NovelToon NovelToon
Voice From The Future

Voice From The Future

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Romansa Fantasi / Teen School/College / Time Travel / Romansa / Enemy to Lovers
Popularitas:50
Nilai: 5
Nama Author: Amamimi

Renjiro Sato, cowok SMA biasa, menemukan MP3 player tuanya bisa menangkap siaran dari masa depan. Suara wanita di seberang sana mengaku sebagai istrinya dan memberinya "kunci jawaban" untuk mendekati Marika Tsukishima, ketua kelas paling galak dan dingin di sekolah. Tapi, apakah suara itu benar-benar membawanya pada happy ending, atau justru menjebaknya ke dalam takdir yang lebih kelam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amamimi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sketsa Masa Depan dan Kebohongan yang Manis

Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi, membebaskan siswa-siswa SMA yang sudah lelah mental pasca-festival.

Saat jam istirahat makan siang tadi, Marika tidak mendatangi meja Ren. Dia menjaga jarak, mempertahankan citra dinginnya di depan umum. Teman-teman sekelas mereka mulai berbisik-bisik dan tertawa, membahas keseruan festival kemarin, memuji kepemimpinan Marika. Bagi mereka, Marika adalah pahlawan besi yang tak tersentuh.

Ren akhirnya berinisiatif. Dia menghela napas, berdiri, dan berjalan ke meja Marika saat kelas mulai sepi.

"Ketua," panggil Ren pelan.

Marika tersentak kaget, tubuhnya melonjak sedikit di kursinya seolah Ren baru saja menyengatnya. Dia mendongak, matanya menyiratkan kepanikan sejenak sebelum topengnya kembali terpasang. "A-Apa?"

"Laporan," kata Ren santai, mengangkat bahu, pura-pura tidak melihat kegugupannya. "Kita harus mengerjakannya, kan? Di ruang OSIS? Atau kamu mau mengerjakannya lewat telepati agar lebih efisien?"

Marika melihat sekeliling dengan waspada. Beberapa teman sekelas yang piket memperhatikan interaksi mereka.

"Tentu saja tidak," katanya kaku, berdiri dan merapikan roknya dengan gerakan patah-patah. Wajahnya kembali serius. "Itu tugas wajib. Efisiensi kerja tim. Ayo."

Dia berjalan keluar kelas lebih dulu, langkahnya cepat. Ren mengikutinya dengan senyum geli.

Mereka berjalan beriringan ke ruang OSIS. Di koridor yang ramai, mereka tidak bicara. Jarak "satu jengkal" itu masih ada. Tapi saat pintu ruang OSIS tertutup di belakang mereka, dan mereka hanya berdua di ruangan sunyi yang berbau kertas tua dan kenangan perang logistik itu...

Bahu Marika merosot rileks. Dia menghela napas panjang, melepas topeng "Ketua OSIS"-nya.

"Kamu minum susunya?" tanya Marika tanpa menoleh, sibuk mengeluarkan laptop dari tasnya, berusaha terdengar tidak peduli.

"Sudah. Enak," jawab Ren, duduk di kursi biasanya di seberang meja Marika. "Terima kasih. Itu merek mahal, kan? Kantin sekolah kita nggak jual itu."

"Hmph. Itu... itu cuma sisa stok pribadi yang kelebihan beli," bohong Marika, wajahnya sedikit merona. Dia jelas-jelas membelinya di minimarket luar sekolah pagi-pagi buta. "Daripada dibuang, tidak efisien. Jangan besar kepala."

Ren terkekeh. "Oke, oke. Terima kasih atas efisiensinya."

Mereka mulai bekerja. Suasananya tenang dan nyaman. Ren mengetik data pengunjung di laptop, Marika memeriksa tumpukan kwitansi. Suara tak-tik-tak keyboard dan gesekan kertas mengisi ruangan, menciptakan ritme yang damai. Tidak ada ketegangan seperti minggu-minggu sebelumnya.

Setengah jam berlalu. Matahari sore mulai masuk lewat celah jendela, mewarnai ruangan dengan oranye hangat.

Tiba-tiba, Marika meletakkan pulpennya. Gerakannya terlihat berat.

"Sato-kun."

"Ya?" Ren berhenti mengetik, melihat ke arah Marika.

"Soal ibuku..."

Ren terdiam. Jantungnya berdegup pelan. Dia ingat kejadian malam itu, kata-kata menyakitkan ibu Marika di parkiran. Gadis itu tidak menatapnya. Dia menatap papan tulis putih yang kini bersih dari coretan jadwal, seolah mencari jawaban di kekosongan itu. Matanya terlihat kosong dan lelah.

"Kamu tidak perlu cerita kalau tidak mau," kata Ren pelan. "Aku sudah lupa semua yang kudengar malam itu. Data dihapus, kan?"

Marika menggeleng pelan.

