencundangi istrinya. Bagaimana dia bisa lalai, dan percaya begitu saja kalalu istrinya tidak akan melakukan pembalasan padanya.
Sekarang apa yang hendak ia lakukan. Semua surat berharganya telah diambil Laura dan dia jual ke preman.
"Bagaimana sekarang kamu percaya?" ucap lelaki bertato dan bertubuh kekar itu.
Andre diam. Dalam hati, beribu sumpah serapah dia alamatkan pada istrinya yang entah berada di mana.
"Kami beri tempo satu minggu untuk mengosongkan rumah ini. Jika tidak, kami akan eksekusi paksa rumah ini. Permisi!" Kedua lelaki preman itu pergi. Meninggalkan Andre dan ibunya dengan pikiran yang berkecamuk.
Andre merasa syok. Karena semua hartanya telah berhasil dikuasai Laura. Rumah dan surat tanah. Semua telah dia jual. Kafe yang dia kelola juga hanya tinggal separuhnya yang menjadi miliknya.
"Andre, apa yang akan kamu lakukan sekarang. Kita mau tinggal dimana setelah ini?" isak Bu Maya.
"Kita tinggal dengan Irina saja buat sementara, Bu."
"Ibu tidak menyangka, kalau Laura sejahat itu. Kamu juga yang terlalu lemah. Bisa-bisanya Laura menipu kamu."
"Sudahlah Bu, sebaiknya ibu mengemasi barang-barang ibu. Ambil seperlunya saja, Bu."
***
"Kak Laura, kebetulan sekali aku dapat informasi, ada yang menjual rumah. Tapi lokasinya agak jauh dari kota, Kak.
Mila, memberitahu kepada Laura kalau dia sydah menemukan rumah yang mau dijual.
"Kapan kamu bisa swk, menemani kakak melihat-lihat rumah itu?"
"Kalau hari minggu aku libur kak. Sebaiknya saat itu saja kita pergi." Mila menyanggupi permintaan Laura melihat rumah.
"Baiklah dek, terirma kasih ya."
"Sama- sama kak."
Laura sangat bersyukur, karena ada saja orang yang membantu, memudahkqn segala urusannya.
Semakin cepat dia menemukan rumah, tentu dia akan merasa nyaman untuk tinggal di kota Salak ini.
Laura ingin membuka usaha untuk kelangsungan hidupnya. Mulai sekarang dia harus mandiri. Mengurus segala sesuatunya. Laura harus kuat dan teguh. Karena telah terlepas dari keluarga toxic yang selqma ini mengungkungnya.