Satu malam yang tak pernah ia inginkan mengubah seluruh hidup Serene Avila. Terbangun di samping pria asing, ia memilih kabur tanpa menoleh—tak tahu bahwa pria itu adalah Raiden Varendra, konglomerat muda yang bisa mengguncang seluruh kota hanya dengan satu perintah. Dua bulan kemudian, Serene hamil… kembar. Di tengah panik dan putus asa, ia memutuskan mengakhiri kehamilan itu. Hingga pintu rumah sakit terbuka, dan pria yang pernah ia tinggalkan muncul dengan tatapan membelenggu.
“Kau tidak akan menyentuh anak-anakku. Mulai sekarang, kau ikut aku!”
Sejak saat itu, hidup Serene tak lagi sama.
Dan ia sadar, kabur dari seorang konglomerat adalah keputusan terburuk yang pernah ia buat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Indriani_LeeJeeAe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 > Berpisah Karena Pilihan
Pagi datang tanpa cahaya hangat. Langit abu-abu menggantung rendah di atas kota, seolah ikut menekan dada siapa pun yang masih terjaga malam sebelumnya. Raiden berdiri di depan jendela ruang rawat, menatap keluar dengan rahang mengeras. Jas hitamnya masih sama, namun sorot matanya berbeda... lebih dingin, lebih berbahaya.
Di balik punggungnya Raiden, Serene terbangun perlahan. Tubuhnya terasa berat. Perutnya masih nyeri, namun bukan itu yang paling menyakitkan. Ada sesuatu di udara... sesuatu yang berubah.
“Raiden…” panggilnya lirih.
Raiden menoleh cepat, lalu menghampiri Serene. Wajahnya melunak seketika, seolah dua versi dirinya hidup berdampingan. Sang konglomerat tanpa ampun, dan pria yang tak berdaya di depan perempuan itu. “Bagaimana perasaanmu?” tanyanya.
Serene mencoba duduk. “Aku… masih hidup.”
Raiden menggenggam tangannya. “Kau lebih dari sekadar hidup. Kau kuat.”
Serene menatap wajah pria itu, mencoba membaca sesuatu yang disembunyikannya. “Kau tidak tidur.”
Raiden tersenyum tipis. “Tidak penting.”
“Itu penting bagiku,” balas Serene pelan.
Keheningan jatuh di antara mereka. “Raiden,” ucap Serene akhirnya, “Kau menemukan siapa yang melakukan ini?” lanjut Serene dengan bertanya, memecahkan keheningan diantara mereka.
Mendengar itu Raiden terdiam. Dan diamnya itu adalah jawaban paling jujur.
“Kau tahu,” lanjut Serene dengan suara bergetar, “Ketika dokter bilang ada zat asing di tubuhku… aku merasa seperti bukan manusia. Seperti wadah.”
Raiden mengepalkan tangan. “Aku tidak akan membiarkan siapa pun memperlakukanmu seperti itu.”
“Tapi mereka sudah melakukannya,” Serene menatapnya dalam-dalam. “Dan aku takut… ini belum selesai.”
Raiden menunduk, keningnya menyentuh punggung tangan Serene. “Aku akan mengakhiri ini.” Dengan cara apa? Ia tidak mengatakannya.
Sementara di lantai bawah rumah sakit, Arlo berdiri bersama dua pria keamanan. Wajahnya tegang. “Tuan,” lapornya saat Raiden keluar kamar, “Hasil lab lengkap sudah keluar.”
Raiden langsung menegakkan tubuh. “Katakan.”
“Zat yang ditemukan adalah modifikasi ringan dari obat penenang. Tidak mematikan, tapi cukup untuk mengganggu kestabilan janin.”
“Siapa yang punya akses?” suara Raiden dingin.
“Secara resmi…” Arlo ragu, “… hanya Anda.”
Raiden tersenyum pahit. “Dan secara tidak resmi?”
“Orang itu,” jawab Arlo pelan.
Raiden mengangguk. “Di mana dia sekarang?”
“Masih menghilang.”
Raiden menoleh ke arah kamar Serene. “Siapkan rencana B.”
Arlo membelalak. “Tuan… apakah Anda yakin?”
“Aku tidak akan mempertaruhkan hidup mereka lagi,” jawab Raiden tegas.
Siang itu, Serene dipindahkan ke kamar VIP yang lebih privat. Keamanan diperketat. Dua penjaga berdiri di luar pintu setiap saat. Namun rasa aman itu tidak sampai ke hatinya.
Serene menatap layar ponselnya, membaca berita demi berita. CEO VARENDRA CORP MUNDUR SEMENTARA RUMOR KEHAMILAN MENYULUT GEJOLAK PASAR
Ia menutup mata. “Semua ini salahku,” bisiknya, menyalahkan dirinya sendiri.
Pintu kamar terbuka. Raiden masuk, diikuti Arlo. “Serene,” ujar Raiden lembut, “kita perlu bicara.”
