Kehidupan Zenaya berubah menyenangkan saat Reagen, teman satu kelas yang disukainya sejak dulu, tiba-tiba meminta gadis itu untuk menjadi kekasihnya.
Ia pikir, Reagen adalah pria terbaik yang datang mengisi hidupnya. Namun, ternyata tidak demikian.
Bagi Reagen, perasaan Zenaya tak lebih dari seonggok sampah tak berarti. Dia dengan tega mempermainkan hati Zenaya dan menginjak-injak harga dirinya dalam sebuah pertaruhan konyol.
Luka yang diberikan Reagen membuat Zenaya berbalik membencinya. Rasa trauma yang diberikan pria itu membuat Zenaya bersumpah untuk tak pernah lagi membuka hatinya pada seorang pria mana pun.
Lalu, apa jadinya bila Zenaya tiba-tiba dipertemukan kembali dengan Reagen setelah 10 tahun berpisah? Terlebih, sebuah peristiwa pahit membuat dirinya terpaksa harus menerima pinangan pria itu, demi menjaga nama baik keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim O, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 : Usaha Keras Reagen.
Sejak pertemuan terakhir di rumah sakit, Reagen tidak pernah bisa lagi menemui Zenaya. Bertanya pada Grace pun percuma, sebab wanita itu selalu berusaha menghalang-halangi, meski dia sudah menceritakan soal pertunangan yang diaku-akui Natalie itu.
Di sisi lain Zenaya lebih banyak menghabiskan waktunya di ruangan sembari bekerja lebih keras. Dia bahkan tidak pernah lagi makan siang di luar, yang membuat Grace mau tidak mau rajin membawakannya makanan.
Dua bulan pun telah berlalu. Reagen tidak perlu lagi melakukan terapi fisik dan sudah bisa melakukan aktifitas seperti sediakala.
Zenaya patut berlega hati, sebab dirinya tidak perlu lagi main was-was setiap kali bekerja, jika Reagen berada di sana. Namun, nyatanya tidak demikian. Reagen yang kini sudah pulih malah dengan leluasa datang menyambangi rumah sakit hampir setiap hari demi menemuinya.
Meski usahanya sia-sia Reagen tidak kehabisan akal. Pria itu tanpa tahu malu malah mendatangi rumah Zenaya dan menemui kedua orang tuanya. Dia bahkan turut menghapal semua kegiatan gadis itu, mulai membuka mata sampai menutup matanya kembali.
Tingkah Reagen persis seperti penguntit, dan Zenaya tentu saja merasa sangat risih.
Berkali-kali dia meminta orang tuanya untuk mengusir Reagen, tetapi pria itu sama sekali tidak peduli.
"Temui dia, Zen. Sebentar saja." Amanda, sang ibu, mengelus lembut rambut putri kesayangannya itu. Beliau saat ini sedang berada di kamar Zenaya, guna meminta gadis itu untuk menemui Reagen yang sekarang sedang berada di rumah mereka.
Amanda tentu masih mengenal baik siapa Reagen, sebab dulu dia pernah beberapa kali mengundang Reagen untuk makan malam di rumah. Selain itu, hanya Reagen lah satu-satunya pria yang pernah dikenalkan Zenaya pada keluarganya.
"Aku tidak mau, Ma!" jawab Zenaya dingin. Berbanding terbalik dengan sikap Zenaya, Liam dan Amanda, kedua orang tuanya, malah menyambut baik kedatangan Reagen.
"Papa dan Mama memang tidak mengetahui apa yang telah terjadi di antara kalian berdua, tetapi Mama harap kalian bisa menyelesaikannya secara baik-baik, Sayang." Amanda tersenyum. Sorot matanya yang teduh sontak menenangkan hati sang putri yang semula tengah dilanda kemarahan. Namun, Zenaya tetap pada pendiriannya untuk menolak bertemu dengan pria itu.
"Aku tidak mau menemuinya, Ma, aku tidak akan pernah mau menemuinya."
Amanda menghela napas pasrah. Anak gadisnya itu memang memiliki sifat keras kepala seperti Liam, sang suami. "Ya sudah kalau begitu, Mama turun dulu ke bawah ya?" Beliau pun mencium pucuk kepala Zenaya dan berlalu pergi.
"Bagaimana, Ma?" tanya Liam ketika mendapati istrinya datang seorang diri.
Amanda menggelengkan kepala. Wanita itu kemudian duduk di samping sang suami. "Maaf Rey, Aunty tidak bisa membujuk Zen," katanya dengan nada menyesal.
Liam memandang Reagen perihatin sekaligus heran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada mereka, sebab Sepengetahuan Liam, Reagen bukanlah sosok pria kurang ajar.
Reagen tersenyum simpul, meski sorot mata kekecewaannya nampak jelas terlihat.
"Tidak apa-apa, Aunt. Kalau begitu aku permisi dulu, maaf sudah mengganggu waktu Aunty dan Uncle." Reagen berdiri dari sofa, memilih pamit pulang dari pada terus bersikap keras kepala dengan menunggui Zenaya di sana.
Liam menepuk pundak Reagen sekali.
