Perselingkuhan antara Kaivan dan Diana saat tiga hari menjelang pernikahan, membuat hati Alisa remuk redam. Keluarga Kaivan yang kepalang malu, akhirnya mendatangi keluarga Alisa lebih awal untuk meminta maaf.
Pada pertemuan itu, keluarga Alisa mengaku bahwa mereka tak sanggup menerima tekanan dari masyarakat luar jika sampai pernikahan Alisa batal. Di sisi lain, Rendra selaku kakak Kaivan yang ikut serta dalam diskusi penting itu, tidak ingin reputasi keluarganya dan Alisa hancur. Dengan kesadaran penuh, ia bersedia menawarkan diri sebagai pengganti Kaivan di depan dua keluarga. Alisa pun setuju untuk melanjutkan pernikahan demi membalas rasa sakit yang diberikan oleh mantannya.
Bagaimana kelanjutan pernikahan Alisa dan Rendra? Akankah Alisa mampu mencintai Rendra sebagai suaminya dan berhasil membalas kekecewaannya terhadap Kaivan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keras Kepala
Alisa menarik tangan Diana sampai gadis yang memiliki tubuh lebih pendek darinya itu berbalik badan. Dengan berhati-hati, Alisa menyentuh luka memar di dekat bibir Diana. Matanya membulat seakan menyiratkan rasa iba terhadap kekerasan yang dialami gadis itu.
Diana menepis tangan Alisa dengan kasar, lalu membuang muka. Ia mendengus keras, menolak perhatian serius dari Alisa.
"Dengarkan aku, Diana. Aku nggak pernah bermaksud merusak hubungan kamu sama Kaivan. Aku justru ingin menyelamatkan reputasi dari fitnah yang dia sebar di kantor lewat bukti pesan itu. Apa aku salah jika ingin membela diriku sendiri?" jelas Alisa memberi pengertian.
Diana mengangkat wajahnya, sembari menatap tajam pada Alisa. "Begitu, ya? Jadi, kamu mengambil bukti chat diam-diam dari hapeku demi reputasi kamu sendiri? Egois banget kamu, ya!" tuduhnya.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan, hm? Apa aku harus diam saja dituduh buruk habis-habisan oleh dia?" tanya Alisa mengerutkan dahinya.
"Setidaknya sebelum bertindak, pikirkan dulu nasibku! Lihatlah akibat dari perbuatanmu ini! Sekujur tubuhku babak belur gara-gara Kaivan mengetahui bukti chat itu ada pada dirimu," tukas Diana menunjuk-nunjuk wajah Alisa.
Alisa mendesah pelan, lalu berkata, "Bisakah kamu berpikir waras sedikit saja? Ini semua terjadi gara-gara Kaivan yang menyerangku duluan! Seandainya dia tidak menyebarkan fitnah, maka semua ini tidak akan terjadi. Apa kamu nggak bisa mengendalikan kelakuan pacarmu sendiri?"
Diana melipat kedua tangannya sambil tersenyum sinis. "Harus bagaimana lagi aku mengendalikan Kaivan, Alisa? Aku sudah memberikan segalanya buat dia. Mengizinkan dia tinggal di kos berhari-hari, mentraktirnya makan, membelikan kuota internet, bahkan aku rela menyerahkan kesucian yang berharga dari diriku agar dia selalu bersamaku. Katakan! Apa usahaku mengendalikan Kaivan masih belum cukup?" cerocosnya.
Pedih hati Alisa mendengar penuturan Diana. Kaivan memang tak tahu diuntung. Dikasih hati malah minta jantung. Ia pun mengedarkan pandangan ke arah lain sembari menggigit bibirnya dan berkacak pinggang.
"Katakan, Alisa! Aku harus bagaimana lagi mengendalikan Kaivan?" sungut Diana memelototi Alisa.
Alisa tertunduk sejenak dan menggeleng pelan. Ditatapnya wajah Diana, seraya berkata, "Kalau dia tidak bisa menghargaimu, maka lepaskanlah. Semua pengorbanan kamu sia-sia aja di hadapan lelaki brengsek seperti Kaivan."
Diana tersenyum sembari bertepuk tangan. "Sudah kuduga, kamu berharap hubunganku dengan Kaivan hancur, kan?"
