Beberapa bulan setelah ditinggalkan kedua orang tuanya, Rama harus menopang hidup di atas gubuk reot warisan, sambil terus dihantui utang yang ditinggalkan. Ia seorang yatim piatu yang bekerja keras, tetapi itu tidak berarti apa-apa bagi dunia yang kejam.
Puncaknya datang saat Kohar, rentenir paling bengis di kampung, menagih utang dengan bunga mencekik. Dalam satu malam yang brutal, Rama kehilangan segalanya: rumahnya dibakar, tanah peninggalan orang tuanya direbut, dan pengkhianatan dingin Pamannya sendiri menjadi pukulan terakhir.
Rama bukan hanya dipukuli hingga berdarah. Ia dihancurkan hingga ke titik terendah. Kehampaan dan dendam membakar jiwanya. Ia memutuskan untuk menyerah pada hidup.
Namun, tepat di ambang keputusasaan, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[PEMBERITAHUAN BUKAN SISTEM BIASA AKTIF UNTUK MEMBERIKAN BANTUAN KEPADA TUAN YANG SEDANG PUTUS ASA!
APAKAH ANDA INGIN MENERIMANYA? YA, ATAU TIDAK.
Suara mekanis itu menawarkan kesepakatan mutlak: kekuatan, uang,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarif Hidayat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 Rencana untuk makan pil kultivator
Bu Maya kembali dari kamar dengan wajah yang lebih segar. Di belakangnya, Bela berjalan sambil menguap lebar, matanya masih setengah tertutup. Dia sudah mencabut earphone yang terpasang di telinga.
"Bu, kenapa tiba-tiba aku disuruh ba—" Ucapan Bela terpotong begitu indra penciumannya diserbu gelombang aroma yang kaya. Dia mendadak berhenti di tengah ruang makan.
"Astaga, ini wangi apa?" gumam Bela, matanya langsung terbuka lebar. Dia melihat tiga hidangan yang tersaji di meja, masing-masing memancarkan daya tarik visual yang kuat.
Tak lama kemudian, pintu depan terbuka, dan Pak Suhardi masuk. Ia baru saja pulang dari rumah tetangganya,
"Wih, hari ini kamu masak besar?" sapa Pak Suhardi, langsung menuju wastafel untuk mencuci tangan.
Bu Maya tersenyum misterius. "Bukan Ibu, Pak. Rama yang masak semuanya. Coba Bapak lihat sendiri hasil masakan anak itu."
Pak Suhardi yang sudah selesai mencuci tangan, mendekati meja dan mengamati hidangan itu. Kerutan di keningnya tak hilang. "Oh, benarkah itu ram? Ini terlihat seperti masakan restoran. Apa ini sama enaknya dengan nasi goreng tadi pagi?"
Rama hanya menyengir canggung. "Baru belajar sedikit, Pak. Semoga Bapak dan Ibu suka."
Mereka berempat akhirnya duduk mengelilingi meja. Keheningan sesaat melingkupi, bukan karena suasana canggung, melainkan karena semua mata terpaku pada hidangan di depan mereka.
"Baiklah, mari kita coba," ujar Pak Suhardi, mengambil potongan Ayam Mentega.
Kriuk!
Suara renyah melapisi daging ayam yang lembut di gigitan pertama. Saus mentega yang smoky dan gurih menyelimuti lidahnya dengan sempurna. Mata Pak Suhardi langsung membesar.
"Rama! Ini... ini bahkan lebih dari nasi goreng tadi pagi!" Pak Suhardi menggeleng tak percaya. "Rasa gurihnya pas, manisnya lembut. Tingkat masakan ini sudah setara dengan masakan mahal dari kota! Maya, kamu harus coba ini, lebih hebat dari yang Bapak bayangkan."
Bela sudah tidak tahan. Tanpa bicara, dia langsung menyerbu Ikan Bumbu Kuning. Kuah kuning kental yang hangat itu segera menyebar di mulutnya, kaya akan rempah kunyit, jahe, dan sedikit pedas.
"Astaga, Ini enak banget kak!" seru Bela, matanya berbinar. "Gila! Ikan seenak ini! Dagingnya lembut, tidak ada bau amis sama sekali. Kenapa tadi pagi kak Rama bilang baru pertama kali masak? Ini namanya bukan baru pertama kali, ini namanya sudah jadi profesional!"
Bu Maya mengangguk setuju. "Rama, Ibu sudah bilang tadi, kamu punya bakat. Ini bukan hanya masalah rasa, Pak. Tapi perhatikan potongan, penataan, dan kontrol panasnya. Sempurna."
Rama tersenyum dan berkata, "Syukurlah kalau Pak suka dan bu may, juga bela menyukainya,"
Setelah kehebohan masakan mereda, dan perut semua orang mulai terisi, suasana menjadi lebih santai. Rama memutuskan inilah saatnya ia menyampaikan penundaan rencana.
