NovelToon NovelToon
Shadow Of The Seven Sins

Shadow Of The Seven Sins

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Anak Yatim Piatu / Epik Petualangan / Dunia Lain
Popularitas:159
Nilai: 5
Nama Author: Bisquit D Kairifz

Hanashiro Anzu, Seorang pria Yatim piatu yang menemukan sebuah portal di dalam hutan.

suara misterius menyuruhnya untuk masuk kedalam portal itu.

apa yang menanti anzu didalam portal?

ini cerita tentang petualangan Anzu dalam mencari 7 senjata dari seven deadly sins.

ini adalah akun kedua dari akun HDRstudio.Di karna kan beberapa kendala,akun HDRstudio harus dihapus dan novelnya dialihkan ke akun ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bisquit D Kairifz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kontrak

Malam hari.

Anzu terbangun di ranjang penginapan. Nafasnya berat, peluh dingin membasahi pelipis.

“...Hah...” ia mengusap kepalanya. Pandangannya kabur, seperti baru keluar dari mimpi buruk.

“Aku... pingsan? Saat hendak pulang?” gumamnya.

Seketika, suara berat menggema di dalam kepalanya — dalam, kasar, dan bergaung seperti guruh.

“KAU TERLALU MEMAKSA. TUBUHMU BELUM SIAP MENAMPUNG KEKUATANKU.”

Anzu terdiam sesaat, lalu menghela napas panjang.

“Jadi begitu... aku melewati batas tubuhku sendiri, huh.”

Sebelum ia sempat berbaring lagi, terdengar ketukan di pintu.

Tok... tok...

“Anzu,” suara Alfred terdengar di luar.

Anzu membuka pintu. Di hadapannya, Alfred berdiri dengan wajah cemas, tapi berusaha tersenyum.

“Oh, jadi kau sudah sadar juga.”

“Setidaknya tunggu aku menjawab dulu sebelum membuka pintu,” Anzu mendengus.

“Hehe, maaf. Aku cuma khawatir. Kau tadi pingsan di tengah jalan... bagaimana rasanya sekarang?”

“Aku baik-baik saja.”

“Syukurlah.” Alfred menepuk bahunya ringan, lalu pergi.

Begitu pintu tertutup, keheningan kembali turun.

Anzu menatap pedangnya yang bersandar di dinding. Cahaya bulan memantul di bilah logamnya — seperti mata iblis yang menyala dalam kegelapan.

“Hei, Satan.” suaranya datar, tapi nadanya menyiratkan lelah dan penasaran.

“Bangun.”

"Hah? Apa lagi? Aku baru saja tertidur,” sahut suara dari pedang itu, berat dan penuh kejengkelan.

“Enam senjata lainnya... di mana aku harus mencarinya?”

"Kenapa aku harus tahu?” ejeknya. “Aku terkurung di pedang ini ribuan tahun. Dunia luar bagiku hanyalah kabut.”

“Tidak berguna,” gumam Anzu.

"Urus sendiri, manusia lemah.”

Anzu mendecak kecil. “Sepertinya memang harus begitu.”

Ia berbaring lagi — tapi sebelum tertidur, matanya masih menatap pedang itu.

“Satan... setidaknya, beri tahu aku cara mengaktifkan Aura.”

Suara iblis itu mendengus panjang.

"Huft... dasar keras kepala. Baiklah, dengar baik-baik.”

 

“Dahulu kala, sebelum manusia mengenal sihir dan dewa, dunia hanya dipenuhi suara — teriakan perang, doa, dan tangisan.

Dari suara-suara itu lahirlah jiwa, dan dari jiwa tercipta kekuatan pertama: Aura.”

"Aura bukan sekadar energi hidup. Ia adalah gema dari roh dan emosi yang pernah hidup — tersimpan di dalam logam, batu, atau darah dunia.

Saat manusia menumpahkan amarah, keberanian, dan kesedihan ke dalam senjatanya, bilah itu menyerap semuanya.

Dan suatu hari, senjata itu menjadi hidup.”

"Roh yang terbentuk di dalamnya disebut Spirit of Blade — jiwa senjata.

