NovelToon NovelToon
Benih Yang Tak Terucap

Benih Yang Tak Terucap

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.

Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.

Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.

Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.

Dan Aira bahkan tidak tahu…

Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 7 — Pertahanan yang Tak Terduga

​Kehidupan sosial yang harus dijalani Aira sebagai Nyonya Arganata terasa seperti labirin kaca yang dingin. Setiap acara adalah ujian, setiap senyum adalah topeng. Gaun yang ia kenakan, perhiasan yang melingkari lehernya, semuanya terasa asing dan berat, seperti seragam yang dipaksakan.

​Malam itu, mereka menghadiri Gala Amal ArgaCorp. Ballroom tempat acara diadakan berkilauan dengan kekayaan—permata, sutra, dan tawa berlebihan yang menggantung di udara seperti asap. Aira mengenakan gaun malam biru tua yang sederhana namun elegan. Ia memilih perhiasan minimalis, menolak untuk tenggelam dalam kelebihan yang mengelilinginya.

​Dion berdiri di sampingnya, menjadi benteng yang sempurna. Pria itu sibuk menyalami relasi bisnis, tangannya menyentuh punggung Aira sesekali—sentuhan yang sepenuhnya didikte oleh kebutuhan sosial, bukan keintiman. Namun, sentuhan dingin itu justru terasa seperti jangkar, pengingat bahwa ia tidak sendirian sepenuhnya di medan perang ini.

​Dari jauh, Aira bisa merasakan tatapan Tantri, Mama tiri Dion. Wanita itu, yang mengenakan gaun merah menyala dan perhiasan berlian seberat timbangan, tampak seperti dewi perang yang sedang merencanakan serangan.

​Saat Dion terlibat dalam pembicaraan serius dengan seorang menteri, Tantri melihat celah. Ia berjalan mendekat ke arah Aira, senyumnya semanis racun.

​“Kau terlihat… tenang,” ujar Tantri, nadanya merendahkan. “Aku kira kau masih syok setelah pingsan di altar. Tapi bagus, berarti kau sudah terbiasa dengan ketinggian.”

​Aira berusaha membalas senyum. “Selamat malam, Nyonya Tantri. Saya baik-baik saja. Acara ini sungguh indah.”

​“Indah? Tentu saja. Ini adalah acara keluarga Arganata. Semuanya yang terbaik,” Tantri memajukan tubuhnya, berbicara dengan volume yang cukup rendah sehingga hanya Aira yang bisa mendengar, namun cukup keras untuk menarik perhatian sekelompok wanita di dekatnya.

​“Kau tahu, Dion adalah pria yang sangat berhati-hati dalam memilih aset,” lanjut Tantri, matanya menatap Aira dari ujung rambut hingga ujung kaki, menilai. “Kami sudah berinvestasi banyak untuk membersihkan rekam jejakmu. Utang ayahmu, latar belakangmu yang… sederhana.”

​Aira merasakan panas menjalar di pipinya. Ia tidak ingin Tantri membahas latar belakangnya di tengah keramaian ini.

​“Aku harap kau menghargai investasi itu, Aira,” Tantri berbisik tajam. “Sebab, jika kau tidak bisa menghasilkan apa-apa selain membuat Dion malu dengan drama pernikahanmu, kau akan menjadi pengeluaran yang tidak diperlukan. Dan Dion tidak suka pengeluaran yang tidak perlu.”

​Aira menelan ludah. Ia mencoba menjaga ketenangan batinnya. “Saya mengerti posisi saya, Nyonya. Saya akan menjalankan kontrak.”

​“Kontrak hanya kertas, Sayang,” Tantri tertawa pelan. “Yang penting adalah bagaimana kau bertahan di lingkungan ini. Jika kau terus terlihat seperti bunga liar yang bingung, kau akan diinjak. Dan kau tidak punya siapa-siapa di sini untuk membelamu.”

​Tantri berhenti, meraih segelas sampanye dari pelayan yang lewat, dan bersiap memberikan pukulan terakhir.

​“Lagi pula, aku dengar Dion sibuk mencari tahu tentang ‘keponakan’ kecilmu di kampung. Kau harus hati-hati, Aira. Rahasia di keluarga ini, terutama yang melibatkan darah, selalu berakhir buruk.”