"Pak, Bu, dan Bela. Ada hal yang ingin aku sampaikan," kata Rama, nadanya serius.
Pak Suhardi meletakkan garpu. "Ya, Ram? Ada apa?"
"Rencana keberangkatanku ke kota, sepertinya akan aku undur sebentar. Mungkin sekitar sepuluh hari atau mungkin lebih," jelas Rama.
Reaksi pertama datang dari Pak Suhardi. "Oh, diundur? Tidak apa-apa, Nak. Kalau ada urusan yang harus diselesaikan di desa, selesaikan saja dulu. Keputusanmu yang terbaik."
Pak Suhardi mengangguk penuh pengertian, merasa Rama pasti punya pertimbangan yang baik.
Namun, reaksi Bu Maya dan Bela sangat berbeda.
"Diundur? Memangnya kamu mau ke kota, Ram?" tanya Bu Maya, dahinya berkerut. "Kamu tidak pernah cerita pada Ibu."
Bela langsung meletakkan sumpitnya, terkejut. "Tunggu! kakak mau pergi ke kota? Mau ngapain? Bukannya kakak masih sekolah,?" Beberapa murid di sekolah bahkan sesekali membicarakan kakak,"
Rama tahu ini akan menjadi topik panjang. "Aku mau pindah ke kota, Bela. Ada hal penting yang harus aku lakukan di sana. Tapi tenang saja, aku sudah mengurus surat kepindahanku."
"Pindah? Kenapa mendadak sekali?" tanya Bela, nada suaranya sedikit kecewa.
Rama tersenyum meyakinkan, menjaga rahasia Pil Kultivator itu. "Aku cuma ingin mengubah nasibku di sana, mungkin saja dengan merantau ke kota, aku bisa lebih mandiri lagi"
Bu Maya memandangi Rama dengan pandangan khawatir. "Apa kamu yakin, Nak? Ibu khawatir kalau di sana kamu tidak punya siapa-siapa."
"Aku yakin, Bu. Aku akan baik-baik saja," jawab Rama mantap.
Pak Suhardi menenangkan istrinya. "Sudahlah, Maya. Kalau Rama sudah memutuskan, kita doakan saja. Lagipula, dia memang harus mencari jalannya sendiri,"
Bela masih menatap Rama dengan curiga, tetapi tidak melanjutkan pertanyaannya. Tatapan Bela seolah berkata, "Kak menyembunyikan sesuatu dariku." entah kenapa nafsu makannya tiba-tiba menghilang.
******
[DING! Selamat pagi tuan]
"Selamat pagi sistem"
[DING! Selamat tuan mendapatkan hadiah login harian berupa 100 poin tukar yang akan di tambahkan ke dalam profil tuan,"
Pagi itu, mentari masih samar-samar di ufuk timur ketika Rama sudah rapi. Ia mengenakan pakaian yang baru dibeli dan membawa tas ransel sederhana. Di dapur, Bu Maya dan Pak Suhardi sedang menyiapkan sarapan. Aroma nasi goreng (meski bukan buatan Rama) sudah menyeruak.
"Pak, Bu," sapa Rama, berdiri di ambang pintu dapur.
Bu Maya menoleh, melihat tas ransel di punggung Rama. "Mau ke mana sepagi ini, Ram?"
Rama mengambil napas dalam-dalam. "Aku mau izin. Aku akan pergi selama sepuluh hari, Bu. Untuk urusan yang tadi malam aku bilang."
Pak Suhardi yang sedang menyesap kopi panasnya, meletakkan cangkir. "Sepuluh hari? Secepat ini? Kamu bahkan belum sarapan."
"Aku harus segera berangkat, Pak," jawab Rama, tersenyum tipis. "Aku akan mengunjungi kerabat jauh di desa sebelah. Ada hal yang harus aku bicarakan dengan mereka."
Bu Maya dan Pak Suhardi saling pandang, kerutan keraguan muncul di wajah mereka.
"Kerabat jauh?" tanya Bu Maya perlahan. "Nak, setahu Ibu, kerabatmu di sini hanya tinggal Paman Mamat. Siapa kerabatmu yang lain? Kenapa mendadak sekali?"
Rama sudah siap dengan pertanyaan ini. "Mereka kerabat dari garis ibu, Bu. Aku baru ingat. Mereka tinggal di desa yang cukup terpencil. Jadi, butuh waktu sepuluh hari untuk urusan ini, sekaligus perjalanan."
Pak Suhardi menatap Rama lurus-lurus. Ia memang merasa ada yang janggal, namun tatapan pemuda itu tampak begitu meyakinkan, entah kenapa ia merasa pemuda itu berbeda dari Rama yang ia kenal selama ini.
