Hari yang seharusnya menjadi momen terindah bagi Hanum berubah menjadi mimpi buruk. Tepat menjelang persalinan, ia memergoki perselingkuhan suaminya. Pertengkaran berujung tragedi, bayinya tak terselamatkan, dan Hanum diceraikan dengan kejam. Dalam luka yang dalam, Hanum diminta menjadi ibu susu bagi bayi seorang duda, Abraham Biantara yaitu pria matang yang baru kehilangan istri saat melahirkan. Dua jiwa yang sama-sama terluka dipertemukan oleh takdir dan tangis seorang bayi. Bahkan, keduanya dipaksa menikah demi seorang bayi.
Mampukah Hanum menemukan kembali arti hidup dan cinta di balik peran barunya sebagai ibu susu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Bayangan?
Langkah Abraham sedikit gontai ketika memasuki kantornya. Bayangan wajah yang mirip Alma terus mengganggu pikirannya. Perasaan campur aduk antara rindu dan ketakutan membuat fokusnya buyar. Begitu sampai di ruangannya, Julio sudah menunggunya dengan setumpuk berkas untuk ditandatangani.
Saat Julio meletakkan dokumen-dokumen itu di meja, Abraham tiba-tiba menahan tangannya.
“Julio…” ucap Abraham dengan suara rendah, matanya menatap lurus ke jendela, seolah sedang membayangkan sesuatu.
“Aku ingin kau lakukan sesuatu untukku.”
Julio menegakkan tubuhnya.
“Apa itu, Tuan?”
“Mall tempat kita bertemu investor kemarin, di restoran itu … aku ingin kau minta rekaman CCTV mereka. Aku dengar ada seorang karyawan yang baru saja dipecat, perempuan … wajahnya mirip sekali dengan…” suaranya tercekat, Abraham menunduk, “dengan Alma.”
Julio mengerutkan dahi, tampak bingung. “Maksud Tuan, Nyonya Alma??”
Abraham menatapnya tajam. “Ya, cari tahu siapa dia. Aku ingin tahu alamatnya, dan semua tentang dia.”
Julio hanya bisa mengangguk. “Baik, Tuan. Saya akan segera mengurusnya.”
Tanpa mereka sadari, di balik pintu ruangan yang sedikit terbuka, Rania berdiri diam sambil menyunggingkan senyum penuh arti. Matanya berkilat, wajahnya memancarkan kepuasan yang aneh.
“Bagus…” gumamnya pelan. “Kalau benar Alma itu kembali, Abraham tidak akan pernah bisa sepenuhnya bersama Hanum. Aku akan pastikan dia selalu berada di antara kebingungan dan luka lamanya.”
Rania menutup pintu perlahan, melangkah pergi dengan langkah ringan. Dalam hatinya, permainan baru saja dimulai.
Sore itu langit Jakarta dipenuhi warna oranye keemasan, mentari yang perlahan turun menyisakan cahaya hangat yang samar. Jalanan macet, klakson bersahut-sahutan, namun di balik kaca mobil hitam yang melaju dengan kecepatan konstan, Abraham duduk bersandar dengan pandangan kosong.
Di kursi kemudi, Julio beberapa kali melirik ke arah tuannya lewat spion tengah. Dari raut wajahnya jelas sekali Abraham sedang dilanda pergolakan batin. Sejak pagi tadi, sejak menyuruh Julio mencari alamat perempuan misterius yang mirip almarhumah istrinya, Alma, hati Abraham tak pernah benar-benar tenang.
“Tuan, alamatnya sudah jelas. Saya sudah dapat informasi dari satpam mall dan juga rekaman CCTV yang berhasil saya salin. Nama wanita itu Raline … atau setidaknya itu yang tertera di kartu identitasnya. Dia tinggal di kawasan padat di pinggiran kota,” jelas Julio hati-hati, seolah takut kata-katanya akan memicu emosi Abraham.
Abraham tidak segera menanggapi. Kedua tangannya terkepal di pangkuan, napasnya dalam. Hanya suara AC mobil yang terdengar. Sesekali matanya terpejam, seakan mencoba menguatkan hati sebelum benar-benar melihat kenyataan.
“Bawa aku ke sana, Julio,” katanya akhirnya, suara dalamnya serak namun tegas.
Julio mengangguk, membelokkan mobil ke jalur alternatif untuk menghindari kemacetan. Ketika mobil berhenti di sebuah gang kecil yang kumuh, Abraham menatap keluar. Deretan rumah kontrakan berdiri berdesakan, cat dindingnya pudar, beberapa genteng bahkan terlihat hampir runtuh. Anak-anak kecil berlarian di jalan sempit, pedagang asongan menjajakan dagangan mereka dengan suara lantang.
Namun, perhatian Abraham segera terfokus pada kerumunan orang di ujung jalan. Beberapa pria berwajah garang sedang berdiri mengelilingi seorang wanita. Dari kejauhan, suara pertengkaran itu terdengar jelas.
