Di tengah gemerlap kota yang tak pernah tidur, hidup mereka terikat oleh waktu yang tak adil. Pertemuan itu seharusnya hanya sekilas, satu detik yang seharusnya tak berarti. Namun, dalam sekejap, segalanya berubah. Hati mereka saling menemukan, justru di saat dunia menuntut untuk berpisah.
Ia adalah lelaki yang terjebak dalam masa lalu yang menghantuinya, sedangkan ia adalah perempuan yang berusaha meraih masa depan yang terus menjauh. Dua jiwa yang berbeda arah, dipertemukan oleh takdir yang kejam, menuntut cinta di saat yang paling mustahil.
Malam-malam mereka menjadi saksi, setiap tatapan, setiap senyuman, adalah rahasia yang tak boleh terbongkar. Waktu berjalan terlalu cepat, dan setiap detik bersama terasa seperti harta yang dicuri dari dunia. Semakin dekat mereka, semakin besar jarak yang harus dihadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azona W, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kau Tidak Sendirian
Hujan turun lagi malam itu, lebih deras dari sebelumnya.
Petunia Hill diterangi lampu-lampu kuning lembut, tapi cahaya itu tidak mampu menembus gelap yang tampak semakin pekat.
Elena berjalan pelan di koridor panjang, mencari Adrian. Ia tahu pria itu sedang memikirkan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar foto dan bunga lily.
Ia menemukannya di ruang kerja.
Adrian berdiri di depan jendela besar, punggungnya tegang, bahunya kaku. Telepon genggamnya tergeletak di meja, layar menyala, menunjukkan nomor yang belum ia tekan, namun ia tatap seperti sebuah pintu yang menakutkan.
Elena mendekat perlahan.
“Adrian?”
Pria itu tidak menoleh, tapi suaranya terdengar pecah.
“Cassian tidak akan berhenti, Elena.”
“Aku tahu.”
“Dan aku juga tahu bahwa aku tidak bisa menghadapinya sendirian.”
Elena meraih tangannya.
“Kau tidak sendirian.”
Adrian akhirnya menoleh padanya.
Ada sesuatu di matanya, bukan ketakutan, bukan kemarahan, tapi semacam keputusan yang membuat napas Elena tercekat.
“Aku perlu memanggil seseorang.”
“Kau yakin dia bisa dipercaya?” tanya Elena lembut.
Adrian menahan napas.
“Dia bukan orang baik. Tapi dia membenci Cassian lebih dari siapa pun.”
Adrian mengambil telepon, namun jari-jarinya berhenti tepat di atas tombol panggil.
“Elena…”
Ia menatapnya, serius.
“Apa pun yang terjadi setelah ini, kau harus tetap dekat denganku. Jangan pernah sendirian di rumah ini. Jangan mengambil jalan pintas. Jangan membuka pintu tanpa memanggilku.”
Elena mengangguk. “Adrian, aku mengerti.”
“Tidak.” Nada suaranya mengeras sedikit, bukan karena marah, tapi karena cemas yang tertahan.
“Elena, kau harus berjanji. Dunia Cassian bukan dunia yang bisa kau hadapi sendirian. Dan begitu aku memanggil orang ini… dunia itu akan terbuka sepenuhnya.”
Elena menatap matanya.
“Aku janji.”
Barulah Adrian menekan tombol panggil.
Nada berdering.
Satu kali.
Dua kali.
Tiga kali.
Elena menahan napas.
Lalu terdengar suara laki-laki di seberang sana.
“Kau akhirnya menelepon.”
Suara itu dalam, dingin, namun terdengar seperti seseorang yang sudah tahu Adrian akan menghubunginya.
Adrian mengatupkan rahangnya. “Aku butuh bantuanmu.”
Terdengar tawa pendek. Bukan bahagia, tetapi pahit.
“Kalau kau meneleponku, berarti Cassian sudah membuat langkah pertamanya.”
Adrian melirik Elena. “Lebih dari itu.”
“Dan?” suara itu bertanya.
Adrian menelan ludah.
“Dia datang untuknya.”