"Baiklah, Nak," kata Pak Suhardi, menghela napas. "Kalau memang penting, kami izinkan. Tapi kamu harus hati-hati. Di desa tetangga sana banyak jalan setapak yang masih hutan belantara."
Bu Maya berjalan mendekat dan merapikan kerah baju Rama. "Jaga dirimu baik-baik ya, Ram. Jangan lupa makan teratur. dan cepatlah kembali ke sini jika urusanmu sudah beres,"
"Tentu, Bu. Aku akan baik-baik saja," jawab Rama, merasa sedikit bersalah karena harus berbohong pada pasangan baik hati ini.
Setelah pamit singkat, Rama segera berbalik dan melangkah keluar rumah. bela yang baru saja keluar dari kamarnya segera mengejar Rama ke depan, dengan wajah cemberut.
"Kak.. kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu kan?" tanya Bela.
Rama sedikit tersentak menghentikan langkahnya, menatap wajah gadis itu lekat lalu berkata setelah tersenyum sekilas,"Setalah kaka kembali, kakak akan mengajakmu berjalan-jalan ke pasar dan membelikan apapun yang kamu mau."
Tanpa menunggu jawaban Bela, Rama melangkah cepat meninggalkan rumah itu,
Bela diam tanpa kata menatap kepergian pemuda itu, Kata-kata yang di ucapkan pemuda itu barusan membuat dirinya terpaku, "Berjalan-jalan ke pasar, membeli apapun yang dia mau,"?
"Kak tunggu.. aku belum selesai bicara,"Teriak bela berharap pemuda itu menhentikan langkahnya, ia tidak menganggap serius ucapan Rama sebelumnya, karena ia tahu pemuda itu tidak memiliki cukup uang dan itu hanyalah kata-kata untuk menghibur dirinya,
"Tunggulah dengan baik, aku akan kembali 10 hari lagi," Ucap Rama tanpa menoleh dan menghentikan langkahnya, membuat bela seketika memantulkan bibirnya kesal namun ada rasa kehilangan di hatinya,
Rama berjalan menyusuri jalan setapak yang perlahan berubah menjadi jalur berlumpur, lalu memasuki area yang ditumbuhi pohon-pohon tinggi dan rimbun. Ini adalah kawasan hutan yang membentang luas di luar desa.
Memasuki pedalaman hutan ini, napas Rama terasa lebih lega. Ini adalah tempat di mana ia tumbuh, tempat yang ia jelajahi bersama ayahnya. Udara di sini terasa lebih murni, dan ia yakin, ini adalah lokasi paling aman dan nyaman untuk mengkonsumsi pil kultivator terlepas dari apapun resikonya,
Setelah berjalan hampir dua jam, Rama akhirnya menemukan jalur yang samar-samar menuju ke sisi bukit kecil. Ia ingat betul jalur ini. Ia memangkas beberapa sulur tanaman liar yang menghalangi jalan masuk, dan beberapa saat kemudian, sebuah bangunan kecil muncul di hadapannya.
Itu adalah Gubuk Tua.
Gubuk itu terbuat dari kayu yang sudah lapuk, atapnya ditutup rumbia yang sebagian sudah berlubang, dan pintu kayunya miring seolah enggan menempel pada kusennya. Ini adalah tempat istirahat sederhana yang dibangun oleh kakek dan ayahnya. Tempat ini sudah ditinggalkan selama bertahun-tahun, tetapi struktur utamanya masih berdiri kokoh.
Rama meletakkan ranselnya dan segera membersihkan bagian dalam gubuk. Ia menyapu debu tebal di lantai dan menyingkirkan sarang laba-laba. Cahaya matahari masuk dari celah-celah dinding, menerangi ruangan kecil itu.
Di tengah gubuk, Rama duduk bersila di atas tumpukan daun kering yang ia rapikan menjadi alas.
"Sistem," bisiknya, suaranya dipenuhi antisipasi.
"Ambil Pil Kultivator Bakat Tertinggi," perintah Rama. "Saatnya aku melihat seberapa besar 'lompatan bakat tertinggi' yang dijanjikan pil ini."
[DING! Pil Kultivator Bakat Tertinggi telah dikeluarkan dari Inventaris. Apakah Tuan yakin ingin mengonsumsinya sekarang? Proses kultivasi membutuhkan waktu 10 hari penuh.]
Rama mengangguk, matanya menatap pil tersebut yang tiba-tiba muncul di telapak tangannya. Pil itu memancarkan kilauan halus, dan aroma rempah-rempah yang kuat, meskipun menenangkan, langsung memenuhi gubuk.
"Baiklah.. aku tidak boleh membuang waktu lagi, semakin cepat akan semakin baik," Gumam Rama setelah melihat ke sekeliling sebentar, tanpa ragu dirinya pun langsung memasukan pil itu ke dalam mulutnya,