Renjiro Sato, cowok SMA biasa, menemukan MP3 player tuanya bisa menangkap siaran dari masa depan. Suara wanita di seberang sana mengaku sebagai istrinya dan memberinya "kunci jawaban" untuk mendekati Marika Tsukishima, ketua kelas paling galak dan dingin di sekolah. Tapi, apakah suara itu benar-benar membawanya pada happy ending, atau justru menjebaknya ke dalam takdir yang lebih kelam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amamimi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Efisiensi Yang Roboh
Enam hari berlalu seperti dalam kabut yang padat dan sedikit panik.
Ruang OSIS yang tadinya steril dan sunyi, kini telah bermetamorfosis menjadi markas komando perang. Papan tulis putih besar di dinding tidak pernah bersih; permukaannya kini ditutupi jaringan bagan alur yang rumit, catatan berkode warna, dan daftar inventaris yang dicoret-coret dan ditulis ulang berkali-kali.
Hari-hari Ren dan Marika kini mengikuti ritme yang aneh, melelahkan, namun sangat sinkron.
Waktu istirahat pagi bukan lagi untuk bersantai di kelas atau membeli minum di mesin otomatis. Itu adalah waktu untuk "pertempuran". Ren masih bisa mengingat dengan jelas wajah sombong ketua Klub Drama seminggu yang lalu.
"Tanpa panggung hidrolik," kata senpai itu dengan angkuh, "kreativitas kita akan mati!"
Marika, dengan wajah sedingin es, sudah siap membacakan pasal anggaran yang melarang keras "kreativitas" semahal itu. Tapi sebelum dia sempat membuka mulut, Ren—Sato Renjiro si pemalas—yang saat itu sedang menguap, tiba-tiba angkat bicara.
"Senpai," kata Ren, suaranya datar. "Panggung hidrolik itu membosankan. Sudah biasa. Bagaimana kalau... panggung bertingkat? Tiga level. Kita pakai balok-balok sisa dari gudang olahraga. Romeo di atas, Juliet di bawah. Jauh lebih dramatis. Jauh lebih keren."
Ketua Klub Drama itu terdiam, lalu matanya berbinar. "Itu... brilian."
Marika menatap Ren dengan ekspresi yang tidak terbaca, tapi dia tidak membantah. Dan proposal itu disetujui.
Makan siang telah menjadi ritual yang hening. Kantin yang bising kini menjadi tabu. Tepat pukul 12.30, mereka akan bertemu di ruang OSIS, di antara tumpukan kertas. Mereka akan duduk di meja yang sama, berhadapan, dan membuka onigiri yang mereka beli di konbini (minimarket) dalam perjalanan ke sekolah pagi itu.
Ren selalu memilih salmon panggang. Marika, tanpa gagal, selalu memilih tuna mayo.
Mereka tidak pernah membicarakannya. Tidak pernah ada "Oh, kamu suka itu?" atau "Kenapa tidak coba rasa lain?". Mereka hanya akan makan dalam diam. Satu-satunya suara adalah gemerisik rumput laut kering, suara pulpen Marika yang menggaris di jadwal, dan dentingan keyboard laptop Ren saat ia mencari harga sewa walkie-talkie termurah.
Dalam keheningan yang nyaman itu, di antara nasi kepal yang dingin, ada pemahaman yang aneh dan tak terucap. Sebuah persekutuan.
Sepulang sekolah adalah maraton. Mereka akan berlari dari satu ruang klub ke ruang klub lain, memadamkan api logistik sebelum sempat membesar.
"Klub Musik minta speaker seukuran lemari," kata Marika suatu sore, suaranya terdengar putus asa saat mereka menuruni tangga. "Anggaran kita tidak akan cukup bahkan untuk menyewanya."
Ren, yang kini didorong oleh kepanikan rahasia—rasa takut dari "panggilan telepon" yang tidak pernah datang lagi—berpikir cepat. "Tunggu. Pamanku. Dia punya studio musik kecil di distrik perbelanjaan. Mungkin... mungkin dia bisa meminjamkan mixer dan dua speaker aktif. Kualitasnya bagus. Dan untuk harga... aku bisa bilang ini untuk 'pekerjaan sekolah'."