Nada itu membuat jantung Serene berdebar tidak enak. “Ada apa?” tanyanya.
Raiden duduk di kursi tepat di samping ranjang. “Aku akan memindahkanmu.”
“Ke mana?”
“Keluar negeri.”
Serene terdiam. “Apa?”
“Ke tempat yang aman. Jauh dari semua ini,” jawab Raiden. “Sampai aku membereskan semuanya.”
Serene menatapnya tak percaya. “Kau ingin mengusirku?”
Raiden menggeleng keras. “Tidak. Aku ingin melindungimu.”
“Dengan memisahkanku darimu?” suara Serene naik.
“Dengan memastikan kau dan anak-anak aman,” jawab Raiden tegas. “Aku adalah magnet masalah sekarang.”
Serene mengusap perutnya. “Anak-anak ini juga anakmu.”
“Justru itu,” suara Raiden melembut. “Karena mereka anakku… mereka target.”
Air mata menggenang di mata Serene. “Kau pikir aku bisa pergi begitu saja?”
Raiden menggenggam tangannya. “Aku tidak akan memintamu jika ada pilihan lain.”
Serene menarik tangannya perlahan. “Kau tidak bertanya apa yang kuinginkan.”
Raiden terdiam.
“Aku bukan barang berharga yang bisa kau sembunyikan,” lanjut Serene. “Aku istrimu.” Kata itu menggantung di udara.
Raiden menatapnya dalam-dalam. “Justru karena kau istriku… aku tidak bisa kehilanganmu.”
“Dan kau tidak akan,” Serene berkata tegas. “Tapi jika aku pergi sekarang, aku akan lari seumur hidup.”
Raiden bangkit berdiri, berjalan menjauh beberapa langkah, lalu kembali. “Jika kau tinggal… risikonya terlalu besar.”
Serene menghela napas panjang. “Aku sudah hidup dengan risiko sejak malam itu.”
Raiden menutup mata.
***
Sore hari, di sebuah ruang privat restoran mewah, Aurelia duduk berhadapan dengan seseorang yang wajahnya tertutup bayangan. “Raiden mulai bergerak,” kata orang itu.
“Aku tahu,” jawab Aurelia santai. “Dia selalu begitu ketika emosinya tersentuh.”
“Dia akan memindahkan perempuan itu.”
Aurelia tersenyum tipis. “Terlambat.”
“Apa maksudmu?” Aurelia menyilangkan kaki.
“Rencana cadangan sudah berjalan.”
Orang itu menegang. “Kau tidak bilang akan sejauh ini.”
“Aku bilang aku akan menang,” jawab Aurelia dingin.
***
Malam hari...
Serene duduk sendirian di kamar. Raiden belum kembali sejak percakapan mereka. Dadanya terasa sesak. Ia berdiri perlahan, berjalan ke kamar mandi, lalu berhenti di depan cermin. Wajahnya pucat. Matanya lelah.
“Apa aku kuat?” bisiknya pada pantulan dirinya.
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal.
Jantung Serene berdetak keras. Ia ragu sejenak… lalu menjawab. “Halo?”
Suara perempuan terdengar di seberang, tenang namun menusuk. “Serene Avila,” ucapnya pelan. “Kita perlu bicara.”
Serene membeku. “Siapa Anda?”
“Aku seseorang yang tahu,” jawab suara itu. “Tentang obat di tubuhmu. Tentang anak-anakmu.”
Napas Serene tercekat. “Apa yang Anda inginkan?”
“Hanya satu,” jawabnya ringan. “Bertemu. Tanpa Raiden.”
Serene menggenggam ponsel erat. “Jika aku menolak?”
Suara itu terkekeh pelan. “Maka aku tidak bisa menjamin… apa yang akan terjadi pada salah satu bayimu.”
Dunia Serene runtuh. “Jangan sentuh anak-anakku!” teriaknya pelan.
“Datanglah,” suara itu menutup percakapan. “Atau kau akan kehilangan lebih dari sekadar rasa aman.”
Telepon terputus. Serene terduduk lemas di lantai.
Air mata jatuh tanpa suara. Ia tahu satu hal dengan pasti. Jika ia memberi tahu Raiden, perang akan meledak.
Namun jika ia pergi sendiri… ia mungkin tidak akan kembali. Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Raiden masuk.
Serene buru-buru menghapus air matanya.
“Serene?” Raiden menatapnya curiga. “Ada apa?”
Serene menatap pria yang ia cintai.. pria yang berjuang mati-matian melindunginya. Dan untuk pertama kalinya… ia berbohong.
“Tidak apa-apa,” jawabnya pelan. “Aku hanya lelah.”
Raiden memeluknya erat. Sementara di balik pelukan itu, keputusan paling berbahaya dalam hidup Serene telah dibuat. Ia akan pergi. Sendiri. Tanpa Raiden tahu dan langkah itu… akan mengubah segalanya.
***
To be continued