NovelToon NovelToon
Bukan Darahku, Tapi Jantungku: Anakku, Anak Mantan Suamiku?

Bukan Darahku, Tapi Jantungku: Anakku, Anak Mantan Suamiku?

Status: sedang berlangsung
Genre:Keluarga / Romansa / Konflik etika
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Bangjoe

Mungkinkah cinta seorang ibu bisa runtuh oleh kebenaran genetik? Raya membesarkan putranya, Langit, dengan seluruh cinta dan jiwanya. Namun, sebuah tes medis tak terduga mengungkap fakta mengejutkan: Langit bukan darah dagingnya. Lebih mengerikan, DNA Langit justru mengarah pada masa lalu kelam Raya, terhubung dengan mantan suaminya yang dulu menyakitinya. Haruskah Raya mengungkap kebenaran yang bisa menghancurkan keluarganya, atau menyimpan rahasia demi menjaga 'anaknya'?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pelangi Setelah Badai

Aroma kopi hitam menyeruak, beradu mesra dengan wangi roti panggang dan selai stroberi yang baru saja dioleskan. Matahari pagi merayap masuk melalui jendela, memeluk hangat ruang makan yang selalu menjadi pusat semesta Raya. Di sana, di antara hiruk-pikuk bahagia, ada Arlan, suaminya, yang melahap sarapannya dengan senyum mengembang, dan Langit, putra kecil mereka, yang asyik menggambar naga di balik serpihan remah roti.

“Naga ini punya sayap raksasa, Ma! Bisa terbang sampai ke bulan!” seru Langit, mata bulatnya berbinar penuh imajinasi. Usianya baru lima tahun, tapi dunianya sudah seluas angkasa.

Raya tersenyum, mengusap lembut puncak kepala Langit yang berambut ikal. “Wah, hebat sekali. Kalau begitu, kita harus sering-sering latihan terbang, ya?” Ia mencium pipi gembil putranya, merasakan kehangatan yang tak terhingga. Kehangatan ini, kebahagiaan ini, adalah anugerah terindah setelah badai panjang yang pernah melanda hidupnya.

Arlan meletakkan garpu, menatap Raya dengan tatapan penuh cinta yang tak pernah pudar sejak hari pertama mereka bertemu. “Kalian berdua adalah duniaku,” bisiknya, suaranya dalam dan menenangkan. Ia meraih tangan Raya di meja, menggenggamnya erat. “Aku tidak pernah membayangkan kebahagiaan seperti ini bisa ada.”

Raya membalas genggaman itu, jantungnya berdebar lembut. Empat tahun lalu, ketika ia bertemu Arlan, ia hanyalah serpihan. Hatinya hancur berkeping-keping oleh pengkhianatan dan kebohongan. Damar, mantan suaminya, telah meninggalkan luka yang begitu dalam, nyaris merenggut kepercayaannya pada cinta. Namun, Arlan datang. Dengan kesabaran dan ketulusan, Arlan menyatukan kembali kepingan-kepingan itu, membangun sebuah rumah tangga yang kokoh di atas fondasi cinta dan kepercayaan. Langit adalah buah cinta mereka, pelengkap sempurna bagi kehidupan baru Raya.

“Aku juga, Lan. Setiap pagi terbangun melihat kalian berdua, rasanya seperti mimpi,” ucap Raya, matanya berkaca-kaca. Ia merasa begitu beruntung. Setiap detik yang ia habiskan bersama Arlan dan Langit adalah pengingat bahwa kebahagiaan sejati itu ada, nyata, dan bisa diraih.

Langit, yang merasa terabaikan dalam momen romantis orang tuanya, menarik-narik ujung baju Raya. “Mama, nanti kita ke taman? Langit mau lihat burung.”

“Tentu, sayang. Habis ini kita siap-siap, ya,” jawab Raya, senyumnya tak pernah pudar.

Setelah sarapan, Arlan pamit ke kantor. Ciuman di kening Raya, pelukan erat untuk Langit. Rutinitas manis yang selalu membuat Raya merasa aman dan dicintai. Sepeninggal Arlan, Raya dan Langit menghabiskan pagi dengan bercanda, membaca buku cerita, dan akhirnya pergi ke taman. Langit berlari-lari mengejar kupu-kupu, tawa renyahnya mengisi udara. Raya mengawasinya dari bangku taman, merekam setiap detiknya dalam ingatannya. Ini adalah hidup yang ia impikan. Hidup yang bebas dari bayang-bayang masa lalu, dari rasa sakit yang Damar tinggalkan.

Beberapa minggu kemudian, rutinitas manis itu sedikit terusik. Langit mulai batuk-batuk, awalnya ringan, tapi kemudian semakin sering dan dalam. Raya awalnya mengira hanya flu biasa. Ia memberinya obat batuk dan vitamin, memastikan Langit cukup istirahat. Tapi batuknya tak kunjung mereda, bahkan Langit jadi lebih rewel dan nafsu makannya berkurang. Malam hari, suhu tubuhnya mulai naik.

“Sayang, kamu demam,” Raya berbisik, meletakkan punggung tangannya di dahi Langit yang terasa panas. Langit terbatuk-batuk lagi, wajahnya memerah, matanya berlinang.

Keesokan harinya, Raya memutuskan untuk membawa Langit ke dokter anak. Dokter Dian, seorang dokter senior yang sudah lama menjadi langganan mereka, memeriksa Langit dengan saksama. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang samar. “Batuknya sudah berapa lama, Bu Raya? Ada sesak napas?”

“Sudah hampir dua minggu, Dok. Awalnya biasa, tapi dua hari ini makin parah dan demam. Dia juga jadi agak susah napas kalau batuknya kambuh,” jelas Raya, hatinya mulai dipenuhi cemas.

Dokter Dian mengangguk. “Baik. Saya dengar ada sedikit mengi di paru-parunya. Untuk memastikan, saya sarankan kita lakukan tes darah lengkap, rontgen dada, dan… mungkin juga tes alergi. Kita perlu tahu penyebab pastinya agar penanganannya tepat.”

Raya menelan ludah. Tes darah, rontgen… ini terdengar lebih serius dari sekadar flu biasa. “Baik, Dok. Apapun untuk Langit.”

Arlan langsung datang ke rumah sakit begitu Raya menghubunginya. Wajahnya tegang, namun ia berusaha menenangkan Raya. “Jangan khawatir, Raya. Langit pasti baik-baik saja. Dia anak kuat.”

Ketegangan menyelimuti mereka selama menunggu hasil. Langit, yang biasanya ceria, terbaring lemas di ranjang rumah sakit, sesekali terbatuk pelan. Raya tak henti-hentinya mengusap kepala putranya, membisikkan kata-kata penghiburan. Di sudut ruangan, Arlan berdiri, menatap Langit dengan mata sendu. Bagi Arlan, Langit adalah putranya sendiri, darah dagingnya, meskipun mereka tahu bahwa secara biologis, Langit lahir dari rahim Raya setelah pernikahannya dengan Damar. Namun, sejak Arlan menikahi Raya, ia telah mengangkat Langit sebagai anaknya, mencurahkan seluruh cinta dan kasih sayangnya.

Beberapa hari berlalu. Hasil tes darah dan rontgen menunjukkan adanya infeksi di paru-paru Langit, namun bukan infeksi biasa. Ada indikasi ke arah kondisi yang lebih kompleks, semacam autoimun atau kelainan genetik yang membuat tubuhnya sangat rentan. Dokter Dian menjelaskan bahwa mereka perlu melakukan pemeriksaan lebih lanjut, yang lebih spesifik, untuk mengidentifikasi akar masalahnya.

