Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.
Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.
Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penjaga Altar Turun
Berikut Bab 14 dalam 2000 kata, memakai gaya penulisanmu: mengalir, gelap, emosional, intens, dan penuh karakter kuat serta interaksi yang hidup.
---
BAB 14 — PENJAGA ALTAR TURUN
Suara lolongan itu belum juga hilang. Seperti menyelinap dari sela-sela batang pohon, merayap turun dari lereng Gunung Gede, masuk ke celah jendela, menggigit kulit tengkuk, dan menyusup langsung ke dalam dada. Dingin. Basah. Tak terlihat, tapi terasa.
Sasmita langsung bergerak.
Dengan langkah cepat dan wajah tegas, ia keluar dari rumah Kang Ujang menuju mobil Avanza yang terparkir di dekat jalan desa. Angin menerpa wajahnya, membawa aroma tanah lembab dan sesuatu yang lebih busuk dari bangkai: bau kegelapan yang bangkit terlalu dini.
Kenan mengikuti di belakang, tanpa suara, tapi dengan sorot mata yang menyala. Bukan karena keberanian. Tapi karena... ia sudah tidak punya pilihan lain.
Dari bagasi mobil, Sasmita membuka kotak besi panjang yang diselimuti kain mori dan lapisan rajah pelindung.
Klik.
Kunci dibuka. Tutupnya terangkat. Di dalamnya:
Shotgun kembar dengan ukiran ayat Latin dan aksara Sunda kuno.
MP5 pendek, dilapisi ramuan cemara dan darah ular hitam.
Keris Larang, tersimpan dalam sarung kayu jati yang dikelilingi kawat perak dan segel batik keluarga Wibisana.
Tanpa banyak basa-basi, Sasmita mengaitkan shotgun ke punggungnya dengan harness silang, tangan kanannya memegang MP5, dan keris Larang ia selipkan ke pinggang kiri, siap dicabut kapan saja.
Kang Ujang, yang baru keluar dari rumah, membeku di tempat saat melihat keris itu. Matanya melebar. Nafasnya tercekat.
“...Itu...” katanya pelan. “Itu keris Larang...”
Sasmita menoleh, matanya tajam seperti anak panah. “Iya. Dulu keris ini pernah membakar seekor siluman kerbau di sungai Cimanuk. Saya warisi dari Ayah saya.”
Kang Ujang menelan ludah, langkahnya goyah.
“Jangan bilang... Ayah kamu... Wibisana tua dari Garut itu... yang nyegel Lelembut Bungbulang tahun 1982?”
Sasmita menyeringai. “Betul, Pak. Saya anak dari pemburu siluman terakhir di tanah Pasundan. Nama saya Sasmita Wibisana. Tapi di dunia malam... mereka panggil saya Rengganis Larang.”
Kang Ujang seperti melihat hantu masa lalu.
“Ya Allah... aku pikir keturunan Wibisana sudah habis... Kukira mereka sudah dilenyapkan sama Manglayang setelah kejadian 1999.”
Sasmita meludah ke tanah. “Manglayang bisa coba, tapi dia cuma ngasih saya alasan buat hidup.”
Kenan hanya memandangi mereka, setengah tak paham, setengah kagum. Tapi waktu tidak memberi mereka banyak ruang untuk bernostalgia.
Dari arah gunung... langit mulai berpendar merah.
Bukan merah senja. Tapi merah darah. Seperti daging terbuka.
Lalu, suara itu datang lagi. Tapi kini lebih dekat. Lebih berat. Seperti derap kaki... tapi terbuat dari tulang dan kulit kering.
Kang Ujang berbisik, “Mereka datang... Penjaga altar...”
Dan benar saja.
Dari arah hutan, kabut tebal seperti muntahan lambung bumi mulai menyelimuti desa. Pepohonan menunduk. Udara jadi pengap. Dan dari balik kabut itu... satu per satu sosok muncul.
Makhluk-makhluk kurus, tinggi, berbulu abu-abu. Tidak punya wajah. Hanya rongga kosong seperti topeng yang dicoreng darah. Tubuh mereka ditutupi pakaian para pendeta tua, tapi sobek dan membusuk. Di tangan mereka tergenggam belati tulang yang memanjang seperti cakar.
Satu... dua... lima... sepuluh...
Mereka turun perlahan, seperti ritual. Tidak terburu-buru. Seperti tahu, mangsanya tak punya tempat lari.
Warga desa mulai keluar dari rumah. Mengintip. Beberapa anak menangis. Ibu-ibu memeluk anaknya erat-erat. Ada yang bersimpuh dan mulai membaca doa.
Salah satu warga berteriak, “Mereka... mereka kembali! Kayak waktu tahun sembilan sembilan!”
Sasmita meludah lagi. “Sial. Berarti mereka nggak cuma jaga segel. Mereka juga jagain... jalan pulang.”
Kang Ujang menatap ke arah para siluman altar yang makin dekat. “Mereka itu bukan makhluk biasa, Neng. Itu... ‘Para Sepuluh Penjaga Bayang’. Mereka yang dulu mengawal Manglayang sebelum disegel. Mereka nggak bisa dibunuh... kecuali api murni... atau darah suci.”
Sasmita nyengir. “Beruntung saya bawa keduanya.”
Klik. MP5-nya dikokang. Ia melangkah maju.
Kenan menahan lengan Sasmita. “Tunggu. Kita nggak bisa lawan semuanya... kita harus lindungi warga.”
Sasmita menatap anak itu, lalu mengangguk. “Betul juga, bocah. Tapi kita juga nggak bisa biarin makhluk itu turun lebih jauh.”
Ia menoleh pada Kang Ujang. “Bawa semua warga masuk ke balai desa. Kunci. Segel. Gambar simbol pelindung pakai darah ayam jantan dan arang. Saya kasih waktu sepuluh menit. Setelah itu, saya dan anak ini naik ke atas.”
Kang Ujang segera bergerak. “Ayo! Semua ikut saya! Jangan tanya-tanya, ikut saja! Ini tentang hidup dan mati!”
Sasmita berbalik lagi. Penjaga altar kini hanya lima puluh meter dari batas desa. Mereka masih melangkah perlahan, tapi aura kematian sudah seperti asap, mengepul, dan memabukkan.
Sasmita mencabut keris Larang.
Logamnya bergetar. Api kecil muncul di ujungnya. Tak bersuara, tapi... hidup.
MP5 diturunkan. Shotgun kembar di punggung dikaitkan di tangan.
“Kalau memang kalian penjaga altar... gue penjaga neraka. Sini lo semua.”
Dan dalam satu hentakan kaki ke tanah, ia meloncat maju, keris Larang berputar memanjang seperti lidah api. Shotgun meletus.
Dua siluman altar langsung terpental. Tubuh mereka bolong, tapi masih bergerak. Namun saat keris Larang menusuk dada satu dari mereka... makhluk itu terbakar. Mengerang dalam suara yang seperti bayi dan kucing sekarat dijadikan satu.
Kenan dari belakang melindungi warga yang mulai berlarian menuju balai desa. Ia memegang salib kecil milik ayahnya, membaca doa pelan.
“Ayah... bantu kami...”
Sementara itu, Sasmita melayang seperti petir. Shotgun satu menembak dari jarak dekat, meledakkan bahu salah satu siluman. Ia jungkir balik, mengganti senjata, lalu melompat, mencabut keris dan menghujam ke perut siluman paling besar. Api menyembur dari luka itu, dan makhluk itu menggerung seperti gonggongan anjing gila.
Tapi jumlah mereka tidak berkurang. Lima. Delapan. Dua belas.
Sasmita mulai terdesak.
Salah satu siluman hampir memotong kakinya kalau Kenan tidak berteriak dari belakang, melempar salib besi yang langsung membakar tangan si siluman.
“Bunuh mereka pake keris, Mbak! Yang lain cuma melambatkan!”
Sasmita berbalik, napasnya ngos-ngosan. “Gue tahu! Tapi keris ini cuma satu!”
Kenan menggigit bibir. Lalu berlari ke arah salah satu penjaga altar. Ia mencabut belati kecil milik Frater Ben dari dalam tasnya. Simbol Latin tergurat jelas di bilahnya.
Dengan teriakan keras, ia menancapkannya ke kaki siluman.
“IN NOMINE PATRIS!!!”
Siluman itu berteriak... dan terbakar. Seketika.
Sasmita menatap Kenan, kaget dan bangga sekaligus.
“Lo... anak Pastor beneran, ya.”
Kenan gemetar, tapi berdiri tegak. “Aku... anak Rafael Latuheru.”
Dan langit meraung.
Dari balik kabut, terdengar gemuruh. Seperti... langkah kaki yang lebih besar. Lebih berat.
Kang Ujang muncul di belakang mereka. “Neng... Kenan... warga sudah aman. Tapi kalau kalian nggak cepat naik... penjaga utama akan datang.”
Sasmita menoleh. “Penjaga utama?”
Kang Ujang menunduk. “Pemegang kunci darah. Dia... yang menjaga gerbang ke makam Manglayang.”
Sasmita menatap langit merah. “Kalau dia turun... kita semua tamat.”
Ia menyarungkan keris, menoleh ke Kenan. “Kita harus pergi sekarang.”
Kenan mengangguk. “Aku siap.”
Sasmita menatap Kang Ujang. “Jaga warga. Kalau kami gagal, bakar semua jalan naik ke gunung. Jangan kasih satu pun makhluk turun.”
Kang Ujang mengangguk dengan mata merah. “Semoga leluhur kalian memberi kekuatan.”
Sasmita dan Kenan berlari menuju jalan setapak menuju gunung. Di belakang mereka, penjaga altar yang tersisa mengerang. Tapi tak lagi mengejar. Mereka mundur. Seolah tahu, pertarungan selanjutnya bukan untuk mereka.
Saat mereka menghilang ke jalur gunung, suara jeritan panjang menggema dari hutan.
Bumi sedikit bergetar.
Dan Kang Ujang tahu...
Penjaga utama telah bangkit.
Bersambung....