Alviona Mahira berusia 15 tahun baru lulus SMP ketika dipaksa menikah dengan Daryon Arvando Prasetya (27 tahun), CEO Mandira Global yang terkenal tampan, kaya, dan memiliki reputasi sebagai playboy. Pernikahan ini hanya transaksi bisnis untuk menyelamatkan keluarga Alviona dari kebangkrutan.
Kehidupan rumah tangga Alviona adalah neraka. Siang hari, Daryon mengabaikannya dan berselingkuh terang-terangan dengan Kireina Larasati—kekasih yang seharusnya ia nikahi. Tapi malam hari, Daryon berubah menjadi monster yang menjadikan Alviona pelampiasan nafsu tanpa cinta. Tubuh Alviona diinginkan, tapi hatinya diinjak-injak.
Daryon adalah pria hyper-seksual yang tidak pernah puas. Bahkan setelah bercinta kasar dengan Alviona di malam hari, pagi harinya dia bisa langsung berselingkuh dengan Kireina. Alviona hanya boneka hidup—dibutuhkan saat Daryon terangsang, dibuang saat dia sudah selesai.
Kehamilan, keguguran karena kekerasan Kireina, pengkhianatan bertubi-tubi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15: JAVINDRA SANTOSA, SAHABAT YANG PEDULI
👔
Tiga hari setelah ultah yang terlupakan.
Alviona udah balik ke rutinitas—walau "rutinitas" itu cuma bangun, makan dikit, duduk di taman atau perpustakaan, terus balik ke kamar. Gak ada tujuan. Gak ada semangat.
Cuma... hidup karena harus hidup.
Daryon masih jarang pulang. Dan kalau pulang, dia gak pernah nyapa Alviona. Kadang dia masuk kamar Alviona tengah malam—kadang enggak. Tergantung "mood" dia.
Alviona udah gak punya tenaga buat takut lagi. Dia cuma... pasrah.
---
Sore itu, Alviona lagi duduk di taman belakang—tempat favoritnya karena sepi dan jauh dari bagian rumah yang sering dilewati Daryon.
Dia baca buku—atau lebih tepatnya, pura-pura baca—karena pikirannya gak bisa fokus. Mata natap halaman, tapi otak gak nyerap apa-apa.
"Permisi..."
Suara laki-laki—asing tapi lembut—bikin Alviona noleh.
Seorang pria muda berdiri beberapa meter darinya. Tinggi, sekitar 28 tahunan, pake kemeja biru muda yang rapi tapi gak formal banget, celana kain hitam, rambut hitam tersisir rapi tapi gak kaku. Wajahnya... ramah. Senyumnya genuine.
"Maaf menggangu," ucap pria itu sambil senyum tipis. "Saya Javindra. Javindra Santosa. Teman Daryon."
Alviona langsung agak tegang. Teman Daryon berarti... mungkin dia sama kayak Daryon?
"Saya gak akan lama kok," lanjut Javindra, kayak ngebaca kekhawatiran di wajah Alviona. "Cuma mau ngenalin diri. Daryon bilang dia ada meeting sebentar di ruang kerja, jadi saya... jalan-jalan dulu. Eh, ketemu kamu."
Alviona cuma ngangguk kecil, gak ngomong apa-apa.
Javindra natap Alviona lama—tapi bukan tatapan yang bikin gak nyaman. Lebih ke... tatapan yang concern. Khawatir.
"Kamu... Alviona kan?" tanyanya pelan.
Alviona ngangguk lagi.
"Boleh saya duduk sebentar?"
Alviona ragu, tapi akhirnya ngangguk pelan.
Javindra duduk di ujung bangku—kasih jarak cukup jauh, gak maksa deket—terus natap taman dengan ekspresi tenang.
"Tamannya bagus ya," ucapnya sambil senyum. "Tenang. Damai."
Alviona gak jawab. Dia cuma natap buku di pangkuannya.
Javindra noleh lagi ke Alviona, dan kali ini tatapannya... lebih serius. Lebih dalam.
"Kamu... kamu baik-baik aja?"
Pertanyaan simpel. Tapi cara Javindra nanyanya—lembut, tulus—bikin sesuatu di dada Alviona mencelos.
"Aku... aku baik," jawab Alviona pelan, suaranya hampir berbisik.
"Beneran?" Javindra miringin kepala sedikit. "Karena... maaf ya, aku gak bermaksud offense... tapi kamu keliatan... gak baik-baik aja."
Alviona ngangkat kepala, natap Javindra bingung.
Javindra tersenyum sedih. "Kamu terlalu muda untuk terlihat se-hancur ini."
Kalimat itu menohok.
Alviona langsung nunduk lagi, air matanya mulai berkumpul.
"Maaf... maaf aku gak bermaksud bikin kamu sedih..." Javindra langsung berubah panik. "Aku cuma... aku cuma khawatir aja. Kamu... kamu kelihatan terlalu kurus. Terlalu pucat. Terlalu... lelah."
Alviona gigit bibir bawahnya, nahan tangis.