"Aku... aku mau masuk seni," kata Marika tiba-tiba. Kata-katanya keluar cepat dan pelan, seolah dia takut akan menariknya kembali jika terlalu lama tersimpan di mulut. "Bukan Ekonomi. Bukan Hukum. Aku... aku mau masuk universitas seni. Jurusan desain kostum. Atau teater."

Ren terdiam. Itu pengakuan besar. Sangat besar untuk seseorang yang hidupnya sudah dipetakan ibunya sejak lahir.

"Tapi Ibu tidak akan setuju," lanjut Marika, suaranya mulai bergetar halus. Tangannya di bawah meja meremas rok seragamnya hingga kusut. "Dia ingin aku jadi pengacara atau penerus firma konsultan ayah. Seni itu... 'sampah' baginya. Dia bilang itu mainan anak kecil yang tidak punya masa depan."

Dia akhirnya menoleh menatap Ren. Tatapannya tidak lagi angkuh atau memerintah. Tatapan itu telanjang, penuh keraguan, ketakutan, dan mencari validasi dari satu-satunya orang di dunia ini yang tahu rahasianya.

"Menurutmu... apa itu bodoh? Membuang masa depan yang stabil dan terjamin demi... gambar-gambar di buku sketsa itu?"

Ren menatap gadis di depannya. Dia teringat sketsa-sketsa indah di gudang olahraga. Detail rendanya, pilihan warnanya, emosi yang tertuang di setiap goresannya. Itu bukan sekadar hobi. Itu adalah jiwa Marika.

Ren menarik napas. Dia tahu ini momen penting.

"Marika," panggil Ren.

Dia menghilangkan nama belakang. Dia menghilangkan embel-embel "Ketua" atau "Tsukishima-san".

Mata Marika melebar sedikit mendengar nama depannya dipanggil begitu langsung dan akrab oleh Ren. Napasnya tertahan. Wajahnya memerah seketika.

"Dunia yang stabil itu membosankan," kata Ren sambil tersenyum tulus, menatap lurus ke mata gadis itu. "Dan kalau ada satu orang di dunia ini yang bisa sukses di dunia seni yang keras dengan modal efisiensi, manajemen waktu, dan ketelitian gila... itu cuma kamu."

Ren mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap mata Marika dalam-dalam untuk meyakinkannya.

"Kamu akan jadi desainer paling menakutkan, paling disiplin, dan paling hebat yang pernah ada. Aku yakin itu. Serius."

Wajah Marika memerah padam dalam sekejap, warnanya menyebar sampai ke leher. Dia buru-buru mengambil tumpukan berkas kwitansi dan menutupi separuh wajahnya, menyembunyikan senyum malu-malu yang mencoba merekah.

"Be-Berisik!" gumamnya dari balik kertas, suaranya mencicit. "Siapa yang mengizinkanmu panggil nama depan?! Kurang ajar! Tidak sopan!"

Tapi dia tidak meralatnya. Dia tidak menyuruh Ren kembali memanggil "Tsukishima". Dan di balik kertas itu, matanya berbinar, seolah beban berat baru saja diangkat dari pundaknya.

Malamnya, di kamar Ren yang sunyi.

Ren duduk di tepi tempat tidur, memegang MP3 player peraknya. Dia belum mengeceknya sejak kejadian di belakang gedung kemarin malam. Jantungnya berdebar kencang. Bukan karena demam—demamnya sudah hilang total berkat "susu stroberi"—tapi karena rasa takut.

Dia takut kalau dia gagal. Takut kalau tangisan histeris Marika dewasa kemarin adalah pertanda bahwa dia telah melakukan kesalahan fatal dengan ikut campur dalam takdir.

Dia memasang earphone. Napasnya tertahan.

"Marika-san?" bisiknya ke udara kosong, suaranya bergetar. "Aku... aku tidak meninggalkannya. Aku kembali padanya."

Hening. Statis. Kresek... kresek...

Ren menunggu dengan perut mulas. Apakah dia merusak segalanya? Apakah dia terlalu lancang memeluk Marika (17)?

Lalu, suara itu muncul.

Bukan suara tangisan putus asa seperti kemarin. Bukan suara napas terengah yang penuh panik.

Itu suara tawa kecil. Lemah, lelah, tapi terdengar sangat, sangat lega. Dan hangat.

"Aku tahu, Ren-kun... Aku tahu."

Jantung Ren melompat lega. Beban berat serasa diangkat dari pundaknya. "Kamu tahu? Berarti... sejarah berubah? Aku tidak mengacaukan masa depan hubungan kita, kan?"

Ren bertanya dengan polos, berpikir bahwa "bencana" yang dimaksud Marika dewasa kemarin adalah mereka putus atau menjadi musuh bebuyutan.

