Sari, seorang gadis desa yang hidupnya tak pernah lepas dari penderitaan. Semenjak ibunya meninggal dia diasuh oleh kakeknya dengan kondisi yang serba pas-pasan dan tak luput dari penghinaan. Tanpa kesengajaan dia bertemu dengan seorang pria dalam kondisinya terluka parah. Tak berpikir panjang, dia pun membawa pulang dan merawatnya hingga sembuh.
Akankah Sari bahagia setelah melewati hari-harinya bersama pria itu? Atau sebaliknya, dia dibuat kecewa setelah tumbuh rasa cinta?
Yuk simak kisahnya hanya tersedia di Noveltoon. Dengan penulis:Ika Dw
Karya original eksklusif.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Dw, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Calon Mantu
Malam itu Jaka tak bisa tidur. Dia ingin tahu seperti apa sosok wanita bernama Lasmi yang sudah membuat Sari menangis. Ia memang bukan sanak familinya, tapi ia juga sakit hati atas ucapan wanita itu. Bukannya ingin memberinya pelajaran, ia hanya ingin tahu sebenarnya ada masalah apa hingga membuat Sari dan kakeknya selalu dianggap buruk oleh orang di sekitarnya, ia hanya berpikir tidak akan ada asap kalau tidak ada api.
"Permisi bang," ucap beberapa wanita yang lewat depan rumah.
"Iya, silahkan," jawab Jaka.
Tatapan mereka cukup membuatnya tak nyaman. Setiap kali ada orang lewat selalu saja tertuju padanya dengan raut wajah sinis, tentu ia merasa ada sesuatu yang tak beres. Keberadaannya di situ memang tidak diketahui oleh banyak orang, mungkin mereka beranggapan bahwa dirinya memiliki rencana buruk di tempat mereka. Seandainya saja ia tidak hilang ingatan, mungkin selamanya ia juga tidak akan pernah menginjakkan kakinya di tempat itu.
"Kenapa tatapan mereka segitunya padaku? Apa karena aku orang asing yang tidak mereka kenal? Kalau penasaran sama aku kan harusnya ditemui lalu cari tahu asal usulku, bukan malah menatapku sinis. Mungkin memang benar kata kakek Rahmat, orang sini agak sinis menilai orang lain. Aku nggak bisa diam saja, aku harus cari tahu dari mulut mereka langsung, sebenarnya apa sih yang mereka pikirkan?"
Tanpa berpamitan Jaka langsung keluar rumah dan berjalan mengikuti langkah beberapa wanita itu. Niatnya juga ingin berbasa-basi mengenalkan dirinya sebagai anggota baru di kampung itu. Mungkin dengan begitu mereka tidak selalu salah sangka dan menjadikan Sari sebagai sasaran mereka.
"Kalau dilihat-lihat sepertinya itu bukan orang sini. Kayak orang kota," celetuk salah satu ibu-ibu yang berjalan beriringan di depannya. Mereka tidak ada yang tahu dengan keberadaan Jaka yang sengaja mengikutinya dari arah belakang.
"Iya, tapi itu apanya si Sari? Masa pacarnya? Masa belum nikah udah dibawa pulang? Bikin sial saja si Sari. Sama seperti ibunya," sahut yang lainnya.
"Memang buah jatuh tak kan jauh dari pohonnya. Ibunya dulu kayak apa? Sedari muda sudah nakal, suami siapa yang nggak kegoda sama dia. Suaminya si Marni sampai ajukan cerai gara-gara dia, ujung-ujungnya apa? Mereka berpisah, tapi Nurma nggak mau dinikahi oleh si Toyib. Memang cuma dimanfaatin aja kok. Sekarang anaknya juga gitu, ujug-ujug bawa pria asing dengan alasan menolong, tapi aku yakin kalau pria itu akan dijadikan korbannya. Lihat saja nanti, kalau sampai dia hamil kan ujung-ujungnya minta pertanggungjawaban, setelah itu anaknya dimanfaatkan untuk menguras harta pria itu. Yakin aku!"
Ekhem....
Jaka berdehem cukup keras dan membuat beberapa wanita itu refleks memutar kepalanya. Seketika mereka diam tak satupun ada yang bergeming.
"Punten ibu-ibu, jam segini kok masih ada di luar? Memangnya dari mana?" Jaka berpura-pura tak mendengar obrolan mereka. Ia ingin tahu apa reaksi mereka setelah tahu keberadaannya.
"Ah..., i—iya ini masih baru pulang dari pengajian rutinan. Kalau boleh tahu Abang mau ke mana?" Mereka serempak menjawab dengan kegugupan.