"Kalau... kalau ada yang bisa aku bantuin—apapun—kamu bisa bilang aku, ya?" Javindra ngeluarin kartu nama dari saku celananya, taro di samping Alviona di bangku. "Ini nomor saya. Serius. Kapanpun."
Alviona natap kartu nama itu tapi gak ngambil.
"Aku tau..." Javindra berbicara pelan, hati-hati, "pernikahan ini... mungkin gak kayak yang kamu bayangin. Dan aku tau Daryon... dia bukan tipe suami yang... ideal."
Alviona ngangkat kepala cepat, natap Javindra shock.
Javindra tersenyum tipis—senyum pahit. "Aku sahabatnya. Aku kenal dia. Aku tau... sisi gelapnya."
Keheningan.
"Tapi aku gak sangka dia bakal..." Javindra natap Alviona dengan tatapan sedih, "...se-kejam ini."
Air mata Alviona akhirnya jatuh. Gak bisa ditahan lagi.
Javindra reflek pengen ngelap air mata itu, tapi dia tahan—dia gak mau bikin Alviona gak nyaman.
"Maafin aku ya... maafin Daryon... maafin... semua orang yang bikin kamu harus ngalamin ini," bisik Javindra lirih.
Alviona ngusap air matanya kasar. "Aku... aku gak apa-apa..."
"Kamu gak harus kuat terus, Alviona," ucap Javindra lembut. "Kamu boleh lemah. Kamu boleh minta tolong."
Sebelum Alviona bisa jawab, suara berat terdengar dari arah mansion.
"Javindra."
Daryon.
Berdiri di ambang pintu menuju taman, tatapannya... dingin. Tajam.
Javindra berdiri cepat, senyumnya langsung berubah jadi senyum casual. "Oh, Daryon! Udah selesai meeting-nya?"
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Daryon datar, tapi nadanya... mengancam.
"Cuma kenalan sama istrimu," jawab Javindra enteng. "Dia manis. Sopan."
Daryon melangkah turun ke taman, berdiri di samping Javindra, tatapannya sekilas melirik Alviona—tatapan warning.
"Ayo masuk. Kita selesaikan dokumennya," ucap Daryon dingin.
"Oke." Javindra ngangguk, tapi sebelum ikut Daryon, dia noleh ke Alviona, senyum tipis. "Senang kenalan sama kamu, Alviona. Semoga kita bisa ngobrol lagi suatu saat."
Dan mereka berdua masuk ke mansion.
---
Lima belas menit kemudian, di ruang kerja Daryon.
Javindra duduk di sofa, Daryon di kursi kerjanya, tapi suasana... tegang.
"Jangan ganggu istriku," ucap Daryon tiba-tiba, tatapannya tajam.
Javindra ngangkat alis. "Ganggu? Aku cuma ngenalin diri—"
"Aku tau kau, Javindra." Daryon menyela dingin. "Kau terlalu... idealis. Terlalu 'hero complex.' Tapi Alviona bukan urusanmu."
Javindra natap Daryon lama. Lama banget.
Terus dia berdiri, melangkah deket ke meja Daryon, tangannya bertumpu di meja, nunduk sedikit biar sejajar sama Daryon yang duduk.
"Apa yang kau lakukan pada istrimu, Daryon?" tanyanya pelan tapi tegas.
"Itu bukan urusanmu."
"Dia terlihat seperti mayat hidup." Javindra meninggikan suaranya sedikit. "Kurus. Pucat. Matanya kosong. Apa yang kau LAKUKAN padanya?!"
Daryon berdiri cepat, menghadap Javindra dengan tatapan mengancam.
"Aku bilang. Ini. Bukan. Urusanmu."
Mereka berdua saling tatap—tegang, intens.
Dan Javindra akhirnya mundur, tapi tatapannya masih penuh kekecewaan.
"Kau berubah, Daryon," bisiknya lirih. "Dulu kau brengsek, tapi gak se-kejam ini."
Javindra ambil tasnya, jalan ke pintu.
Tapi sebelum keluar, dia noleh lagi.
"Suatu hari nanti... kau akan nyesel. Dan waktu itu datang..." Javindra tersenyum tipis, tapi senyumnya pahit, "aku harap kau masih punya hati buat ngerasain penyesalan itu."
Dan dia pergi.
Meninggalkan Daryon yang berdiri sendirian di ruang kerja—wajahnya gelap, tangannya mengepal.
Tapi entah kenapa...
Kata-kata Javindra terus bergema di kepalanya.
*"Dia terlihat seperti mayat hidup."*
---
**Malam itu, Daryon gak bisa tidur. Kata-kata Javindra terus berputar di kepala. Apakah... apakah dia terlalu jauh? Tapi kenapa dia harus peduli? Alviona kan cuma... kontrak. Tapi kenapa... kenapa sekarang ada sesuatu yang mengganjal di dadanya?**
**Apakah Daryon mulai nyadar kesalahannya? Atau... dia akan terus jadi monster? Dan apakah Javindra... akan jadi penyelamat Alviona?**
---
**[ END OF BAB 15 ]**