Siang hari, Aditya Wiranagara adalah definisi kesempurnaan: Dosen sejarah yang karismatik, pewaris konglomerat triliunan rupiah, dan idola kampus.
Tapi malam hari? Dia hanyalah samsak tinju bagi monster-monster kuno.
Di balik jas mahalnya, tubuh Adit penuh memar dan bau minyak urut. Dia adalah SENJA GARDA. Penjaga terakhir yang berdiri di ambang batas antara dunia modern dan dunia mistis Nusantara.
Bersenjatakan keris berteknologi tinggi dan bantuan adiknya yang jenius (tapi menyebalkan), Adit harus berpacu melawan waktu.
Ketika Topeng Batara Kala dicuri, Adit harus memilih: Menyelamatkan Nusantara dari kiamat supranatural, atau datang tepat waktu untuk mengajar kelas pagi.
“Menjadi pahlawan itu mudah. Menjadi dosen saat tulang rusukmu retak? Itu baru neraka.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daniel Wijaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JURNALIS YANG TAHU TERLALU BANYAK
Waktu: 11.45 WIB.
Lokasi: Kantin Sastra (Kansas), UI Depok.
Aditya duduk di kayu panjang di pojok kantin yang riuh. Di depannya ada botol air mineral yang sudah habis setengah. Dia baru saja menelan dua butir pil parasetamol dosis tinggi.
Di sini, di tengah hiruk-pikuk mahasiswa yang berdiskusi soal tugas dan harga bakso, Aditya merasa sedikit lebih manusiawi. Topeng "Senja Garda" bisa dilepas sejenak.
"Woi, Sultan."
Sebuah benda dingin menempel tiba-tiba di pipi Aditya.
Dia tersentak kaget—gerakan refleks yang membuat rusuknya kembali berdenyut sakit—dan menoleh.
Berdiri di sampingnya adalah Fajar Baskara.
Sahabatnya sejak SMA itu terlihat sangat kontras dengan lingkungan akademis maupun lingkungan konglomerat Aditya. Fajar mengenakan jaket denim yang warnanya sudah pudar menjadi abu-abu, celana jeans belel, dan sepatu sneakers yang solnya sudah agak lepas. Tas kamera besar tergantung di bahunya.
"Ngapain lo bengong di sini?" tanya Fajar sambil duduk di sebelah Aditya tanpa permisi, meletakkan kaleng kopi dingin di meja. "Mikirin silabus atau mikirin utang negara?"
"Mikirin kenapa gue punya temen yang nggak punya jam kerja jelas kayak lo," balas Aditya, mengambil kopi itu. "Dan... tunggu. Dari mana lo tahu gue di sini? Gue baru mulai ngajar hari ini. Jadwal gue nggak ada di koran."
Fajar tertawa, membuka kaleng kopinya sendiri.
"Bro, lo itu Aditya Wiranagara. Lo napas aja masuk berita ekonomi. Lagian, lo nggak liat di depan lobi?"
"Liat apa?"
"Ada X-Banner segede gaban. Tulisannya: 'KULIAH PERDANA DOSEN PRAKTISI: ADITYA WIRANAGARA'. Mahasiswa pada heboh di Twitter ada 'Dosen Sultan' yang ngajar. Susah buat nggak tahu, Dit."
Aditya menepuk dahinya. "Sial. Bagian Humas kampus terlalu rajin."
"Lagian," Fajar menyeruput kopinya, matanya berubah tajam menyelidik. "Gue emang lagi nyari lo. Kebetulan banget lo di sini, jadi gue nggak perlu nyusup ke kantor kakak lo di SCBD dan diusir satpam lagi."
"Nyari gue? Tumben. Butuh dana talangan buat benerin lensa kamera?"
"Bukan soal duit," Fajar meletakkan tas kameranya di meja, lalu mengeluarkan kameranya. Dia menyalakan layar LCD-nya. "Ini soal apa yang terjadi semalam."
Fajar menyodorkan kamera itu ke wajah Aditya.
Jantung Aditya berhenti berdetak sesaat.
Di layar kecil itu, ada foto yang diambil dalam kondisi minim cahaya (low light). Gambarnya grainy, penuh noise, tapi objeknya jelas bagi siapa saja yang tahu apa yang harus dicari.
Itu adalah foto lereng hutan Merapi pasca-kejadian semalam. Di antara lumpur dan pohon tumbang yang hancur lebur, terlihat satu serpihan logam mengkilap yang tertancap di tanah.
Serpihan sayap Drone Garuda tipe militer.
"Sumber gue di desa sekitar Merapi ngirim ini tadi subuh," kata Fajar, suaranya merendah agar tidak didengar mahasiswa di meja sebelah. "Katanya semalam ada 'gempa lokal'. Tapi anehnya, gempanya cuma radius 500 meter. Pohon-pohon hancur kayak kena puting beliung. Dan warga nemuin ini."
Fajrin menunjuk serpihan logam di foto itu. "Ini bukan logam panci, Dit. Ini alloy kelas militer. Dan kalau gue zoom..."
Fajar memperbesar gambar itu. Di sudut serpihan logam, terlihat samar-samar logo huruf 'W' yang stilistik. Logo Wiranagara Group.
"Itu logo perusahaan keluarga lo, kan?" tanya Fajar. Tatapannya menuntut jawaban. "Lo ada di sana semalam?"
Aditya menelan ludah. Dia harus berbohong. Tapi membohongi Fajar itu susah. Jurnalis satu ini punya hidung seperti anjing pelacak.
