Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.
Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.
Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.
Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?
Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…
Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Aira yang sedang minum air langsung menyemburkan semuanya ke lantai.
Pak Hadi refleks berdiri. “Lho, Aira! Astaghfirullah… itu lantai jadi basah!”
Aira tersedak sambil memegang dada. “Pa–pa–apa?!”
Wajahnya merah padam, antara malu, kaget, dan ingin lenyap ditelan bumi saat itu juga.
Ustadz Fathur memejam sejenak. Ya Allah... Ujian langsung datang...Ya Allah…
Pak Hadi justru tertawa kecil melihat reaksi putrinya. “Ya ampun, Ra. Baru juga ditanya izinnya ke Papa, kamu sudah kaget begitu.”
Aira menatap Ustadz Fathur dengan mata bulat—antara tak percaya dan bingung harus lari atau pura-pura pingsan.
Dan suasana rumah tiba-tiba berubah penuh ketegangan manis yang tak terduga.
Kemudian Ustadz Fathur duduk tegak, berusaha memusatkan pandangan pada Pak Hadi. Meski begitu, ia tidak bisa menyembunyikan halusnya getaran pada jemarinya yang menyentuh gelas teh. Dadanya berdebar... sangat kencang... lebih dari saat ia menghadapi ratusan santri.
Namun ia tetap menjaga sikap, berusaha tidak melirik Aira yang sudah duduk di samping Bu Maryam, masih melongo seperti baru ditelepon malaikat.
Ustadz Fathur menarik napas, kemudian mulai berbicara dengan suara yang lirih namun mantap.
“Begini, Pak Hadi…” Ia menunduk penuh hormat. “Mohon maaf sebelumnya. Saya bukan ingin mendahului Pak Hadi sebagai ayah dan orang tuanya.”
Pak Hadi dan Bu Maryam saling menatap. Aira? Aira memeluk bantal sofa, masih tidak percaya apa yang terjadi.
“Mengingat peraturan di kampung ini,” lanjut Ustadz Fathur, “saya ingin… membimbing Aira langsung. Tanpa batasan. Tanpa menempatkan dirinya pada posisi yang bisa jadi bahan gunjingan warga.”
Ia berhenti sebentar, menelan ludah. Tangannya gemetar tipis.
“Saya paham, Pak, niat saya ini mungkin terkesan… bagaimana ya? Kita baru beberapa hari bertemu. Perasaan pun mungkin belum tumbuh.”
Aira refleks menoleh cepat. Perasaan belum tumbuh? hatinya berdesis. Tapi ia terus diam.
“Tapi niat saya tidak main-main. Sejak dulu, saya diajarkan bahwa menikah itu, sekali seumur hidup.”
Napasnya tersengal sedikit, bukan karena lelah, tapi karena emosinya sendiri. “Dengan cara saya yang seperti ini… mungkin terkesan memanfaatkan keadaan.”
Ia langsung menggeleng lirih. “Tapi bukan begitu, Pak. Wallahi, bukan begitu. Niat saya tulus.”
Pak Hadi menghela napas panjang, tak memotong.
“Saya memang memutuskan cepat,” lanjutnya lagi. “Hanya saja… setiap malam saya berdoa untuk jodoh dan rezeki saya. Saya yakin Allah sudah menetapkan.”
Mata Bu Maryam sedikit berkaca-kaca. Aira, meski gengges, tetap punya hati... dadanya terasa hangat mendadak.
“Dan mungkin, Pak Hadi melihat saya… secara manusiawi pasti banyak kekurangannya. Dari segi ekonomi saya bukan siapa-siapa. Saya tidak membawa apa-apa ke kampung ini.”
Ia tersenyum getir.
“Saya di sini boleh dibilang rantau, tapi sebenarnya tidak. Saya… orang sebatang kara, Pak. Orang tua saya sudah lama tiada. Yang saya punya hanya ilmu seadanya, rumah sederhana, dan pekerjaan sebagai tenaga pengajar.”
Sentuhan pada kantong di samping celananya samar-samar terlihat. Yang di dalamnya ada tas kecil yang menyimpan cincin peninggalan ibunya.
“Tapi insyaAllah…” suaranya mulai bergetar lebih kuat. “Saya tidak akan lepas tanggung jawab. Saya akan penuhi kebutuhannya. Saya akan jaga kehormatannya. Allah yang akan mampukan saya, InsyaAllah.”
Ruangan mendadak senyap.
Pak Hadi menatapnya tanpa berkedip, Bu Maryam menutup mulutnya menahan rasa haru. Aira membeku, antara terkejut, bingung, malu, dan entah kenapa… sedikit terenyuh.
Tak ada satu pun yang menyangka lelaki pendiam itu bisa berbicara sepanjang itu... tanpa teks dan dengan ketulusan yang begitu menyentuh.
Aira menggigit bibirnya pelan, berbisik hampir tak terdengar, “…astaga, lancar banget…”
Sementara Ustadz Fathur menunduk kembali, dada naik turun, lega karena akhirnya ia mengeluarkan seluruh isi hatinya meski suara terakhirnya bergetar.