​Aira tersentak. Keponakan. Kata itu, diucapkan oleh Tantri, terasa seperti belati yang berputar di hatinya. Dion sudah mulai menyelidiki. Dan Tantri mengetahuinya.

​“Saya tidak mengerti maksud Anda,” Aira berbisik, berusaha menyangkal.

​Tantri tersenyum kemenangan. “Oh, kau mengerti. Jangan khawatir. Aku tidak akan memberitahu Dion detailnya. Aku hanya akan membiarkan dia menemukan kebohonganmu sendiri. Itu akan jauh lebih menyenangkan bagiku.”

​Tantri berbalik, menikmati kepanikan yang terlihat di mata Aira.

​Tepat saat Tantri hendak pergi, Dion tiba-tiba berdiri di belakang Tantri. Ia tidak mengeluarkan suara, kehadirannya tiba-tiba dan dominan, memancarkan aura es yang dingin.

​“Kau sudah selesai?” tanya Dion, suaranya tenang, namun penuh bahaya yang terpendam.

​Tantri terkejut. Ia tersenyum paksa. “Dion! Hanya mengobrol ringan dengan istrimu. Mengingatkan dia tentang pentingnya etika.”

​Dion tidak melirik Tantri. Matanya menatap Aira, seolah memastikan Aira tidak terluka. Aira melihat kemarahan yang tertahan di balik ketenangan mata Dion.

​“Tantri,” kata Dion, suaranya kini terdengar di seluruh kelompok sosial di dekat mereka. Kata-katanya jelas, setiap suku kata diucapkan dengan penekanan yang tajam.

​“Aira adalah istri sahku. Dia adalah chief representative dari Arganata dalam urusan sosial. Dan dia adalah cerminan dari aset yang aku kelola.”

​Dion melangkah maju, berdiri di antara Aira dan Tantri.

​“Aku mengizinkanmu mencampuri urusan keuanganku, karena itu adalah tugasmu di perusahaan. Tapi jangan pernah, aku ulangi, jangan pernah merusak aset pribadiku. Aku tidak suka jika investasiku terganggu oleh gosip murahan. Jika dia membuat masalah, aku sendiri yang akan menghukumnya. Bukan kau.”

​Tantri terdiam, wajahnya yang penuh riasan terlihat marah. Dipermalukan di depan umum adalah hal yang paling dibenci olehnya.

​“Dion, aku hanya memastikan dia tahu aturannya…”

​“Aturannya sudah jelas,” potong Dion, tanpa ampun. “Dia adalah aku, dan aku adalah dia. Jika kau memperlakukannya seperti sampah, orang akan berpikir kau menantang kendaliku atas aset itu. Aku tidak peduli dengan etika. Aku peduli dengan hierarki. Dan di sini, dia adalah milikku.”

​Kata-kata 'milikku' (mine) yang diucapkan Dion bukanlah pernyataan cinta, melainkan pernyataan teritorial yang brutal. Itu adalah pernyataan bahwa Aira, meskipun istri kontrak, adalah sesuatu yang ia miliki dan ia lindungi dari ancaman luar.

​Tantri mundur, tersenyum sinis. “Baiklah, Tuan Arganata. Aku mengerti. Kau punya aset baru yang harus dijaga. Semoga ia tidak mengecewakanmu.”

​Tantri pun pergi dengan langkah penuh amarah, menarik perhatian semua orang yang menyaksikan konfrontasi singkat nan dingin itu.

​Setelah keramaian mereda, Aira dan Dion segera meninggalkan acara tersebut. Di dalam mobil mewah yang melaju membelah malam, keheningan terasa tebal dan panas.

​Aira menatap Dion. Pria itu tampak kembali ke wujudnya yang dingin, seolah kejadian barusan tidak pernah terjadi.

​“Kenapa Anda melakukan itu?” tanya Aira, suaranya pelan dan bingung. “Anda tidak perlu membela saya. Saya bisa mengurusnya sendiri.”

​Dion tidak menoleh. Ia hanya menatap jalanan yang basah oleh hujan. “Aku sudah bilang. Kau adalah cerminan. Tantri mencoba membuatku terlihat lemah dengan merendahkanmu. Aku melindungi reputasiku, bukan dirimu.”

​“Reputasi?” Aira tertawa, tawa hampa. “Anda memperlakukan saya seperti anjing penjaga yang mahal.”