Dan dari roh inilah, Aura dilahirkan kembali.”

Anzu terdiam sejenak, lalu bergumam, “Lalu... bagaimana cara menggunakannya?”

 

"Langkah pertama — Sinkronisasi Nafas dan Emosi.

Tenangkan diri, samakan napas dengan detak jantung, sampai kau mendengar ‘suara jiwamu’.

Kedua — Fokus pada Inti Jiwa.

Rasakan denyut cahaya kecil di dadamu. Itulah Core of Soul.

Ketiga — Bangkitkan Emosi Pemicu.

Aura hanya muncul dari emosi murni. Marah, takut, ingin melindungi, kehilangan...

Keempat — Nyatakan Sumpah Jiwa.

Ucapkan keyakinan yang mengikat jiwamu pada kekuatan itu.

Sumpah itu akan menjadi nama teknik pembuka Aura mu.

Terakhir — Pelepasan Energi."

"Saat emosi dan sumpah menyatu, energi jiwamu akan meledak."

"Cahaya menyelimuti tubuhmu, udara bergetar... dan di saat itulah, Aura benar-benar terlahir.”

 

Anzu menggaruk kepalanya. “Ribet banget.”

"DASAR MANUSIA BODOH! Sudah kuberikan rahasia kuno malah mengeluh!”

“Ya, ya... intinya aku bisa mengaktifkan Aura, kan?”

“Bisa — kalau kau membuat kontrak denganku.”

“Kontrak?”

“Ikatan antara pengguna dan roh senjata. Jiwa untuk jiwa.”

Anzu menatap pedangnya. “Baik. Selama itu bisa memberiku kekuatan.”

Satan tertawa rendah, suara logamnya bergetar.

“Bagus. Maka dengan darahmu... kontrak ini disegel.”

Cahaya merah pekat menyelimuti ruangan. Simbol-simbol kuno membara di udara, menyatu di dada Anzu.

Anzu meringis. “Hngh... rasanya panas... tapi—biasa saja?”

> “Kau berharap ada ledakan kekuatan? Hah! Kau bahkan belum bisa berdiri sempurna!”

Anzu menghela napas. “Yasudahlah.”

 

...----------------...

PAGI HARI.

“Yoo, Anzu!” seru Alfred cerah. “Hari ini aku ikut berburu!”

Anzu menatapnya malas. “Ikut? Untuk apa?”

“Cari pengalaman. Lagipula, aku bosan di kota.”

“Baiklah. Tapi jangan jadi beban.”

Mereka berangkat menuju hutan. Pohon-pohon tinggi menjulang seperti tombak hitam menusuk langit. Bau tanah lembab bercampur aroma darah segar.

Kraak.

Ranting patah.

Anzu menegakkan tubuh. “...Mereka datang lagi.”

Dari balik kabut, muncul kawanan Bloody Bear — bulu mereka merah tua, basah oleh darah segar. Tapi di antara mereka berdiri satu sosok raksasa.

“Sebesar itu...?” Alfred menelan ludah.

“Lord Bloody Bear. Pemimpin kawanan. Bisa meremukkan pohon hanya dengan satu serangan.”

“Menarik,” ucap Anzu, mata berkilat tajam. “Akhirnya, musuh yang pantas.”

RAAAAAAAAAGHHHHH!!!

Raungan menggetarkan hutan. Tanah bergetar, dedaunan beterbangan.

“Tidak ada pilihan lain,” Anzu mencabut pedangnya. “Kita bunuh mereka semua.”

Alfred menggertakkan gigi. “Baik!”

Pertempuran pecah.

Aura hitam menyelimuti Anzu, udara di sekitarnya bergetar berat.

Pedangnya membelah udara, menebas satu demi satu musuh.

Namun setiap kali satu jatuh, dua lagi datang.

Ketika Lord Bloody Bear turun tangan, tanah retak di bawah langkahnya.

“Pedangku tidak menembus kulitnya,” Anzu bergumam.

"Aku akan habisi yang lain, tahan dia dulu!” teriak Alfred.

“Serahkan padaku.”