Hening di ujung sana.
Kemudian suara itu berkata rendah, “Aku akan ke Verona malam ini.”
Adrian memejamkan mata lega, namun Elena bisa merasakan ketegangan yang justru meningkat.
“Terima kasih, Sebastian.”
Elena mengulang nama itu dalam hati.
Sebastian.
Nama yang terdengar seperti duri. Tajam, tak lembut, dan penuh sejarah kelam.
“Adrian,” suara Sebastian terdengar lagi. “Kau harus bersiap. Jika Cassian sudah mendekatkan diri ke Elena, berarti kau tidak punya banyak waktu.”
“Aku tahu.”
“Dan satu hal lagi…”
Sebastian menurunkan suaranya.
“Apa dia sudah tahu tentang yang terjadi tiga tahun lalu?”
Adrian menegang sepenuhnya.
Elena langsung menoleh padanya. “Tiga tahun lalu? Apa yang terjadi?”
Adrian tidak menjawab.
Sebastian melanjutkan, “Aku harap kau sudah menyiapkan dirimu untuk menjelaskan semuanya. Karena Cassian pasti akan menggunakan itu sebagai senjata pertamanya.”
Klik. Telepon terputus.
Elena menatapnya penuh tanya.
“Adrian… apa yang Sebastian maksud? Apa yang terjadi tiga tahun lalu?”
Adrian memijat pangkal hidungnya, napasnya berat. “Aku akan menjelaskannya. Tapi tidak sekarang. Bukan saat Cassian bisa masuk kapan saja.”
“Elena…” Adrian memegang kedua lengannya.
“Aku akan melakukan apa pun untuk memastikan kau aman. Termasuk mengungkap hal-hal yang paling ingin kulupakan. Tapi kita harus melakukannya pada waktu yang tepat.”
Elena mengangguk pelan, meski hatinya penuh tanda tanya yang menggantung seperti awan gelap.
Malam itu, rumah tampak lebih gelap dari biasanya meski semua lampu dinyalakan.
Clara memasang sensor baru, Adrian melakukan pemeriksaan keamanan, sementara Elena duduk di sofa, memegangi selimut tipis yang tidak benar-benar menghangatkannya.
Ia bisa merasakan semuanya berubah.
Rumah yang dulu sunyi dan menakutkan, lalu perlahan berubah menjadi tempat aman, kini terasa seperti panggung. Panggung yang menunggu aktor antagonis memasuki adegan.
Ketika jam hampir menunjukkan tengah malam, bel gerbang berbunyi. Nada itu panjang, rendah, dan menggetarkan udara.
Elena terlonjak. Clara membeku.
Adrian, yang baru turun dari lantai atas, berhenti tepat di tengah tangga.
“Dia sudah datang,” katanya lirih.
Elena menelan ludah.
“Cassian?”
Adrian menggeleng. “Tidak.” Wajahnya mengeras.
“Sebastian.”
Adrian membuka gerbang depan. Hujan menyambut sosok pria tinggi berjubah hitam, rambutnya basah, matanya setajam pisau.
Wajahnya tampan namun dingin. Seolah telah hidup terlalu lama berada di tempat gelap.
Sebastian melangkah masuk, menatap Adrian tanpa senyum.
“Kau terlihat lebih manusia daripada terakhir kali kulihat,” katanya, nada tajam namun jujur.
Adrian tidak menanggapi. “Masuk.”
Saat Sebastian memasuki ruangan, tatapannya langsung berhenti pada Elena. Ia memandangnya dari ujung rambut hingga ujung kaki, bukan dengan cara menilai, tapi seolah sedang mengukur bahaya yang mengelilinginya.
“Elena,” katanya pelan. “Kau tidak tahu betapa besar badai yang sudah kau masuki.”
Elena mengangkat dagunya. “Aku tahu. Dan aku siap.”
Sebastian menaikkan satu alis, lalu menatap Adrian. “Dia lebih berani dari Isabella.”
Adrian langsung menegang. “Jangan bandingkan mereka!”
Sebastian tersenyum tipis, hampir tak terlihat.