***
Ruangan kembali sunyi ketika Ustadz Fathur selesai bicara. Hanya suara jangkrik dari halaman yang terdengar. Pak Hadi bersandar sedikit ke sofa, meniup napas perlahan seperti sedang menimbang, lalu akhirnya tersenyum tipis.
“Ustadz…” Pak Hadi memulai dengan nada tenang. “Saya terima.”
Aira langsung tersedak udara. “HEH?! Pa... Pa... Papa apaan...”
Pak Hadi mengangkat tangan, meminta Aira diam dulu.
“Saya menerima niat baik Ustadz,” lanjutnya. “Saya tidak mempermasalahkan keadaan ekonomi, rumah, atau masa lalu Ustadz. Kami juga bukan siapa-siapa.”
Bu Maryam mengangguk. “Iya, betul.”
Pak Hadi kemudian menatap Ustadz Fathur lebih dalam, seolah sedang membaca warna hatinya. “Yang saya minta hanya satu, Ustadz.”
Ustadz Fathur duduk lebih tegak. “Silakan, Pak.”
“Jangan sakiti hati Aira, maupun fisiknya.” Suaranya mulai bergetar kecil. “Dia anak satu-satunya di keluarga kami, Ustadz.”
Aira yang tadinya mau protes… langsung diam. Matanya melunak melihat wajah ayahnya yang jarang seserius itu.
Pak Hadi melanjutkan dengan nada lirih, “Keluarga kami kecil sekali, Tadz. Mamanya Aira yatim piatu sejak kecil. Saya pun sama, orang tua sudah gak ada sejak lama.”
Bu Maryam menunduk, memegangi ujung kerudungnya.
“Saudara saya pun tidak tahu masih hidup atau tidak…”
Pak Hadi tersenyum getir. “Dulu saya kembar. Kakak saya terpisah karena dibawa orang tua ibu saya. Sejak bayi kami tidak pernah bertemu lagi. Jadi, ya begini… hanya bertiga saja kami.”
Suasana berubah hangat dan berat sekaligus.
Ustadz Fathur menunduk dalam-dalam. “InsyaAllah, Pak… saya jaga amanah ini.”
Pak Hadi mengangguk. “Kalau begitu, dipercepat tidak masalah.”
Aira langsung ngedrop di sofa seperti HP lowbat.
“Pa… pa… pa… aku pingsan aja, Pa…”
Tangannya menutup wajahnya dramatis. “Dua puluh dua tahun aku gak boleh pacaran… satu minggu udah harus nikah! Ya Allah…”
Bu Maryam menepuk paha Aira pelan. “Sudah, jangan drama. Berdiri, masih segar itu.”
“Ma… bukan cuma segar… ini kaya jet lag hati…”
Pak Hadi hanya menghela napas sambil menahan tawa.
Ustadz Fathur yang sejak tadi berusaha fokus ke Pak Hadi akhirnya tak tahan melirik Aira sekilas. Melihat Aira lemas seperti kain pel, ia buru-buru mengalihkan pandangan lagi.
“Jadi… insyaAllah saya siap, Pak,” ulang Ustadz Fathur.
Pak Hadi tersenyum mantap. “Baik. Tinggal kita rundingkan waktu dan persiapan.”
Aira masih meringkuk di sofa sambil berbisik lirih, “Ya Allah… aku belum siap mental… tapi udah dijadwalkan…”
Bu Maryam menahan senyum.“Kamu mau siap kapan? Nunggu laki-laki dari langit turun?”
“Ma… tolong jangan bercanda di saat hatiku terguncang…”
Ustadz Fathur cuma bisa menunduk semakin dalam agar wajahnya tidak terlihat memerah.
Setelah percakapan berat dan keputusan disepakati, Ustadz Fathur merogoh kantong celananya... Mengeluarkan tas kecil lusuh yang sudah ia simpan lam. Gerakannya pelan, hati-hati, penuh rasa hormat. Pak Hadi dan Bu Maryam memperhatikan tanpa berkedip, sementara Aira masih meringkuk seperti ayam kedinginan di sofa.
Ustadz Fathur membuka resleting tas itu, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil berbalut kain halus, lusuh tapi terawat. Tangannya sedikit gemetar ketika ia menyerahkannya ke Pak Hadi.
“Ini, Pak…” suaranya lirih dan bergetar halus.
“Ini hanya sebagai simbolis. Saya hanya punya ini yang paling berharga bagi saya. Selebihnya nanti insyaAllah saya akan usahakan lagi setelah kita merundingkan semuanya.”
Pak Hadi menerima kotak itu dengan kedua tangan.
Bu Maryam mendekat, ikut melihat.
Saat kotak dibuka, keduanya serempak tertegun.
Cincin itu… sederhana, tapi kilauannya mewah. Jelas bukan cincin sembarangan. Bentuknya klasik, elegan, tampak seperti peninggalan keluarga yang bernilai tinggi.
“Astaghfirullah… Ustadz…” bisik Pak Hadi. “Kamu yakin memberikan ini?”
Bersambung