Begitu Reagen berbalik pergi, Zenaya ternyata mengintip dari balik dinding tangga dengan mata berkaca-kaca.
Melihat Reagen hampir tiba di luar, Zenaya bergegas lari menuju kamarnya kembali, lalu mematikan lampu kamar agar tidak ada siapapun yang tahu, bahwa kini dia tengah memandangi kepergian pria itu dari balik jendela.
Reagen menghela napas pelan. Sebelum benar-benar pergi meninggalkan kediaman tersebut, dia menolehkan kepalanya ke arah lantai dua, tepat di mana kamar Zenaya berada.
Zenaya tersentak. Detak jantungnya mendadak bergemuruh, ketika mendapati sorot mata penuh arti pria itu.
"Ck, ada apa denganku!" katanya setelah setetes air mata jatuh membasahi pipi mulusnya.
...***...
Lantai lima belas gedung Walker Group mendadak ramai oleh kedatangan Natalie. Wanita yang sedang naik daun itu kini tengah jadi perbincangan hangat begitu mengetahui tujuannya datang ke sana.
"Jangan begini, Nat. Sudah kubilang jangan sampai publik berspekulasi!" Reagen yang jengkel akan sikap Natalie berusaha memberinya peringatan. Sejak awal pria itu memang sudah melarang Natalie untuk tidak datang ke kantornya. Namun, Natalie sama sekali tidak mau mendengarkan.
"Aku tidak peduli!" serunya angkuh. Wanita itu malah dengan terang-terangan menggandeng lengan Reagen saat berjalan di lobby kantor.
Sean, sekretaris pribadi Reagen, mau tidak mau harus memberi peringatan keras pada para karyawan di sana untuk tidak mengambil foto mereka.
"Kita makan siang di mana?" tanya Natalie begitu mereka sudah berada di dalam mobil Reagen.
"Terserah kamu saja," jawab Reagen acuh tak acuh.
Natalie tampak berpikir sejenak. "Ke tempat langgananku saja!" usul wanita itu dengan nada ceria.
...***...
Adryan, kakak dari Zenaya, baru saja kembali pulang setelah hampir empat tahun mengabdikan dirinya sebagai dokter kemanusiaan di sebuah negara kecil yang sedang mengalami konflik. Meski awalnya Amanda melarang keras kepergian Adryan, tetapi berkat dukungan ayah dan adik tercinta, sang ibu pun terpaksa turut merestuinya juga.
Sepulang dari sana Adryan langsung bekerja di rumah sakit, dan dia akan menjadi satu-satunya dokter neuro-onkologi termuda yang ada di rumah sakit tersebut.
Kini Zenaya dan Adryan sedang makan siang bersama di salah satu restoran ternama favorit gadis itu, yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah sakit.
"Empat tahun sudah terlalu lama. Ini saatnya Kakak memikirkan diri sendiri, seperti menikah misalnya." Zenaya yang sedang menikmati makan siangnya tiba-tiba berujar.
Mendengar hal tersebut Adryan lantas tertawa. "Punya pacar saja belum."
"Makanya cari, Kak, jangan kerja terus! Hidup jangan dihabiskan dengan cari uang saja!" kata Zenaya sok bijak.
Adryan sontak mengangkat alisnya tinggi-tinggi ketika mendnegar perkataan sok bijak sang adik. Dengan gemas dia pun langsung mencubit hidung Zenaya pelan. "Seharusnya aku yang bilang begitu. Usiamu sudah hampir kepala tiga, tetapi kamu masih sendiri. Kudengar dari Mama, seorang pria selalu datang ke rumah kita untuk menemuimu. Siapa dia?"
Zenaya yang tadinya menggerutu tiba-tiba terdiam sejenak. "Bukan siapa-siapa." Jawab gadis itu datar.
Adryan mengernyitkan dahinya begitu melihat perubahan raut wajah sang adik. "Kenapa? Ada apa dengan pria itu? Apa aku mengenalnya?"
Zenaya mengangguk samar. "Sudah lama sekali. Mungkin Kakak sudah tidak ingat."
"Siapa dia?" desak Adryan penasaran.
"Hanya teman lama semasa sekolah. Dia dulu sering mengantar-jemputku," jawab Zenaya tanpa minat.
Adryan terdiam sejenak. Dia mencoba mengingat-ingat pria yang dimaksud sang adik.
Melihat sang kakak malah sibuk memikirkan orang lain sontak membuat Zenaya merajuk. "Aku mengajakmu makan siang untuk menyambut kedatanganmu, sekaligus mendengar ceritamu di sana, bukan malah sebaliknya!" seru gadis itu kesal.
Adryan kontan tertawa kecil. "Ha ... ha, baiklah, baiklah. Kalau begitu aku akan menceritakan sedikit pengalamanku. Dengarkan baik-baik."
Raut wajah Zenaya seketika berubah cerah. Mereka pun berbincang seru perihal petualangan Adryan selama mengabdi di negeri orang.
Gadis itu sama sekali tidak menyadari, bahwa Reagen kini sedang melihatnya dari jauh. Dia dan Natalie baru saja tiba restoran yang sama.
.
.
.
.
.
Trailer Penyesalan Zenaya: