NovelToon NovelToon
Hanasta

Hanasta

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Romantis / Psikopat itu cintaku / Mafia
Popularitas:10
Nilai: 5
Nama Author: Elara21

Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.

sanggupkah ia lepas dari suaminya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hanasta 31

Mobil Nathan berhenti di halaman motel tua yang papan namanya sudah miring.

Lampu neon merah hidup–mati, menciptakan bayangan gelap yang menelan setiap sudut.

Nathan mematikan mesin.

“Kita tidak bisa tinggal lama,” katanya cepat.

“Tapi cukup untuk menonton apa pun yang ada di ponsel itu.”

James mengangguk.

Hana menggenggam lengannya erat.

Saksi A turun terakhir.

Langkahnya tenang… terlalu tenang untuk seseorang yang sedang diburu Soni.

Nathan mengambil dua kamar.

Mereka semua berkumpul di kamar paling jauh, tirai langsung ditutup.

Hana duduk di pojok ranjang, membungkus diri dengan selimut tipis.

James duduk di sampingnya, memegang ponsel tua yang retak itu.

Raina duduk di lantai, punggungnya ke tembok.

Saksi A berdiri bersandar pada lemari tua, kedua tangannya di saku.

Nathan mengunci pintu.

“Kita mulai.”

James mengeliatkan jarinya menekan tombol “play”.

Hana memegang tangan James dengan dua tangan sekaligus.

“James… aku… takut…”

James menunduk, mencium kening Hana pelan.

“Aku di sini. Lihat hanya padaku kalau kau tidak kuat.”

Hana mengangguk dan merapat lebih dekat.

Layar ponsel menyala.

Gambar video goyang, gelap, suara hujan deras terdengar.

Dan lalu—

Muncul wajah Melena.

Basah.

Ketakutan.

Menangis.

“Dia… dia memaksaku… aku tidak bisa… tolong…”

Suara itu membuat Hana menggigil.

James merasakan dadanya sesak, seperti dunia menyempit.

“Apa yang sebenarnya terjadi malam itu…?” gumam James.

Video menunjukkan Melena berlari, menoleh ke belakang.

Seseorang mengejarnya.

Namun kamera terlalu goyang untuk melihat jelas.

“S-stop! Jangan ikuti aku lagi!”

Gambar berpindah cepat—

Melena tersandung dan jatuh.

Hana meremas tangan James keras.

“Itu… itu yang aku lihat malam itu…”

James mengusap bahunya, menenangkan.

Kemudian kamera terangkat.

Dan untuk pertama kalinya, wajah sosok pengejar itu terlihat… samar… tapi cukup jelas.

Nathan menegakkan tubuh.

Raina menutup mulut.

Hana membeku.

James mengangkat wajah, napasnya menahan.

Sosok itu adalah—

Pria yang sekarang berdiri di depan mereka.

Saksi A.

Hana menjerit kecil.

James langsung memeluknya.

Nathan mendekat dengan pisau lipat.

“KAU—!” Nathan hendak menyerang.

Tapi pria berkalung A itu tidak bergerak.

Tidak membela diri.

Tidak takut.

“Lanjutkan videonya,” katanya datar.

James, dengan rahang tegang, menekan play lagi.

Video menunjukkan Melena memukul dada pria itu.

“Pergi! Aku bilang pergi! Aku mau kembali ke suamiku!”

Pria itu tampak putus asa.

“Aku hanya ingin bicara! Kau janji bertemu aku malam ini! Kau bilang kau…”

Melena memukulnya lagi.

“Aku menyesal! Aku tidak ingin ini terjadi!”

Lalu—

Melena mundur satu langkah…

…dan kakinya terpeleset batu basah.

Kepalanya menghantam tanah keras.

Suara hantaman itu membuat Hana menutup wajah dan menjerit kecil.

James memegangi Hana erat—

tapi matanya terpaku pada layar, tidak bisa berpaling.

Pria itu berteriak panik dalam video.

“Melena!! Melena!! Bangun!!”

Ia berlutut di samping tubuh Melena—

guncang, takut, tidak seperti penjahat.

Lebih seperti orang yang kehilangan seseorang yang sangat ia sayangi.

Kemudian suara mobil muncul.

Lampu menerangi tempat kejadian.

Wajah pria itu berubah ketakutan.

“Aku harus pergi…

Jika suamimu melihat aku… dia—”

Video berakhir dengan gambar terguncang saat pria itu kabur dan ponsel terjatuh.

Hening.

Tidak ada yang berani menarik napas keras.

Hana menangis pelan di bahu James.

James memejamkan mata, tetapi tubuhnya tegang seperti baja.

Nathan menatap pria itu dengan mata tajam.

“Jadi…

kau yang menyebabkan kematian Melena.”

Pria itu menghela napas panjang.

Tidak mengelak.

“TIDAK.”

Ia menatap mereka satu per satu.

“Aku tidak membunuh Melena.

Aku ada di sana.

Tapi aku bukan pembunuhnya.”

James menegang.

“Kalau begitu… siapa?!”

Pria itu berjalan pelan ke tengah ruangan.

Matanya berubah gelap.

“Melena punya musuh lain…

musuh yang jauh lebih kuat…

jauh lebih berbahaya…”

Ia menatap langsung ke mata James.

“Musuh itu adalah…”

Tiba-tiba—

BRAK BRAK BRAK BRAK!!!

Pintu motel ditendang dari luar.

Semua langsung terkejut.

Raina menjerit.

Hana menempel kuat ke tubuh James.

Nathan mengambil pisau.

Saksi A meraih gagang lemari.

Dan dari luar terdengar suara yang membuat darah semua orang membeku:

“JAMES.

HANA.

BUKA PINTUNYA.”

Suara Soni.

Tenang.

Lembut.

Dan mematikan.

Pintu motel bergetar lagi.

BRAK!

Debunya jatuh dari kusen.

Lampu kamar berkedip dua kali.

Suara Soni terdengar lebih dekat—pelan, tenang…

namun menusuk.

“James…

Hana…

kalian membuatku menunggu.”

Hana langsung menutup mulutnya kedua tangan.

Tubuhnya gemetar hebat.

James memeluk punggung Hana, menutupi tubuhnya dari pandangan pintu.

“Tenang… jangan lihat. Fokus padaku.”

Raina menarik tirai belakang, mencari jalan keluar, wajahnya pucat.

Nathan mendekat ke pintu perlahan, menahan napas untuk menilai seberapa kuat Soni menekan dari luar.

“Dia tidak sendirian,” bisik Nathan.

“Saya dengar minimal empat orang di lorong.”

James mengencangkan rahangnya.

Saksi A berdiri tidak jauh dari jendela, tubuhnya condong ke depan, seperti binatang yang siap menerkam atau melompat kabur.

James menatapnya.

“Kau… bisa hentikan dia?”

Pria berkalung A itu membalas tatapannya.

“Tidak dengan cara yang kau bayangkan.”

BRAKKK!

Pintu hampir copot dari engsel.

Hana menjerit kecil dan menutup wajah ke dada James.

James memeluknya lebih kuat.

Soni mengusap debu dari kusen pintu di luar, dan suaranya terdengar manis—

“Hana… pintunya tidak terkunci.

Kau hanya perlu bilang ‘aku di sini’.”

Hana makin menangis pelan.

James hampir bangkit untuk menghadapi Soni, tapi Saksi A mengangkat tangan keras, memberi sinyal:

“Jangan.”

James mendesis:

“Kau pikir aku akan biarkan dia ketuk pintu sampai pecah?!”

Saksi A maju satu langkah.

Suaranya rendah, tapi stabil.

“Kalau kau buka pintu itu sekarang…

semua berakhir malam ini.

Dengan cara yang kau tidak bisa bayangkan.”

James menatapnya keras.

“Jadi apa rencanamu?!”

Pria itu mengeluarkan sesuatu dari balik mantelnya—

Bukan senjata.

Bukan pisau.

Tapi kartu akses platinum, logo perusahaan Soni di pojoknya.

Nathan terbelalak.

“Dari mana kau dapat itu?!”

Saksi A tersenyum tipis.

“Aku pernah bekerja untuk keluarga Arther.

Sebelum Melena meninggal.

Sebelum semuanya hancur.”

James menegang.

“Kau… bekerja untuk AYAHKU?!”

A memandang James lama—

wajahnya penuh sesuatu yang campuran antara penyesalan dan rasa bersalah.

“Dan aku yang menyaksikan bagaimana Melena terjebak di antara dua dunia.”

