Arnests (32) dan Vanesa (29) adalah pasangan muda yang tinggal di sebuah klaster perumahan di Jakarta Selatan. Mereka dikenal sebagai pasangan yang solid dan adem ayem. Arnests, seorang manajer proyek dengan karir yang mapan, dan Vanesa, seorang desainer freelance yang ceria, sudah terbiasa dengan rutinitas manis pernikahan mereka: kopi pagi bersama, weekend di mall, dan obrolan santai di sofa. Rumah mereka adalah zona damai, tempat Arnests selalu pulang dengan senyum setelah penatnya macet Jakarta.
Kedamaian itu mulai bergetar seiring kedatangan si tetangga baru (25), tetangga baru mereka di rumah tepat sebelah. Vika adalah seorang wanita muda yang mandiri, enerjik, dan punya aura santai khas anak Jakarta. Awalnya, Vanesa yang paling cepat akrab. Vika sering mampir untuk meminjam bumbu dapur atau sekadar curhat ringan tentang susahnya mencari tukang di Jakarta. Vanesa melihat Vika sebagai partner ngobrol yang seru.
Namun, perlahan Vanesa mulai menyadari ada perubahan halus pada sua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Janji Abadi di Bawah Salib
Jakarta, 2012
Pagi Penuh Harap
Di salah satu suite hotel bintang lima, Vanesa (18) duduk di depan cermin, dikelilingi keramaian. Namun, di matanya, hanya ada ketenangan luar biasa. Ia mengenakan gaun putih tulang yang memeluk tubuhnya dengan elegan. Tangan make up artist (MUA) dengan cekatan menyempurnakan mahakarya di wajahnya: mata smoky yang memancarkan ketegasan, bibir merah bold yang siap mengucapkan janji suci. Vanesa dibuat secantik mungkin—sosok pengantin yang sempurna.
“Gila, Vanesa, lo beneran mirip boneka porselen. Cantik banget!” puji salah satu sepupunya dengan logat Jakarta yang kental.
Vanesa hanya tersenyum. Di dadanya, detak jantung Arnests-lah yang ia dengar, meski mereka terpisah jarak.
Upacara Sakramen di Gereja
Pernikahan kudus mereka dilangsungkan di Gereja Santo Matius yang arsitekturnya klasik. Di dalam gereja, Arnests (21) berdiri tegap di depan altar, ditemani para saksi. Jantungnya berdebar kencang. Ia tahu, setelah penantian panjang, hari ini ia akan membawa Vanesa menjadi bagian dari tubuh Kristus bersamanya.
Musik orkestra mulai mengalun lembut. Pintu gereja dibuka, dan semua kepala menoleh. Di sana, Vanesa berjalan, perlahan namun pasti, ditemani ayahnya. Cahaya pagi yang masuk dari jendela kaca patri membingkai siluetnya, membuatnya tampak bersinar.
Arnests melangkah maju sedikit, matanya tak lepas dari Vanesa. Di sana, di bawah salib besar, mereka bertemu.
Romo Albertus, yang memimpin pemberkatan, memulai Misa dengan khidmat. Saat tiba di ritual utama, kedua mempelai berdiri berhadapan. Romo memegang tangan mereka yang saling menggenggam.
“Saudara Arnests dan Saudari Vanesa,” Romo bersuara tenang. “Di hadapan Tuhan dan Gereja-Nya, sekarang saatnya kalian menyatakan janji abadi kalian.”
Arnests menatap Vanesa. “Saya, Arnests, mengambil engkau, Vanesa, menjadi istri saya, dan saya berjanji untuk setia kepadamu, dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit, mencintai dan menghormatimu, sepanjang hidup saya. Demikianlah janji saya.” Suaranya mantap, penuh keyakinan.
Vanesa mengulang janji yang sama, suaranya sedikit bergetar karena haru. Setelah tukar cincin disaksikan seluruh keluarga dan sahabat, Romo Albertus tersenyum.
“Atas kuasa yang diberikan oleh Gereja Katolik, saya menyatakan bahwa pernikahan kalian sah dan terberkati di hadapan Tuhan.”
Tepuk tangan pecah.
Ciuman dan Harapan
Arnests mengangkat veil Vanesa. Matanya berkaca-kaca, memancarkan kebahagiaan murni. Ia tidak berbisik, ia langsung menyatukan bibir mereka dalam ciuman lembut yang penuh janji. Ciuman pertama sebagai suami istri. Sederhana, namun mengandung seluruh harapan masa depan mereka.
Saat mereka berjalan keluar dari Gereja, ratusan kelopak bunga mawar merah dan putih disiramkan ke atas mereka, seolah memandikan mereka dalam keberkatan.
Resepsi di Taman
Acara berlanjut ke resepsi sore di taman hotel. Di bawah tenda putih dengan dekorasi lampu gantung kristal, Arnests dan Vanesa berdiri di pelaminan yang dikelilingi karangan bunga.
Keluarga dan kerabat—mulai dari teman kerja kantor Arnests hingga geng hangout Vanesa—berdatangan silih berganti. Tawa riang, jabat tangan hangat, dan pelukan penuh doa memenuhi udara. Semua mata memandang pasangan yang tampak serasi itu. Arnests terlihat gagah dan Vanesa tampak anggun; mereka adalah definisi pasangan impian.
Mereka menari Waltz perlahan di bawah bintang, dan di tengah gemerlap lampu, Arnests memeluk erat istrinya. "Mulai sekarang, atap kita cuma satu, ya," bisik Arnests, penuh janji. "Cuma ada lo, gue, dan janji kita."
Vanesa mengangguk, menyandarkan kepalanya di dada suaminya.
Saat itu, di tahun 2012, mereka yakin janji mereka tak akan pernah tergoyahkan oleh siapa pun atau apa pun. Mereka belum tahu, bahwa empat tahun ke depan, satu atap tambahan akan muncul di sebelah mereka, membawa ujian yang tak pernah mereka bayangkan.