"Berubah," jawab Marika dewasa lembut, suaranya terdengar menerawang jauh. "Di ingatanku yang lama... malam itu aku sendirian. Aku menangis sampai pagi di lantai beton yang dingin itu. Rasa malu dan amarah memakan diriku. Dan besoknya... aku menutup hatiku rapat-rapat. Aku menjadi mesin sempurna yang diinginkan ibuku."

Ada jeda sejenak, penuh dengan rasa sakit masa lalu.

"Hubungan kita tidak pernah pulih. Kita hanya menjadi dua orang asing yang saling mengenal nama sampai hari kelulusan. Tidak ada kotak susu stroberi. Tidak ada obrolan di ruang OSIS. Hanya... dingin."

Ren terdiam. Jadi itu "penyesalan terbesarnya". Menjadi asing. Kehilangan kesempatan untuk dekat. Ren merasa bangga dia berhasil mencegah sad ending romansa remaja itu.

"Tapi sekarang... ingatanku kabur. Berganda," lanjut Marika dewasa, suaranya menghangat, seolah sedang tersenyum. "Aku ingat rasa dingin lantai beton itu... tapi aku juga ingat kehangatan yang asing. Aku ingat bau sabun cuci bajumu. Dan... sapu tangan kusut itu."

Ren tersenyum lebar, mengusap hidungnya yang tidak gatal dengan bangga. "Dia menyita sapu tanganku. Katanya mau disterilkan. Dasar aneh."

Marika dewasa tertawa renyah. "Tentu saja dia menyitanya. Dia pasti malu setengah mati karena menangis di depanmu."

Hening sejenak. Suasana terasa damai. Ren merasa dia baru saja memenangkan level tersulit dalam game ini. Dia berhasil menyelamatkan sang putri dari kesepian.

"Terima kasih, Ren," bisik Marika dewasa, suaranya penuh emosi. "Kamu menyelamatkannya dari kesepian itu. Itu... itu langkah pertama yang sangat besar."

"Langkah pertama?" tanya Ren optimis. "Berarti... badainya sudah lewat, kan? Kita sudah aman? Masa depan kita sudah cerah, kan?"

Di seberang sana, ada jeda yang cukup lama. Hanya suara statis halus yang terdengar. Ren mengerutkan kening, menunggu jawaban. Apakah sinyalnya jelek?

"...Jalurnya sudah bergeser, Ren," jawab Marika dewasa akhirnya. Suaranya terdengar sedikit berbeda. Lebih berat. "Kita berhasil menghindari lubang pertama. Hubungan kalian membaik."

Dia berhenti sejenak, seolah memilih kata-kata dengan sangat hati-hati.

"Tapi hidup itu rumit. Ceritanya belum selesai. Masih ada... tantangan di masa depan yang harus kita hadapi. Badai yang lebih besar mungkin masih menunggu. Menjadi dewasa tidak semudah itu, Ren."

Ren mengangguk mantap pada dirinya sendiri. Dia membayangkan tantangan itu adalah LDR saat kuliah, persaingan karir, atau mungkin restu orang tua Marika yang galak itu. Hal-hal wajar dalam hubungan.

"Aku siap," kata Ren percaya diri, senyum bodoh terpasang di wajahnya. "Apapun itu. Selama aku bisa bicara denganmu, dan selama aku bisa... ada di samping Marika yang sekarang. Kita pasti bisa lewati. Aku akan melindunginya."

Terdengar suara helaan napas panjang dari seberang. Helaan napas yang terdengar sayang, tapi juga menyimpan kesedihan yang tidak Ren pahami.

"Kamu benar-benar keras kepala. Sama seperti dulu."

"Istirahatlah, Ren. Nikmati masa mudamu. Nikmati 'susu stroberi' dan 'laporan OSIS' itu. Bersenang-senanglah dengannya selagi bisa. Buatlah kenangan yang indah."

KLIK.

Koneksi terputus.

Ren meletakkan MP3 player-nya di meja, tepat di sebelah kotak susu stroberi yang sudah kosong.

Dia berbaring di kasurnya, menatap langit-langit kamar. Badannya masih sedikit pegal sisa demam, tapi hatinya terasa penuh dan optimis. Kata-kata Marika dewasa tentang "badai" dia anggap sebagai nasehat orang tua yang terlalu khawatir. Baginya, bagian tersulit—yaitu mendekati Marika si Robot—sudah terlewati.

"Seni, ya?" gumam Ren sebelum matanya terpejam, membayangkan Marika menggambar sketsa gaun dengan wajah serius tapi bahagia. "Desainer Marika... terdengar keren."

Dia tertidur dengan senyum di wajahnya, memimpikan masa depan yang cerah, tanpa sedikitpun menyadari rahasia kelam yang disembunyikan suara dari masa depan itu.

1
Celeste Banegas
Bikin nagih bacanya 😍
Starling04
Gemes banget sama karakternya, ketawa-ketiwi sendiri.
Murniyati Mommy
Asyik banget bacanya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!