Satu tahun penuh kebahagiaan adalah janji yang ditepati oleh pernikahan Anita dan Aidan. Rumah tangga mereka sehangat aroma tiramisu di toko kue milik Anita; manis, lembut, dan sempurna. Terlebih lagi, Anita berhasil merebut hati Kevin, putra tunggal Aidan, menjadikannya ibu sambung yang dicintai.
Namun, dunia mereka runtuh saat Kevin, 5 tahun, tewas seketika setelah menyeberang jalan.
Musibah itu merenggut segalanya.
Aidan, yang hancur karena kehilangan sisa peninggalan dari mendiang istri pertamanya, menunjuk Anita sebagai target kebencian. Suami yang dulu mencintai kini menjadi pelaku kekerasan. Pukulan fisik dan mental ia terima hampir setiap hari, tetapi luka yang paling dalam adalah ketika Anita harus berpura-pura baik-baik saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bubur, Tremor, dan Rasa yang Terkubur
Pukul 13.00, sinar matahari siang yang lembut masuk melalui celah tirai, menciptakan garis cahaya tipis di lantai kamar. Anita terbangun dari tidurnya. Kepala Anita terasa berat, dan sisa-sisa infeksi masih meninggalkan kabut di otaknya.
Pandangannya kabur. Selama beberapa detik yang mencekam, Anita melihat bayangan hitam besar berkelebat di sudut ruangan. Bayangan itu mengambil bentuk yang dikenal, menyerupai siluet yang selalu ia takuti, tetapi dalam kondisi yang lebih mengerikan, mendekat dan berbisik tentang utang dan kegagalan.
Halusinasi itu begitu nyata hingga keringat dingin kembali membasahi tengkuknya. Ia berusaha menjerit, tetapi kawat di rahangnya dan kelemahannya hanya menghasilkan erangan serak dan samar.
"Aku harus bangun. Aku tidak boleh mati. Utang...." batin Anita
Anita memejamkan mata erat-erat, memaksa dirinya kembali ke realitas. Ketika ia membukanya lagi, bayangan itu telah hilang. Yang tersisa hanyalah tubuhnya yang lemah dan rasa lapar yang menyakitkan.
Beberapa saat kemudian, pintu kamar terbuka. Bukan suster, bukan ART, melainkan Aidan yang masuk.
Aidan terlihat berbeda. Ia sudah berganti pakaian, kembali ke setelan bisnisnya, tetapi ada sesuatu yang canggung dalam gerakannya. Di tangannya, ia memegang mangkuk bubur hangat dan segelas air.
Aidan mendatangi ranjang dengan langkah tegas. Alasan rasional Aidan membawa makanan ini adalah untuk memastikan Anita makan makanan yang cepat diserap dan berkualitas (mempercepat pemulihan aset). Alasan yang lebih dalam adalah dorongan aneh yang muncul, kebutuhan untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Anita baik-baik saja, dan untuk menguji batas kendalinya.
"Makan," kata Aidan, meletakkan bubur itu di meja kecil di samping ranjang. Nadanya dingin, tetapi ada sedikit kehati-hatian yang tidak biasa. "Kau harus makan, agar Sherly tidak meneleponku lagi dengan ancaman omong kosongnya."
Anita hanya mengangguk lemah, rasa takutnya kini bercampur dengan kejutan. Sudah bertahun-tahun Aidan tidak pernah melayaninya, apalagi membawakan makanan ke kamar.
Anita meraih mangkuk bubur itu. Ia harus menunjukkan pada Aidan bahwa ia mampu mengurus dirinya sendiri. Ia harus menunjukkan bahwa ia sedang dalam proses pemulihan agar Aidan tidak mencari alasan baru untuk menindasnya.
Namun, saat ia berusaha mengangkat sendok, tubuhnya memberontak.
Tangan Anita tidak bisa diam. Tremor (getaran) itu luar biasa, akibat dari kelelahan sistemik dan sisa-sisa efek sepsis. Sendok itu bergetar hebat di tangannya. Ia mencoba mengerahkan seluruh kekuatannya, tetapi sendok itu hanya berayun liar, menjatuhkan bubur di selimutnya.