"Lagi cari angin aja, nggak bisa tidur banyak nyamuk, gerah pula," jawab Jaka.
"Oh..., kirain mau ke mana?"
Para wanita itu merapatkan jalannya berhimpit himpitan sembari bergumam. "Tadi dia denger nggak ya, obrolan kita?"
Yang lain menyahut. "Jangan sampai dia denger, bisa kacau jadinya."
"Tapi kalau dia denger udah pasti negur kita, iya nggak sih?"
Di belakang Jaka tersenyum sendiri. Nampaknya mereka takut akan mendapatkan makian darinya. Memang sengaja ia diam, jika ada hal yang berani membuatnya terusik baru ia bakalan kasih sedikit peringatan.
"Em..., bang! Namanya siapa sih kalau boleh tahu?" tanya salah satu dari mereka yang kebetulan cukup kepo dengan pria asing itu. Selama berada di kediaman Sari tak satupun dari mereka ada yang mengetahui namanya.
"Jaka, panggil saja saya Jaka."
"Oh..., namanya Jaka? Bagus juga namanya, tapi agak kampungan. Kami pikir anda datang dari luar kota. Tapi kalau boleh tahu ada hubungan apa antara anda dengan keluarga pak Rahmat? Saudara kah, atau ~~
"Calon mantu!"
"Hah? Calon mantu? Apakah Abang serius calon mantunya pak Rahmat? Maksudnya calon suaminya si Sari?"
Jaka mengangguk. "Iya benar, saya calon suaminya Sari. Memangnya ada apa ibu-ibu? Kenapa kalian begitu terkejut mendengar penjelasan dari saya?"
"Gimana mau ngejelasinnya ya bang Jaka! Sebenarnya Sari itu~~
Saat ada yang ingin menjelaskan yang lainnya langsung menyenggol lengannya dan diurungkannya untuk tidak memberikan penjelasan apapun mengenai Sari.
"Loh, kenapa diam? Kalian bukannya sudah sangat mengenal calon istri saya? Ada apa dengan Sari Bu, tolong jelasin sama saya."
"Em..., maaf bang Jaka, bukannya kami ingin memfitnah si Sari, tapi kami kan tahu betul siapa dia. Ibunya si Sari meninggal karena depresi dan mengakhiri hidupnya dengan tragis. Semasa hidupnya dia tidak pernah berperilaku baik, bahkan dia perusak pager ayu orang lain. Banyak para suami dari penduduk kampung terhasut oleh bujuk rayunya, bahkan sampai ada yang memutuskan untuk bercerai dengan istrinya demi wanita itu, tapi sayangnya pas rumah tangganya berantakan ibunya Sari nggak mau dinikahi dengan alasan masih memiliki suami yang masih belum menceraikannya. Kami sampai jengkel dibuatnya. Hampir setiap hari kami berantem sama suami gara-gara tergoda perempuan laknat itu. Bahkan sampai mati pun kami tidak iklas. Kami mengutuknya, semoga saja arwahnya gentayangan."
"Astaghfirullah haladzim, ibu ibu sadar dengan apa yang barusan kalian ucapkan? Kalian itu katanya baru pulang dari pengajian, tapi mulutnya kok kayak gitu? Orang itu tidak ada yang suci apalagi sempurna, tapi nggak harus sekejam itu. Saya memang belum tahu seperti apa sosok almarhumah ibunya Sari, tapi apapun itu jangan sampai menghakiminya. Kalian bukan Tuhan yang bisa menentukan hidup mati manusia. Kalian yang sudah menganggap diri kalian suci juga belum tentu masuk surga kok. Ingat loh ibu-ibu, setiap ucapan wajib kita untuk mempertanggungjawabkannya kelak."
"Tapi kami sudah terlanjur sakit hati oleh kelakuannya. Suami kami sampai lupa diri gara-gara dia. Suami kami bahkan lupa memiliki anak istri yang menunggunya di rumah. Tidak ada baik-baiknya ibunya sari itu, sudah pasti anak perempuannya juga bakalan nurun kelakuannya!"
Jaka geleng-geleng kepala. Begitu pedasnya mulut mereka yang seperti tak pernah makan bangku sekolahan. Bahkan dengan sangat kejinya menggibahi orang yang sudah tiada.
"Ibu-ibu, perlu saya tegaskan di sini. Sebagai calon suaminya saya tidak rela kalian menjudge calon istri saya begitu buruk. Saya punya tanggung jawab besar untuk menjaga dan mengayominya, jadi jangan sampai membuatnya nangis gara-gara ulah kalian. Kalian itu cuma bagus covernya aja, tapi hati kalian nampak begitu busuk!"