“Aku janji … ku mohon beri aku waktu seminggu lagi! Aku pasti akan melunasinya! Tolong, jangan sekarang!” teriak wanita itu dengan suara serak, penuh keputusasaan.
Abraham menegang, dari tempat duduknya ia hanya bisa melihat sekilas siluet wanita itu. Rambut panjangnya tergerai berantakan, tubuhnya bergetar, wajahnya menunduk memohon. Namun garis rahang itu, sorot mata yang sesekali menatap dengan berani meski ketakutan, begitu familiar.
Sementara itu, salah seorang dari preman itu mendengus kasar.
“Omong kosong! Kau sudah janji minggu lalu, tapi sampai sekarang tidak ada uang! Jangan main-main dengan kami, Raline!”
“Tolong, aku mohon! Aku hanya butuh waktu…” suara wanita itu semakin tercekik, air matanya jatuh.
Pria berbadan kekar itu maju selangkah, mengangkat tangannya tinggi-tinggi, siap menampar wajah wanita malang itu. Orang-orang di sekitar hanya menonton, tak satu pun berani melerai. Abraham sontak menegakkan tubuh.
“Julio!”
Tanpa menunggu instruksi lebih lanjut, Julio langsung keluar dari mobil, pintu tertutup keras di belakangnya. Dia melangkah cepat, tubuh tingginya tegap menghadang para preman itu.
“Berhenti!” suaranya menggelegar.
Beberapa orang menoleh, terkejut dengan kehadiran pria asing yang tiba-tiba muncul. Preman yang hendak menampar itu menghentikan gerakannya, menatap Julio dengan wajah murka.
“Kau siapa?” bentaknya.
Julio tidak gentar, “Kalau kalian ingin masalah, hadapi aku. Tapi kalau hanya ingin uang, aku bisa bicarakan dengan cara baik-baik.”
Wanita itu menoleh, wajahnya pucat, mata basah. Ada seberkas keterkejutan di matanya melihat Julio berdiri melindunginya. Namun belum sempat ia berkata apa-apa, preman lain sudah melangkah maju.
“Jangan ikut campur urusan orang, Bung! Ini bukan masalahmu!”
Julio menatap dingin. “Sayangnya, sekarang ini sudah jadi urusanku.”
Pertengkaran semakin memanas. Satu per satu preman mendekat, mencoba mengintimidasi Julio. Namun tubuh tegap Julio yang berdiri kokoh membuat mereka sedikit ragu. Dari dalam mobil, Abraham menyaksikan semua itu. Kedua tangannya mencengkeram lutut, jantungnya berdegup keras. Matanya tak lepas dari wanita yang tengah berdiri gemetar di belakang Julio. Ada sesuatu yang menjerat hatinya, memanggil, menampar kesadarannya.
Dia ingin keluar, ingin berlari mendekap wanita itu dan memastikan, apakah benar dia Alma atau hanya bayangan lain yang akan menghantui pikirannya. Tapi kakinya seakan terkunci, ada ketakutan aneh dalam dirinya.
Suara bentakan preman membuyarkan lamunannya.
“Menyingkir! Atau kau yang akan kami buat babak belur!”
Julio merendahkan bahunya, siap jika pertarungan benar-benar tak terhindarkan. “Kalau berani, coba saja.”
Suasana menegang, orang-orang yang menonton menahan napas. Wanita itu semakin ketakutan, namun tatapannya sempat beralih ke arah mobil hitam yang terparkir di belakang. Kaca mobil gelap, tapi entah mengapa ia merasa ada seseorang di dalam sana yang sedang memperhatikannya.
Seketika, salah satu preman melompat maju, mendorong Julio dengan kasar. Julio menangkis, tubuhnya bergeser namun segera kembali tegak. Pertarungan kecil pun pecah, suara teriakan menggema di sepanjang gang sempit itu.
Abraham tak tahan lagi. Ia membuka pintu mobil perlahan, kakinya melangkah keluar. Cahaya sore menyinari wajahnya yang tegang, matanya lurus pada sosok wanita itu.
Wanita itu, Raline atau Alma, siapa pun dia mendongak. Pandangan mereka hampir bersitatap. Namun, sebelum benar-benar bertemu, Julio menepis salah satu preman dengan keras, tubuh mereka terhempas ke arah wanita itu. Julio segera melindunginya, menarik wanita itu ke belakang. Kekacauan semakin menjadi-jadi.
Abraham berhenti di samping mobil, napasnya memburu. Tangannya mengepal, langkahnya hampir terayun. Dan di detik itu wanita itu mendongak, rambutnya tersibak oleh angin sore, wajahnya nyaris terlihat jelas.
Abraham membeku, dadanya serasa berhenti berdetak.
“Alma…” suaranya hanya berupa bisikan, nyaris tak terdengar, namun bibirnya jelas mengucapkan nama itu.
Btw terimakasih author bacaan yng bagus 👏👏👏❤❤❤