Anita memejamkan mata karena frustrasi dan malu. Ia benci menunjukkan kelemahan di hadapan Aidan, terutama kelemahan fisik yang tidak bisa ia tutupi.
Aidan melihatnya.
Ia melihat perjuangan itu. Ia melihat sendok yang berayun, bahu Anita yang bergetar keras, dan tatapan mata Anita yang kini menunjukkan keputusasaan total. Itu bukan kelemahan emosional yang biasa ia benci; itu adalah kerapuhan fisik yang tak terbantahkan.
Di dalam hati Aidan, sesuatu yang sudah lama terkubur bersama peti mati anaknya, Kevin, tiba-tiba berdetak. Itu adalah rasa iba yang murni. Rasa iba yang ia rasakan dulu, bertahun-tahun yang lalu, saat Anita pertama kali sakit atau membutuhkan perlindungan darinya. Perasaan yang ia kubur bersama kebencian, karena ia menyalahkan Anita atas segala hal.
Aidan bertindak sebelum ia sempat memikirkannya. Itu adalah reaksi naluriah, sebuah refleks dari masa lalu yang terbuang.
Dengan gerakan cepat yang mengejutkan, Aidan meraih mangkuk bubur itu dari tangan Anita. Ia merebut sendok, dan kini berdiri tegak di samping ranjang, menatap bubur itu dengan wajah tegang.
"Diam. Jangan membuang-buang makanan," perintah Aidan, tetapi nadanya jauh lebih lembut daripada kata-katanya. Itu adalah suara seorang suami yang lelah, bukan suara seorang tuan.
Aidan menyendok sedikit bubur, meniupnya, lalu mengangkat sendok itu ke bibir Anita.
Anita terkejut, matanya terbelalak. Seluruh tubuhnya menegang. Ia melihat wajah Aidan yang kini dekat dengannya, mata Aidan terpaku pada bubur, menghindari kontak mata dengannya. Ini adalah tindakan kontradiktif yang paling intim dan mengejutkan yang pernah ia alami sejak Kevin meninggal.
Aidan menyentuh bibir Anita dengan sendok. Anita membuka mulutnya, makan suapan pertama. Bubur itu terasa lembut dan hangat.
Aidan terus menyuapinya, suap demi suap. Gerakannya canggung, kaku, tetapi ia sabar. Di antara setiap suapan, ia harus menahan napas, menahan rasa aneh yang membanjiri dirinya. Setiap suapan itu adalah pengkhianatan terhadap misi balas dendamnya.
Ketika mangkuk itu hampir kosong, Aidan meletakkannya kembali.
"Habis," kata Aidan singkat, kembali pada nada dinginnya, segera mundur dari ranjang seolah-olah Anita adalah api yang membakar.
Ia mengambil mangkuk itu. Wajahnya kembali mengeras, menutupi jejak kelemahan emosional yang baru saja ia tunjukkan.
"Sial! Apa yang barusan aku lakukan?! Aku bukan pelayan! Ini bukan tugas Aku!." Aidan panik dalam hati. Ia baru saja menunjukkan sisi rapuh yang ia sumpah akan ia bunuh setelah Kevin meninggal.
Aidan menoleh ke Anita yang kini menatapnya dengan pandangan penuh tanda tanya.
"Itu agar kamu cepat sembuh," Aidan berbohong, memaksakan rasionalisasi. "Aku tidak mau kamu membuang-buang waktu dengan tremor bodoh itu. Aku butuh kamu cepat pulih agar toko itu bisa kembali normal."
Ia memunggungi Anita, cepat-cepat keluar dari kamar, membawa mangkuk kosong itu bersamanya.
Meskipun Aidan berhasil menyamarkan tindakannya sebagai kalkulasi bisnis, di hatinya, rasa iba itu berdenyut kuat, menantang kebenciannya, mengusik fondasi misinya. Ia baru saja melayani musuh terbesarnya, dan itu terasa lebih menakutkan daripada kerugian 60 juta.