Dinda tidak menyangka kalau pernikahannya bakal kandas ditengah jalan. Sekian lama Adinda sudah putus kontak sejak dirinya mengalami insiden yang mengakibatkan harus menjalani perawatan yang cukup lama. Hingga pada akhirnya, saat suaminya pulang, rupanya diceraikan oleh suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 15 Bertemu dengan mantan suami
Pagi itu, matahari tampak malu-malu menembus celah jembatan tol. Hembusan angin pagi masih menusuk, tapi bagi Dinda dan Mbak Tia, sinar hangat mentari adalah tanda bahwa hari harus kembali dimulai.
Mereka berdua duduk di tepi trotoar, membungkus beberapa eksemplar koran yang baru dibeli dari pengecer.
“Ini, Nona, saya bantu lipat biar gampang dijual,” kata Mbak Tia, mencoba tersenyum walau wajahnya tampak lelah.
“Terima kasih, Mbak,” sahut Dinda lembut, lalu berusaha menggerakkan kursi rodanya ke tepi lampu merah.
Setiap kali kendaraan berhenti, Dinda mengulurkan koran dengan tangan gemetar. “Koran pagi, Pak... Bu... hanya lima ribu...” suaranya pelan tapi tulus.
Sebagian orang hanya menatap iba, sebagian lagi berpaling seolah tak ingin terlibat.
Namun Dinda tidak menyerah. Ia tahu, setiap lembar koran yang terjual bisa jadi harapan kecil untuk bertahan hari ini.
Matahari semakin tinggi. Peluh menetes di keningnya, bercampur dengan rasa perih di kaki yang belum mampu ia gunakan untuk berdiri.
Saat itulah, sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti tepat di hadapannya.
Awalnya Dinda tak terlalu memperhatikan, hingga jendela mobil perlahan turun... dan wajah itu muncul, wajah yang dulu sempat menaruh rasa, sekaligus yang meninggalkan luka terdalam di hidupnya.
“Dinda...?” suara Riko terdengar pelan, nyaris tak percaya.
Dinda terpaku. Tubuhnya kaku, tangan yang memegang koran bergetar hebat.
“Riko...?” suaranya nyaris tak keluar, hanya bisikan lirih yang penuh luka.
Riko segera turun dari mobil, langkahnya tergesa. “Ya Tuhan... kamu kenapa begini? Kenapa kamu di sini, Dinda?”
“Pergi, Riko,” lirih Dinda sambil memalingkan wajah. “Kamu gak perlu pura-pura peduli padaku, sana pergi.”
Riko mendekat, berjongkok di depan kursi rodanya. “Aku gak pura-pura, Dinda. Aku...”
“Sudah cukup, Riko,” potongnya dengan air mata menetes. “Kamu udah bahagia dengan pilihanmu. Jangan datang lagi buat bikin aku terlihat lebih menyedihkan dari sekarang.”
Saat Riko hendak menyentuh tangan Dinda, sebuah mobil lain berhenti di belakangnya dengan suara rem keras.
Pintu terbuka cepat, Vikto keluar dengan wajah penuh amarah dan panik.
“Riko!” bentaknya lantang sambil menepis tangan Riko dari Dinda. “Jangan sentuh dia!”
Riko menatapnya kaget. “Kamu—”
“Diam!” potong Vikto tajam. Ia segera berlutut di hadapan Dinda, menatap wajah pucat yang sudah lama ia cari. “Dinda... ya Tuhan... akhirnya Kakak nemuin kamu juga...”
Air mata Dinda langsung pecah. Ia tak mampu berkata apa-apa, hanya menangis dalam diam saat Vikto memeluk bahunya erat, seolah takut kehilangan lagi.
Orang-orang di sekitar menatap haru. Riko berdiri terpaku saat melihat bagaimana Vikto memandang Dinda dengan ketulusan yang dulu tak pernah ia berikan.
Mbak Tia berdiri tak jauh dari mereka, menutupi mulutnya dengan tangan, menahan tangis bahagia.
Hari itu, di tengah riuh lampu merah dan panas matahari, takdir mempertemukan kembali dua jiwa yang terpisah oleh kesalahpahaman dan luka.
Karena lampu sudah berganti warna, Riko tak punya pilihan selain kembali ke mobilnya. Ia sempat menatap Dinda lewat kaca spion, sorot matanya campuran antara iba, cemburu, dan kemarahan yang tertahan.