“Tenang. Aku ada di pihak kalian. Untuk sekarang.”
Elena merasakan bulu kuduknya berdiri.
Sebastian bukan ancaman.
Tapi kehadirannya… adalah tanda bahwa ancaman itu memang nyata.
Sangat nyata.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak semuanya dimulai, Elena tidak lagi mempertanyakan satu hal.
Cassian Moretti benar-benar datang untuk mereka. Dan Sebastian hadir bukan untuk menyelamatkan… tapi untuk mempersiapkan perang.
....
Petunia Hill terasa berbeda sejak Sebastian masuk. Rumah itu menjadi lebih sunyi, tapi juga lebih… tajam.
Seolah setiap dinding, setiap jendela, setiap bayangan kini memantulkan ketegangan yang dibawa pria itu dari dunia lama Adrian.
Sebastian melepaskan mantel hitamnya dan menggantungnya di kursi. Kainnya masih meneteskan hujan, menimbulkan aroma dingin yang memenuhi ruangan.
Ia berdiri di tengah ruang tamu, kedua tangannya masuk ke saku, matanya mengamati sekeliling dengan sikap seperti seseorang yang sedang menilai medan perang.
Elena memperhatikannya dari sisi Adrian.
Ada sesuatu tentang Sebastian. Ketenangan berbahaya, cara bicara yang terukur, caranya menatap seolah ia tahu lebih banyak soal gelap daripada cahaya.
“Baiklah,” katanya pelan, “aku akan langsung ke inti.”
Ia menatap Adrian.
“Cassian Moretti tidak sekadar ingin kau kembali. Dia ingin menghancurkan apa pun yang mengingatkanmu pada Isabella.”
Elena merasakan jantungnya mencelos.
Adrian menggeretakkan gigi. “Kalau kau datang hanya untuk membuka luka lama, kau bisa pergi sekarang juga.”
Sebastian menatapnya tanpa gentar. “Kalau aku tidak membicarakannya, Cassian akan menggunakannya. Kau tahu itu.”
Adrian menoleh, mengalihkan tatapan.
Sebastian melanjutkan, kini lebih tenang.
“Cassian tidak menyerang dengan kekerasan dulu,” katanya. “Dia menyerang dengan pesan.”
Elena menelan ludah. “Seperti lily. Seperti foto itu.”
“Ya.”
Sebastian berjalan mendekat, langkahnya nyaris tidak berbunyi.
“Itu cara Cassian. Ia menunjukkan bahwa ia bisa masuk. Ia menunjukkan bahwa ia tahu. Lalu…”
Sebastian berhenti tepat di depan meja, menatap keduanya.
“…ia mulai merenggut sesuatu yang tidak bisa kau ganti.”
Elena memeluk dirinya sendiri. Adrian berdiri lebih dekat ke arahnya.
“Sebastian,” Adrian menahan amarah, “katakan dengan jelas. Apa yang dia inginkan?”
Sebastian menatapnya lama. “Dia ingin kau berlutut padanya lagi.”
Adrian menghela napas tajam. “Tidak akan terjadi.”
“Dan itulah alasan dia memulai permainan dengan Elena.”
Elena menegang. “Kenapa aku?”
Sebastian menatapnya, kali ini tanpa dingin—hanya kejujuran pahit. “Karena kau titik lemahnya.”
Elena terdiam.
Adrian langsung maju, melindunginya dari kata-kata itu.
“Dia bukan titik lemah. Dia alasan aku bertahan.”
Sebastian menghela napas. “Itu sama saja, Adrian.”
Hening menggantung.
Elena merasakan sesuatu menusuk hatinya, tapi bukan karena lemah, melainkan karena ia sekarang sadar betapa besar dunia yang sedang mereka hadapi.
Sebastian mengambil kursi dan duduk.
“Kalian perlu mendengar sesuatu.”
Ia menyilangkan kaki, tangannya bersedekap.
“Cassian Moretti bukan hanya seorang pria dari masa lalu. Dia bukan sekadar mantan rekan, bukan sekadar bayangan. Dia…” Sebastian memandang langit-langit sebentar, mencari kata.