"Wira-Mining punya izin eksplorasi geotermal di sana, Jar," jawab Aditya setenang mungkin, menyandarkan punggungnya (dengan hati-hati). "Mungkin alat berat mereka meledak. Tabung gas bocor, boiler pecah. Hal teknis membosankan. Lo tahu kan Arya selalu memotong anggaran maintenance demi profit?"
"Tabung gas?" Fajar menaikkan alis sebelah. "Tabung gas nggak bikin pohon beringin tua patah jadi dua, Dit. Dan tabung gas nggak ninggalin jejak radiasi elektromagnetik yang bikin HP warga di sana mati total selama dua jam."
Fajar mencondongkan tubuhnya.
"Dan coba liat lo sekarang. Muka pucat, jalan pincang, bau obat. Lo bilang ini cedera tenis? Lo lari dikejar satpol PP aja ngos-ngosan pas SMA, sekarang main tenis sampai hancur begini?"
"Orang berubah, Fajar. Hobi berubah."
"Halah, bullshit," Fajar mematikan kameranya. "Gue tahu ada yang nggak beres. Ini bukan pertama kalinya gue nemu jejak Wiranagara di TKP aneh. Bulan lalu di Situs Gunung Padang, gue juga liat truk logistik lo angkut peti kemas jam dua pagi."
Fajar menatap sahabatnya lurus-lurus.
"Gue nggak tahu lo mainan apa, Dit. Tapi kalau lo bohong soal 'geotermal' ini... gue bakal cari tahu sendiri. Gue bakal ke Yogya malam ini. Naik kereta Taksaka."
Alarm bahaya berbunyi keras di kepala Aditya.
Merapi masih tidak stabil. Residu energi Penjaga Situs masih bisa menarik makhluk lower-level lainnya. Jika Fajar ke sana sendirian, dia akan mati. Atau lebih buruk: dia akan melihat sesuatu yang membuatnya diburu oleh Bayangga.
"Jangan," kata Aditya cepat.
"Kenapa? Takut gue nemuin pabrik narkoba rahasia punya kakak lo?"
"Tanahnya labil. Longsor susulan," elak Aditya. "Serius, Jar. Jangan cari mati demi konten berita. Biarkan tim SAR dan aparat yang urus."
"Gue jurnalis, Dit. Cari mati itu job description gue," Fajar berdiri, menepuk bahu Aditya—tepat di bagian yang memar.
Aditya menahan napas, pandangannya berkunang-kunang saking sakitnya, tapi dia tidak bersuara.
"Gue cabut dulu. Gue harus packing," kata Fajar. "Thanks buat... oh iya, ini kopi gue yang beli. Yaudah, anggep aja traktiran buat Bapak Dosen. Hati-hati main tenisnya. Jangan sampai raketnya mukul balik."
Fajar melenggang pergi, meninggalkan Aditya yang masih kesakitan di bangku kantin.
Aditya melihat punggung sahabatnya menjauh di antara kerumunan mahasiswa.
"Sial," batin Aditya. "Dia benar-benar akan pergi."
Aditya merogoh saku, mengeluarkan HP-nya, dan menekan speed dial nomor 1.
"Karin," bisik Aditya tajam. "Siaga satu. Fajar punya bukti foto serpihan drone di Merapi. Dan dia barusan bilang mau naik kereta Taksaka ke Yogya nanti malam."
"Waduh," suara Karina terdengar kaget di ujung sana. "Mas mau aku retas sistem tiket biar dia nggak bisa berangkat? Aku bisa bikin NIK-nya ke-blacklist sementara."
"Jangan. Percuma," tolak Aditya. "Dia jurnalis investigasi. Kalau diblokir, dia bakal curiga dan malah makin nekat naik bus atau nyusup. Biarkan dia berangkat."
"Terus?"
"Lacak pesanan tiketnya sekarang. Cek dia duduk di gerbong berapa, kursi nomor berapa."
Terdengar bunyi ketikan keyboard yang sangat cepat.
"Dapat. Fajar Baskara. Taksaka Malam. Gerbong Eksekutif 1, Kursi 4B. Dia baru aja bayar via m-banking."
"Bagus," perintah Aditya dingin. "Sekarang, masukkan namaku di gerbong yang sama. Kursi di seberangnya atau di belakangnya. Aku harus ikut."
"Mas, tiket Taksaka malam ini sold out. Penuh."
"Aku tidak peduli. Gunakan akses 'Pemegang Saham Prioritas' atau retas sistemnya. Buat satu kursi kosong. Usir penumpang lain kalau perlu—ganti rugi tiketnya sepuluh kali lipat. Pokoknya, pastikan aku duduk di gerbong itu nanti malam."
"Oke, oke. Done. Kursi 4A, tepat di seberangnya, sekarang atas nama Aditya Wiranagara. Tapi Mas yakin kuat? Tulang Mas..."
"Siapkan saja. Aku pulang sekarang."
Aditya mematikan telepon. Dia memaksakan diri berdiri, menahan erangan nyeri.
Dia harus mengajar, menghadapi birokrasi, lalu mengejar kereta malam. Jadwal yang padat untuk orang yang seharusnya opname di rumah sakit.
(Bersambung)
luar biasa!!!
tak kirimi☕semangat💪
💪💪💪thor
jodoh ya thor🤭
makhluk luar angkasa, bukan makhluk halus🤭
💪💪💪adit
tp yakin sg bener tetep menang
was", deg"an, penasaran iki dadi 1
💪💪💪dit
jar, ojo lali kameramu di on ke
💪💪💪 dit