“Mengingat kondisi Langit yang sangat rentan dan respons tubuhnya terhadap pengobatan yang kurang optimal, saya menyarankan untuk melakukan serangkaian tes genetik dan imunologi yang lebih mendalam,” Dokter Dian menjelaskan, sorot matanya serius. “Termasuk, jika memungkinkan, tes DNA untuk memastikan tidak ada kelainan genetik yang diturunkan, atau hal lain yang mungkin memicu sistem imunnya bereaksi berlebihan.”

Raya merasa dunia seakan berputar. Tes DNA? Untuk apa? Ia dan Arlan tidak memiliki riwayat penyakit genetik serius. Ia menatap Arlan, yang juga tampak bingung, namun mengangguk setuju. “Apapun yang terbaik untuk Langit, Dok,” ucap Arlan.

“Ini prosedur standar untuk kasus seperti ini, Bu Raya, Pak Arlan. Hanya untuk menyingkirkan kemungkinan lain. Kita ingin memastikan kita tidak melewatkan apapun demi kesembuhan Langit,” Dokter Dian meyakinkan.

Maka, Raya dan Arlan setuju. Sampel darah Langit diambil lagi, kali ini untuk tes DNA yang lebih komprehensif. Raya mencoba menepis rasa gelisah yang tiba-tiba muncul. Ini hanya prosedur, hanya untuk memastikan. Langit adalah putranya, putranya dan Arlan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Beberapa hari kemudian, ponsel Raya berdering. Nomor rumah sakit. Jantungnya langsung berdegup kencang. Ia mengangkatnya dengan tangan sedikit gemetar.

“Halo, Dokter Dian?”

“Bu Raya, saya Dokter Dian. Bisakah Anda datang ke rumah sakit sekarang? Ada hal penting yang perlu kita bicarakan mengenai hasil tes Langit.” Suara Dokter Dian terdengar lebih serius dari biasanya, ada nada ragu yang membuat tengkuk Raya merinding.

Raya segera menuju rumah sakit, ditemani Arlan. Sepanjang perjalanan, otaknya dipenuhi skenario terburuk. Apakah penyakit Langit sangat parah? Apakah ada diagnosis yang mengerikan? Ia menggenggam erat tangan Arlan, mencari kekuatan.

Begitu mereka tiba di ruangan Dokter Dian, suasana terasa begitu berat. Dokter Dian duduk di balik mejanya, dengan tumpukan dokumen medis di hadapannya. Ia mengangkat kepalanya, menatap Raya dan Arlan bergantian, sorot matanya penuh simpati, namun juga terlihat jelas ada beban berat di sana.

“Duduklah, Bu Raya, Pak Arlan,” katanya pelan. “Ada kabar yang… cukup mengejutkan mengenai hasil tes Langit.”

Raya merasakan napasnya tertahan. Ia menatap Arlan, yang raut wajahnya juga mengeras. “Ada apa, Dok? Tolong katakan saja.”

Dokter Dian menghela napas panjang, merapikan dokumen di mejanya. Tangannya bergerak pelan, seolah sedang mempersiapkan diri untuk menyampaikan sesuatu yang sangat sulit. Ia menatap lurus ke mata Raya, lalu ke Arlan.

“Bu Raya, Pak Arlan… hasil tes DNA Langit sudah keluar.”

Raya menunggu. Menunggu kalimat berikutnya yang terasa sangat lama datangnya. Ia tahu ini akan mengubah segalanya.

“Dan dari hasil yang kami dapatkan, dengan segala hormat… Langit, bukan anak biologis Anda.”

1
Yaya Mardiana
bingung dengan cerita nya selalu berulang ulang
Bang joe: part mananya mulai kak ?
total 2 replies
Nana Colen
timititi maca nepi ka episode ieu satu kata lier
Nana Colen: asa begitu banyak kata kata atau kalimat yg di ulang ulang dan muter muter jd bukannya semangat bacanya malah jadi puyeng 🙏
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!