Dijebak oleh sahabat dan atasannya sendiri, Adelia harus rela kehilangan mahkotanya dan terpaksa menerima dinikahi oleh seorang pria pengganti saat ia hamil. Hidup yang ia pikir akan suram dengan masa depan kacau, nyatanya berubah. Sepakat untuk membalas pengkhianatan yang dia terima. Ternyata sang suami adalah ….
===========
“Menikah denganku, kuberikan dunia dan bungkam orang yang sudah merendahkan kita."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15 ~ Putraku, Penerusku
Bab 15
Dengan rasa penasaran luar biasa serta emosi dan kebencian, perlahan Abi menoleh. Rupanya Murni Sari diminta menunggu oleh Kemal karena sekretaris Indra sedang menghubungi ke dalam.
Kemal sempat beradu tatap dengan Abi yang memandang ke arahnya lalu mengikuti arah gerak Murni. Pria itu berdehem membuat Abi menoleh lalu mengedikan bahu karena Kemal menanyakan ada apa dengan tatapannya.
Srek.
Menarik kursi di pantry lalu mendudukinya, Abi masih memikirkan wanita tadi. Apa selama ini mereka masih berhubungan? Wanita itu dengan papinya.
“Hah.”
Sambil mengusap wajah, Abi menghela nafas kasar. Berusaha untuk meredakan emosinya. Semua sudah sekian tahun berlalu, seharusnya dia tidak perlu mendendam. Terasa getaran ponsel, ternyata pesan dari Kemal agar membuat minum untuk tamu dan air hangat untuk Indra.
Sedangkan di ruang kerja Indra, pria itu menarik nafas dan bersandar mendapati kehadiran Murni Sari. Meski ingin menolak kedatangan wanita itu, tapi ia harus hadapi.
Terdengar ketukan pintu.
“Masuk!”
Pintu dibuka oleh Kemal yang langsung bergeser mempersilahkan tamunya masuk.
“Selamat siang, Indra Daswira. Apa kabarmu?”
Perlahan pintu ruang ditutup kembali oleh Kemal dan Murni berjalan menghampiri. Indra pun beranjak dan menunjuk sofa.
“Selamat siang. Aku baik,” sahut Indra sambil membetulkan letak kacamatanya.
Murni tersenyum saat ia dan Indra berdiri berhadapan.
“Sudah lama sekali, sejak kita berpisah.”
“Hmm.” Indra mengarahkan tangannya mempersilahkan untuk tamunya itu duduk setelah ia menempati sofa tunggal.
“Akhirnya, kamu berada di kursi ini. Presdir,” ucap Murni masih dengan wajah tersenyum memandang Indra yang menjawab dengan anggukan. “Sampai kapan?”
Indra pun melepas kacamatanya dan meletakan di atas meja.
“Sampai penerusku siap.”
“Kita ini sudah berumur, sebaiknya kamu utamakan kesehatan. Berlibur dan keliling dunia untuk menikmati hidup. Apa yang kamu kejar sekarang, semua sudah kamu miliki,” seru Murni.
“Belum, perusahaan ini masih bergantung padaku,” jelas Indra.
Murni kali ini terkekeh, entah apa yang membuatnya tertawa pikir Indra.
“Tinggal tunjuk orang yang kamu percaya. Kalau keluargamu tidak mendukung ya sudah pilih saja orang luar. Bawahanmu pasti banyak yang kompeten.”
Indra menarik nafasnya.
“Jauh-jauh kemari, tentu saja kamu bukan hanya mampir,” seru Indra mengalihkan pembicaraan. Bersamaan dengan pintu ruangan terbuka dan masuklah seseorang.
Indra memicingkan matanya saat mendapati OB yang membawa nampan, ternyata Abimanyu. Kenapa pula putranya itu yang mengantarkan minum. Yang dia tahu Abi bukan bertugas untuk lantai dua belas.
“Kamu tahu putraku bekerja di sini?” tanya Murni dan dijawab Indra dengan dehaman karena pandangannya masih tertuju pada Abi yang meletakan segelas air untuknya. “Berikan dia rekomendasi. Aku yakin putraku memiliki kompetensi dan berbakat. Putraku, Zahir Renaldi.”
Tangan Abi yang mengangkat cangkir untuk tamu Indra sempat terdiam sesaat lalu meletakan tepat di depan Murni. Rupanya hal tersebut menjadi perhatian Indra. Kenapa bisa kebetulan Abi yang mengantar minum saat Murni datang dan mendengar percakapan itu. Padahal ia sedang berharap agar Abi mau kembali padanya dan meneruskan apa yang dia punya. Semoga saja, kehadiran Murni tidak membuka luka lama hati sang putra.