Saat mobil mulai melaju perlahan, pikirannya dipenuhi bayangan masa lalu, juga pesan dari ibunya yang selalu mengirimkan video tentang seorang pria yang kerap datang ke rumah Dinda.
“Rupanya kamu memang lebih memilih laki-laki itu, Dinda,” gumamnya pelan, namun sarat dengan nada getir.
Senyum miris tersungging di bibirnya. “Baiklah... setidaknya sekarang kamu sudah impas dengan hidupmu yang seperti itu.”
Tangannya menggenggam erat kemudi, rahangnya mengeras menahan emosi. Di balik kaca mobil yang tertutup rapat, Riko menekan perasaan bersalah dan kehilangan yang tiba-tiba mencengkeram dadanya, perasaan yang mungkin datang terlambat.
Vikto segera mendorong kursi roda untuk menepi dan pindah tempat agar lebih leluasa saat mengobrol. Sedangkan mobilnya sudah terparkir dekat pohon besar oleh anak buahnya.
Dibawah pohon rindang, langit pagi tiba-tiba tampak muram, seolah ikut menahan napas ketika Vikto akhirnya menemukan sosok yang ia cari.
“Dinda...”
Suara itu lirih, tapi cukup membuat Dinda mendongak. Napasnya tercekat saat melihat Vikto berjongkok di hadapannya dengan mata merah dan wajah lelah.
“Ka–Kak Vikto?”
Suara Dinda bergetar, antara tak percaya dan takut.
Vikto segera menatap Adinda, lututnya hampir goyah melihat keadaan perempuan yang ia cintai itu.
“Ya Tuhan, Dinda... kenapa kamu senekad ini? Kakak nyari kamu ke mana-mana, sampai semalaman, tapi kamu tidak juga ditemukan. Kamu tahu gak, Kakak hampir gila?”
Dinda menunduk, air matanya jatuh tanpa suara.
“Aku gak mau balik ke rumah itu, Kak. Aku takut... aku gak mau berhadapan dengan kedua orang tua Kakak.”
Vikto yang berjongkok di depannya, menatap Dinda dengan penuh iba.
“Kamu gak akan kuizinkan lagi disakiti siapa pun, Dinda. Aku janji.”
“Enggak, Kak,” potong Dinda cepat. “Cukup. Aku udah nyaman di sini. Aku gak mau jadi beban lagi, apalagi bikin keluarga Kakak tambah benci.”
Vikto menarik napas panjang, menahan emosi yang menyesakkan.
“Kalau kamu gak mau balik ke rumah itu, ya sudah... tapi tolong, jangan tinggal di tempat seperti ini. Kamu butuh perawatan, Dinda. Setidaknya biar aku carikan tempat yang layak buat kamu, tempat yang aman dan bersih.”
Dinda terdiam. Ia menatap wajah Vikto yang tampak tulus, tanpa tekanan seperti dulu. Ada kehangatan di matanya, hangat yang sempat ia rindukan.
“Tapi... kalau aku terima, apa Oma tahu?”
“Oma yang nyuruh Kakak nyari kamu, Dinda,” jawab Vikto pelan. “Oma sangat khawatir banget. Semalaman Oma nangis kata asisten rumah, nyalahin diri sendiri karena gak bisa jagain kamu.”
Dinda menutup wajahnya dengan kedua tangan.
“Kenapa kalian masih peduli sama aku?”
“Karena kamu bagian dari hidup Kakak, Dinda,” ucap Vikto tegas.
Suasana hening. Hanya suara kendaraan yang lalu-lalang.
Akhirnya, dengan air mata yang belum juga kering, Dinda mengangguk pelan.
“Baiklah, Kak... aku mau. Tapi bukan ke rumah itu.”
Vikto tersenyum lemah, penuh rasa lega.
“Terima kasih, Dinda. Aku janji, tempatnya aman, dan kamu gak akan diganggu siapa pun.”
Ia lalu memberi isyarat kepada Mbak Tia untuk membantu, sementara dirinya mengangkat barang-barang Dinda.
Malam itu, Vikto membawa keduanya ke sebuah rumah sewaan sederhana, yang tenang dan bersih, yaitu tempat baru untuk Dinda memulai lagi hidupnya.
Apa keluarga nya Percaya dengan omongan Dinda nanti tentang wasiat Oma,Takutnya menuduh Dinda mengada2..Harusnya 2 orang yg masuk sebagai saksi..