Itu berhasil. Pamannya setuju untuk menyewakannya dengan harga "sangat efisien" (baca: gratis, dengan imbalan Ren membersihkan studio selama sebulan).
Mereka telah berevolusi. Dari "si pemalas" dan "si robot", mereka telah menjadi "Duo Logistik" yang ditakuti sekaligus dihormati. Ren, secara tidak sadar, telah mengambil alur kerja yang sangat intens. Dia harus membuat segalanya sempurna di timeline ini. Dia harus memastikan Marika (17) tidak punya alasan sedikit pun untuk menyesal.
Dia tidak sadar bahwa dia telah mengabaikan alarm dari tubuhnya sendiri. MP3 player di sakunya tetap diam. Tidak ada suara, tidak ada statis, tidak ada isak tangis. Keheningan itu jauh lebih menakutkan daripada teriakan. Itu berarti Ren sendirian, tanpa panduan, dan dia tidak boleh salah langkah.
Malam itu adalah puncak dari semua persiapan mereka. Tiga hari menjelang festival. Mereka harus menyelesaikan Jadwal Master Final—sebuah karya seni logistik yang akan mengatur pergerakan 30 klub selama 48 jam penuh.
Ruang OSIS terasa dingin. Pemanas ruangan disetel rendah untuk menghemat anggaran. Di luar, hujan musim gugur mulai turun deras, mengetuk-ngetuk jendela dengan ritme yang gelisah.
"Baik," kata Marika, suaranya lelah tapi terdengar puas. Dia mengetuk spidol merahnya di papan tulis. "Pukul 14.00, Klub Kendo selesai. Pukul 14.15, panggung dibersihkan oleh seksi perlengkapan..."
"...Pukul 14.30," sambung Ren, suaranya terdengar serak dan sedikit sengau. "Klub Tari bisa masuk untuk blocking." Dia sudah bersin-bersin sepanjang sore, tapi dia menyalahkan debu dari tumpukan kertas tua.
"Tepat," kata Marika. Dia berbalik dari papan tulis dan menulis "SELESAI" dengan huruf kapital besar di sudut.
Dia meletakkan spidolnya, lalu bersandar ke meja. Dan untuk pertama kalinya dalam dua minggu, dia tersenyum. Bukan senyum sinis atau senyum tertahan. Senyum kecil yang tulus, lelah, dan sangat bangga.
"Kita... berhasil, Sato-kun."
Ren ingin membalas senyumnya. Dia ingin berkata, "Tentu saja kita berhasil."
Tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah rentetan batuk kering yang kasar dan menyakitkan, yang mengguncang seluruh tubuhnya.
"Uhuk... uhuk... Ya. Bagus..." Ren mencoba berdiri, tapi ruangan itu tiba-tiba terasa miring.
Whoa.
Pandangannya kabur. Dia mencengkeram tepi meja OSIS dengan kedua tangannya, buku-buku jarinya memutih. Lantai di bawah kakinya terasa seperti geladak kapal yang bergoyang.
Senyum di wajah Marika langsung lenyap, digantikan oleh topeng alarm.
"Sato-kun?"
"Ya... aku... tidak apa-apa," kata Ren, mencoba menegakkan badan. Kesalahan besar. Dunia berubah menjadi buram dan berputar. "Cuma... pusing sedikit."
Dia terhuyung satu langkah ke samping, menabrak kursi.
"Sato-kun!" Kali ini suara Marika tajam, penuh kepanikan yang tidak disembunyikan.
Dia melesat dari seberang meja, ada di sampingnya dalam sekejap. Dia tidak menyentuhnya, tapi berdiri sangat dekat, siap menangkap Ren jika dia jatuh.
"Wajahmu pucat sekali," kata Marika, matanya memindai Ren dengan analisis klinis yang cepat. "Hidungmu merah. Kamu gemetaran."