“Silahkan diminum,” ucap Abi pada Murni. Sempat melihat sekilas dan dalam hati ia bertanya apa yang dilihat dari wanita itu sampai Indra tergila-gila sedangkan maminya lebih cantik. “Maaf pak Indra, sudah waktunya anda minum obat.”
Indra tercengang dengan ucapan Abi barusan. Putranya itu mengingatkan ia untuk minum obat.
“Ah, iya.” Indra lalu beranjak menuju meja kerjanya. Abi mengikuti dengan membawakan gelas air yang tadi dia bawa. Biasanya ia akan minum setelah Kemal mengingatkan, bahkan sering berkali-kali. Kali ini dia semangat karena diingatkan oleh putranya.
Membuka laci dan mengambil beberapa botol dan mengeluarkan beberapa butir obat dari sana.
“Terima kasih,” ucap Indra lirih saat menerima gelas.
Abi mengangguk lalu berbalik meninggalkan ruangan itu. Indra masih terpaku memandang punggung tegap yang perlahan menjauh.
“Indra,” panggil Murni menyadarkan lamunan membuat pria itu menoleh. “Sudah selesai?”
“Iya.”
Indra pun kembali ke sofa. “Bukan tidak sopan, tapi aku sedang sibuk.”
“Dukung putraku dan berikan rekomendasi untuknya. Anggap saja balas budi atas dedikasi aku di masa lalu,” tutur Murni dan Indra masih menyimak. “Aku yakin dia layak, mewarisi darah pebisnis dari ayahnya. Kamu bisa anggap dia sebagai putramu sendiri mengingat hubungan kita dulu.”
Indra masih menyimak apa yang disampaikan Murni. Memang mereka punya urusan di masa lalu dan bukan sebuah prestasi bahkan ia merasa menyesal dan malu. Namun, Murni seakan membanggakan kisah mereka. Kisah yang tidak masuk logika dan melanggar norma.
“Aku dengar kamu butuh pewaris, jadikan Zahir salah satunya.”
“Murni, Zahir akan mendapatkan posisi itu kalau memang dia mampu dan layak. Tidak usah bahas masa lalu, bukan hal yang patut kita banggakan.”
“Kamu … abaikan hubungan kita dulu? Semudah itu.”
“Sudah lama usai. Kita sudah jalani hidup masing-masing. Apa yang harus kita banggakan dari perselingkuhan?” cecar Indra.
Pernyataan pria itu membuat Murni kesal, ia mengeraskan kepalan tangan yang berada di pangkuan menahan geram. Berharap disambut hangat oleh Indra yang kala itu sangat memujanya, tapi nyatanya sangat dingin.
“Cinta tak pernah salah, kenapa harus malu kalau kita saling mencinta.”
“Yang kita rasakan bukan cinta, tapi nafsu,” cetus Indra. “Maaf, aku sibuk. Urusan Zahir biar dia lewati prosesnya. Aku setuju dia memang layak dan membanggakan. Kita lihat saja nanti,” tutur Indra lalu berdiri.
Murni pun ikut berdiri, raut wajahnya kecewa tidak berbinar dan percaya diri seperti saat datang tadi.
“Aku punya seorang putra, ahli warisku dan saat ini aku sedang membujuknya untuk pulang. Tidak mungkin aku gantikan dia dengan putra orang lain. Dia darah dagingku lahir karena cinta dan hubungan kita membuat dia dan ibunya kecewa denganku. Tidak mungkin aku mengulangi kesalahan yang sama,” tutur Indra. “Selamat siang dan sehat selalu untukmu.”
Mirna menghela nafas, menatap uluran tangan Indra. Jelas pria itu mengusirnya. Ia balas jabat tangan itu.
“Semoga kita bisa bertemu lagi dan kamu berubah pikiran dengan hubungan kita. Kesuksesan kamu tiada guna kalau akhirnya kesepian di usia senja.” Murni melepas jabat tangan Indra lalu mendekat dan mencium pipi pria itu.
Tidak bisa menghindar dan terkejut dengan gerakan Murni. Mana mungkin Indra mendorongnya.
“Tidak, aku tidak akan kesepian. Putraku sayang dan peduli denganku.”
siap siap aja kalian berdua di tendang dari kantor ini...
hebat kamu Mona, totally teman lucknut
gak punya harga diri dan kehormatan kamu di depan anak mu
kalo perlu zahir nya ngk punya apa " dan tinggal di kontrakan biar kapok
sedia payung sebelum hujan