​Dion akhirnya menoleh, matanya gelap dan memancarkan emosi yang tidak bisa ia baca. “Itu lebih baik daripada diperlakukan seperti pengemis yang berutang, Aira. Setidaknya, sebagai asetku, kau punya perlindungan. Tantri tidak akan berani menyentuhmu lagi.”

​“Dan bagaimana dengan Anda?” tanya Aira, mendesak. “Anda yang mencari tahu tentang keponakan saya. Anda yang mencoba membongkar rahasia yang saya lindungi mati-matian. Bukankah itu lebih buruk daripada Tantri?”

​Dion terdiam. Ia tidak menyangkal, tidak juga mengiyakan. Ia hanya menatap Aira dengan intensitas yang membuat Aira merasa jantungnya berhenti berdetak.

​“Tentu saja,” jawab Dion, suaranya serak. “Aku adalah orang yang menandatangani kontrak itu. Jika ada kebohongan di dalamnya, aku akan mengungkapkannya sendiri. Aku tidak akan membiarkan orang lain mengendalikan ceritaku.”

​Dion meraih tangan Aira, bukan dengan kelembutan, melainkan dengan cengkeraman yang menunjukkan kepemilikan. Ia mengangkat tangan Aira ke bibirnya, mencium punggung tangan itu—sebuah gerakan yang sepenuhnya kontradiktif dengan kata-katanya. Itu adalah pengakuan bahwa, meskipun ia membenci Aira, ia memiliki hasrat teritorial yang kuat.

​“Kau adalah milikku, Aira,” bisik Dion, lebih kepada dirinya sendiri daripada Aira. “Jika ada rahasia, aku akan menjadi yang pertama mengetahuinya. Dan aku akan menjadi yang terakhir yang bisa menghukummu.”

​Aira menarik tangannya, tubuhnya menggigil. Dion membingungkannya. Pria ini melindunginya dari bahaya, tapi ia sendiri adalah bahaya yang terbesar.

​Dion kembali ke ruang kerjanya setelah mengantar Aira ke kamar. Ia menyalakan lampu meja, suasana ruangan terasa berat dan dipenuhi kecurigaan.

​Kepala keamanannya mengirim pesan: Laporan awal.

​Dion membuka dokumen terenkripsi itu. Ia tidak sabar. Ia ingin tahu, siapa anak itu. Siapa yang membuat Aira berani menolaknya dan melanggar kontrak.

​Dokumen itu berisi foto Arvan, yang Dion sudah lihat. Di bawah foto, ada rincian yang sudah dikumpulkan timnya:

​Nama: Arvan Nadiya.

Usia: Empat tahun.

Status: Ditinggalkan oleh ayah yang tidak diketahui. Diurus oleh neneknya (Ibu Aira).

Nama Ibu Kandung: Aira Nadiya.

​Dion menatap layar. Nafasnya tercekat. Ia membaca lagi dan lagi.

​Nama Ibu Kandung: Aira Nadiya.

​Bukan keponakan. Bukan anak dari kerabat jauh. Tapi putranya.

​Dion merasakan jantungnya berdebar kencang, tidak seperti sebelumnya. Rasa marah yang dingin menjalari pembuluh darahnya. Aira bukan hanya berbohong tentang masa lalunya; dia berbohong tentang hal yang paling mendasar: dia memiliki anak. Anak yang usianya, kebetulan, sama persis dengan waktu ia menghabiskan malam itu di ‘La Nuit’ empat tahun lalu.

​Apalagi, mata itu. Mata yang tajam, gelap, dan cerdas. Mata yang sama persis dengan matanya sendiri.

​Dion bangkit, tangannya meremas kertas itu hingga kusut. Ia tidak peduli lagi dengan Tantri, reputasi, atau saham. Yang ia pedulikan hanyalah kebohongan yang telah merajalela di bawah atapnya, di samping tempat tidurnya, dan di bawah pengawasannya.

​Anak itu. Anak mereka.

​Dion Arganata telah ditipu. Dan kali ini, hukuman untuk Aira akan jauh lebih berat daripada sekadar sanksi kontrak. Ini adalah masalah kehormatan, kebohongan, dan pengkhianatan yang ia benci lebih dari segalanya.

1
Elkss
bagus kak ceritanya
semoga cepet up lagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!