“…dia dalang. Pengatur. Orang yang suka menangani setiap detail sendiri.”
Elena mengerutkan kening. “Maksudmu?”
Sebastian menatapnya lurus.
“Jika Cassian ingin menakutimu, dia akan kirim pesan. Jika Cassian ingin memperingatkan Adrian, dia kirim lily.” Ia berhenti sebentar. “Tapi jika Cassian ingin serius… dia akan muncul sendiri.”
Elena merasakan bulu kuduknya berdiri.
Adrian melangkah maju.
“Sebastian, kita tidak punya banyak waktu. Langsung saja. Apa langkah pertama untuk menghadapinya?”
Sebastian bersandar ke depan.
“Pertama, perketat keamanan fisik. Kamera baru, sensor baru, penjagaan tambahan. Kedua, batasi pergerakan Elena. Dia tidak boleh sendirian.”
Elena hampir protes, tapi Adrian menggenggam tangannya sejenak. Bukan melarang, melainkan melindungi.
“Dan ketiga,” Sebastian berkata pelan, “kalian harus tahu apa yang sebenarnya Cassian inginkan. Bukan hanya Adrian. Bukan hanya kekuasaan.”
Adrian menegang.
“Elena tidak perlu mendengar itu sekarang—”
“Dia sudah terlibat, Adrian.”
Sebastian menatap Elena. “Dan aku rasa dia lebih kuat daripada yang kau kira.”
Elena mengangkat dagunya, berusaha setegak mungkin.
“Aku ingin tahu.”
Sebastian menarik napas panjang.
Lalu berkata, “Cassian ingin sesuatu yang hilang tiga tahun lalu.”
Elena menatap Adrian.
“Ini… tentang yang Sebastian sebut di telepon?”
Adrian terdiam. Matanya gelap, dalam, penuh beban yang belum pernah ia bagi.
Sebastian melanjutkan, suaranya rendah.
“Tiga tahun lalu, Adrian membuat keputusan yang membakar semua jembatan dengan Cassian. Keputusan yang membuat Cassian kehilangan sesuatu yang sangat berharga baginya.”
Ia menatap Elena lurus-lurus.
“Sejak hari itu, Cassian bersumpah akan mengambil satu hal dari Adrian sebagai balasan.”
Elena menelan ludah. “Apa?”
Sebastian menatap Adrian sejenak, lalu kembali pada Elena.
“Orang yang paling berarti bagi Adrian. Siapa pun orang itu.”
Elena membeku.
Adrian langsung berdiri di antara mereka, suaranya keras.
“Cukup, Sebastian.”
Sebastian berdiri, menaikkan alisnya sedikit. “Aku hanya memberitahu kenyataan.”
Elena diam. Jantungnya berdegup keras, tetapi bukan karena takut, karena ia kini benar-benar memahami sesuatu.
Cassian tidak hanya mengincar keselamatannya.
Dia mengincar Adrian melalui dirinya.
Dan itu berarti satu hal.
Bahwa ia, Elena, bukan hanya korban. Ia adalah sasaran. Dan karena itu, ia juga menjadi bagian penting dari perjuangan Adrian.
Sebastian mengambil mantel yang masih lembap.
“Mulai malam ini, aku tinggal di sini,” katanya pelan.
“Karena Cassian biasanya memulai dengan pesan. Lalu foto. Lalu… percobaan pertama.”
Adrian meraih tangan Elena, erat.
“Dia tidak akan menyentuhmu.”
Elena memandang keduanya.
Bahkan dengan ancaman besar di depan, ada sesuatu yang tumbuh dalam dirinya, bukan rasa takut, tapi keteguhan.
Ia menatap Adrian lembut namun pasti.
“Kita akan melewatinya. Bersama.”
Adrian memejamkan mata sebentar, lalu mengangguk. Untuk pertama kali malam itu, ia terlihat sedikit lega.
Sebastian menatap mereka, diam. Kemudian berkata, “Kalau begitu… bersiaplah. Bayangan pertama sudah muncul. Tapi Cassian belum benar-benar memulai.”