Ledakan darah, denting logam, dan raungan mengisi udara.

Tapi satu serangan Lord Bloody Bear menyapu keduanya.

DUAAK!

Anzu mendorong Alfred, menahan serangan itu — dan tubuhnya terpental, menabrak batu besar.

Darahnya memercik di tanah.

“ANZU!!!”

Alfred yang kewalahan menghadapi Lord Bloody Bear pun terkena serangan dan terkapar pingsan.

Anzu yang masih menahan sakit dari serangan Lord bloody bear itu pun kembali mengingat saat dia kehilangan.

Segalanya memudar. Bayangan masa lalu berkelebat — ayah angkatnya, Reinhard, yang mati di depan matanya.

Rasa kehilangan, kemarahan, dan kesedihan menyatu.

Anzu takut kalau hal yang sama terjadi lagi.

seketika Anzu mengaktifkan kembali Aura sampai batas tubuhnya.

"Kau sudah melewati batas, bocah...” gumam Satan. “Tubuhmu akan hancur...”

Tapi Anzu tak peduli.

Aura hitam meledak, membungkus tubuhnya seperti badai neraka.

Pedangnya bersinar — bukan lagi logam, tapi nyala jiwa yang menjerit.

Satu tebasan.

Langit bergetar.

Tanah terbelah.

Lord Bloody Bear jatuh.

Anzu berdiri di tengah darah dan kabut, lalu memanggul tubuh Alfred, berlari menuju desa tanpa menoleh ke belakang.

 

Beberapa jam kemudian.

“Dokter... bagaimana anak saya?” suara ayah Alfred bergetar.

“Syukurlah, ia dibawa tepat waktu. Kalau terlambat sedikit saja, darahnya habis.”

Ayah Alfred terisak lega. “Terima kasih, Tuhan...”

Anzu berdiri di sudut ruangan, diam, matanya kosong.

“Ini bukan salahmu,” ujar sang ayah lembut.

“Tidak. Kalau aku lebih kuat... dia tak akan terluka.”

“Bodoh. Kalau kau tak cukup kuat, dia sudah mati. Kau menyelamatkannya.”

Anzu menunduk. “Aku masih terlalu lemah.”

Tangannya menggenggam pedang erat.

“Aku harus berlatih lagi... kalau ingin membalas dendam.”

 

Keesokan pagi.

Alfred membuka mata. Luka-lukanya mulai menutup.

“...Ayah?”

“Anzu akan pergi hari ini.”

“Apa?!” Alfred langsung bangkit.

“Dia di penginapan. Tapi pikirkan dulu — kau yakin ingin mengikutinya?”

Alfred menatap keluar jendela. “Entah kenapa... tapi kalau aku tidak ikut, aku akan kehilangan sesuatu.”

Ia berlari tanpa menoleh.

Ayahnya tersenyum kecil. “Dasar anak keras kepala.”

 

Anzu tengah menyiapkan perbekalan ketika suara teriak menggema.

“ANZUUUU!!!”

Anzu menoleh. “Alfred?”

Pemuda itu terengah. “Aku... ikut denganmu!”

“Kalau kau ikut, bahaya akan datang setiap saat. Tidak ada jaminan hidup.”

Alfred menatapnya mantap. “Aku tahu. Tapi aku tetap ingin ikut.”

Anzu menatapnya lama... lalu tersenyum tipis.

“Baiklah. Kalau begitu, kita berangkat.”

Langkah mereka meninggalkan kerajaan, perlahan menghilang di balik cahaya fajar.

Menuju dunia yang lebih gelap dari malam, dan lebih kejam dari takdir itu sendiri.

1
Nagisa Furukawa
Aku jadi bisa melupakan masalah sehari-hari setelah baca cerita ini, terima kasih author!
Bisquit D Kairifz: Semangat bree, walau masalah terus berdatangan tanpa memberi kita nafas sedikit pun
total 1 replies
Rabil 2022
lebih teliti lagi yah buatnya sebabnya ada kata memeluk jadi meneluk
tapi gpp aku suka kok sama alur kisahnya semangat yahh💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!