“Dua dunia apa?” tanya James dengan nada tajam.

A mendekat perlahan.

“Dunia Soni…

dan dunia yang ia sembunyikan darimu.”

Tapi sebelum ia bisa menjelaskan lebih jauh—

BRRRRAAKKK!

Bagian atas kusen mulai retak.

Soni hampir masuk.

Raina mundur ke sudut, menangis panik.

Nathan memegang pisau tapi gemetar.

Hana menekan wajah ke dada James sekuat mungkin.

James memeluk kepalanya.

“Hana… tidak apa, tidak apa… aku tidak biarkan dia sentuh kau…”

Soni mencondongkan tubuhnya ke celah pintu yang mulai jebol.

“James…

jangan buat ini sulit.”

Suara itu membuat bulu kuduk berdiri.

Saksi A mundur dua langkah, lalu bicara cepat, tegas, seperti komandan.

“Nathan, buka jendela belakang.

Raina, bawa tas Hana.

James, bawa Hana ikut aku.”

“Apa?!” James hampir berteriak.

A menatap James tanpa berkedip.

“Kau ingin mengakhiri pengejaran ini?

Kau harus ikut aku.”

BRAK!

Kusen pintu pecah setengahnya.

“Hana…” suara Soni semakin lembut, semakin menakutkan.

“Pulanglah. Aku tidak marah.”

Hana menjerit kecil dan memeluk James makin erat.

James mengikatkan kedua lengan di punggung Hana.

“Ayo,” James menatap Saksi A dengan mata penuh tekad.

“Bawa kami keluar.”

Nathan membuka jendela belakang.

Udara malam masuk.

A memberi sinyal cepat.

“Keluar SATU per SATU, cepat!

Aku tutup belakang.”

Raina melompat keluar dulu.

Nathan menyusul.

James menggendong Hana keluar dari jendela.

Hana menangis pelan, wajahnya menempel di leher James.

Saat James sudah di luar…

A tetap berada di dalam kamar.

“KAU MAU MATI?!” Nathan berbisik keras.

A tersenyum tipis.

“Bukan malam ini.”

Ia menutup tirai.

Memutar tubuh menghadap pintu yang hampir jebol.

James menoleh dari luar jendela, terkejut.

“A! Keluar! Sekarang!!”

A tidak bergerak.

Ia menatap James dari balik bayangan tirai, dan suara lembutnya terdengar seperti seseorang yang sudah memutuskan sesuatu yang berat:

“James… kalau kau ingin tahu siapa pembunuh ibumu…

kau butuh aku.

Aku akan susul kalian.”

James hendak kembali masuk—

TAPI Soni akhirnya menerobos pintu.

BRAAAAAAAK!

Kayu beterbangan.

Hana menjerit keras dari pelukan James.

Soni masuk dengan langkah santai, seperti pemilik rumah.

Dan A berdiri di tengah ruangan, menatap Soni tanpa ketakutan sedikit pun.

Soni tersenyum kecil.

“Ah…

jadi kau yang sembunyikan mereka.”

A memasukkan tangan ke saku.

“Soni.”

Soni mendekat satu langkah.

“Sudah lama.”

A balas satu langkah.

“Sangat lama.”

James, dari luar jendela, menahan Hana dan mau naik kembali—

Tapi Nathan menarik James keras.

“KAU MAU MATI, JAMES?! LARI!!!”

Soni dan A berdiri hanya beberapa meter dari satu sama lain.

Dua bayangan besar.

Dua masa lalu gelap.

Dan dua orang yang memegang rahasia terbesar Hana.

Nathan menarik James.

Raina membuka pintu belakang motel.

“HANA HARUS AMAN DULU!!” Nathan berteriak.

James menggendong Hana dan berlari di lorong belakang motel.

Hana menangis tanpa suara, tubuhnya gemetar.

“James… jangan tinggalkan dia sendirian…”

James menenangkan.

“A akan menyusul—fokus ke napasmu.”

Raina memegang tas.

“Nathan! Ke mobil! Cepat!”

Di belakang mereka…

suara dua laki-laki terdengar pelan namun sangat tegang:

Soni: “Kau selalu membuat kekacauan.”

A: “Dan kau selalu menyembunyikan kebenaran.”

See you

27-11-2025

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!