"Aku kedinginan," kata Ren, giginya mulai bergemeletuk. Padahal ruang OSIS tidak sedingin itu. "Hujan... di luar..."
"Kita di dalam ruangan, bodoh," balas Marika.
Ren menatapnya. Mata Marika yang biasanya setajam es, kini dipenuhi... kecemasan yang jelas.
Sebelum Ren bisa memprotes lagi, Marika melakukan sesuatu yang benar-benar di luar karakternya. Sesuatu yang mematahkan semua protokol efisiensinya.
Dia menempelkan punggung tangannya yang dingin ke dahi Ren yang berkeringat.
Ren membeku. Bukan karena dinginnya tangan Marika, tapi karena sentuhan itu sendiri. Tangan Marika terasa lembut, kontras dengan sikapnya yang kaku. Dan kulit Ren... terasa seperti terbakar di bawah sentuhan itu.
Marika menarik tangannya kembali seolah baru saja menyentuh setrika panas. Matanya terbelalak ngeri.
"Kamu..." bisiknya, tidak percaya. "Kamu demam tinggi sekali."
Ren mencoba menyeringai, meski bibirnya gemetar. "Aku... tidak efisien... ya?"
"Diam!" bentak Marika. Tapi tidak ada kekuatan dalam bentakannya. Yang ada hanya nada cemas yang kental. "Duduk!"
Dia mendorong bahu Ren—dengan kekuatan yang mengejutkan—membuat Ren terduduk kembali di kursi yang tadi didudukinya.
"Kamu idiot," kata Marika lagi, tapi kali ini dia tidak menatap Ren. Dia mondar-mandir di ruang OSIS, terlihat lebih panik daripada saat menghadapi Klub Kendo. "Kenapa kamu tidak bilang apa-apa? Bekerja sampai larut malam dalam kondisi begini... Tidak logis! Tidak bertanggung jawab!"
"Aku... harus menyelesaikan jadwalnya," gumam Ren, kepalanya terasa semakin berat dan penuh kapas.
"Jadwalnya bisa menunggu!" Marika membanting tangannya ke meja, membuat tumpukan kertas berhamburan. "Sekarang apa?! Kamu mau pingsan di sini?! Lalu aku harus menyeretmu ke UKS?! Menyusahkan!"
Ren hanya bisa menatapnya. Marika yang marah-marah karena khawatir... entah kenapa, terlihat... lucu. Dan sangat jauh dari citra robotnya.
Marika melihat tatapan Ren yang sedikit melantur. Dia langsung berhenti mondar-mandir. Wajahnya memerah padam.
"A-Apa yang kamu lihat?!" bentaknya. "Sudah kubilang diam! Jangan bergerak!"
Dia menyambar tas sekolahnya dan tas Ren. Melemparkan tas Ren ke pangkuannya dengan kasar.
"Ayo," katanya. "Aku antar kamu pulang."
Ren mengerjap, mencoba memfokuskan pandangannya. "Hah? Tsukishima-san, kamu tidak perlu..."
"Perlu!" potong Marika. "Kalau kamu pingsan di jalan sendirian, itu akan jadi kesalahanku karena membiarkanmu bekerja. Itu... akan jadi noda di laporan OSIS-ku."
Ren menatapnya. Alasan yang payah sekali.
"Sudah, ayo!" Marika menarik lengan jaket Ren, memaksanya berdiri. "Bersandar padaku kalau perlu. Tapi kalau kamu pingsan di atasku, aku bersumpah akan meninggalkanmu di jalan."
Meskipun kata-katanya tajam, cengkeraman tangannya di lengan Ren terasa mantap. Ren berdiri perlahan, tubuhnya yang panas terasa berat. Dia bersandar pada Marika lebih dari yang seharusnya.
Dia panas, dia pusing, dan dia mungkin akan menyesal besok. Tapi saat ini, dipapah oleh si ketua kelas yang kaku sambil berjalan di koridor sekolah yang gelap... rasanya tidak seburuk itu.