"Bukan begitu, Diana! Lihatlah dirimu! Kamu sudah diperlakukan kasar oleh dia! Apa kamu masih mau bertahan dengan Kaivan dan menerima kekerasan lainnya?" bantah Alisa menatap Diana dari ujung rambut sampai kaki.
Terdiam Diana mendengar pertanyaan Alisa. Kekerasan yang didapatnya memanglah menyakitkan, tapi sungguh, hati kecilnya masih menyimpan perasaan lebih serius dari apa pun.
Alisa memegang kedua pundak Diana dan menatap sahabatnya lebih dekat. "Lihat aku, Diana. Aku nggak pernah bermaksud untuk menghancurkan hubungan kamu dengan Kaivan. Aku juga sebenarnya tidak peduli bagaimana kelanjutan dari jalinan asmara kalian. Tapi Kaivan ... dia malah memojokkan aku habis-habisan. Apa pantas, seseorang yang sudah memiliki kekasih baru justru mengganggu mantannya ini? Jika demikian, lantas kamu selaku kekasihnya dianggap apa sama dia?"
Dengan kasar, Diana melepaskan tangan Alisa dari pundaknya. "Cukup, Alisa! Aku nggak mau dengar lagi kamu menjelek-jelekkan Kaivan demi membela dirimu sendiri! Kaivan adalah segalanya buatku. Nggak peduli dia berbuat kasar ataupun selingkuh, aku yakin kalau cuma akulah satu-satunya tempat dia kembali. Bukan kamu!"
"Apa?!" Alisa mengernyitkan kening.
"Mulai sekarang, jangan pernah libatkan aku dalam masalah kamu dan Kaivan! Kita sudah berada di jalan masing-masing. Lagi pula, kamu sudah menikah dengan kakaknya Kaivan. Apa cinta darinya masih belum cukup sehingga kamu harus tetap berurusan dengan Kaivan lewat masalah ini? Atau jangan-jangan ... kamu masih berharap balikan lagi sama pacarku?" cerocos Diana, lalu memandang Alisa dengan tatapan menyelidik.
"Aku tidak sedikit pun memiliki niat buat balikan sama Kaivan!" bantah Alisa dengan suara tinggi.
"Baguslah kalau begitu. Lagi pula, kamu ini payah, nggak ada apa-apanya dibanding aku yang sanggup bersabar dan berlapang hati. Baru diselingkuhi satu kali saja sudah membatalkan pernikahan," ketusnya sembari melengos ke kamar mandi.
Memperhatikan langkah Diana yang tergesa-gesa, Alisa hanya bisa menggeleng kepala. Sungguh, ia tak mengerti bagaimana Kaivan dapat mempengaruhi Diana sampai sejauh ini.
Dengan gontai, Alisa keluar dapur dan menghampiri Rendra yang sedang duduk mengetik pesan pada rekannya di kursi tunggu. Ia menepuk pundak suaminya sampai pria itu mendongak.
"Kita pulang sekarang," ajak Alisa.
Rendra mengangguk, sambil beranjak dari kursi. Keduanya berjalan beriringan meninggalkan toko dan memasuki mobil. Rendra menyalakan mesin mobil, kemudian melajukan kendaraannya dengan berkonsentrasi ke jalanan.
Rupanya, Rendra memutuskan untuk mampir di sebuah restoran pinggir kota. Tentu saja, itu membuat Alisa bertanya-tanya. Sejak menikah, mereka lebih lama menghabiskan waktu di rumah, bergelut dengan kesibukan masing-masing ketimbang berkomunikasi layaknya sepasang pengantin baru.
Setibanya di restoran, mereka duduk di meja dan menunggu makanan serta minuman pesanan datang. Suasana restoran yang tak begitu ramai pengunjung, membuat makan malam mereka terasa lebih intim.
"Kak Rendra, kenapa Kakak repot-repot ngajak makan malam di sini? Kita bisa pesan makanan kalau Kakak capek," ucap Alisa menatap Rendra dengan iba.
Seulas senyum simpul mengembang di bibir Rendra. "Sekali-kali kita perlu makan di luar. Emangnya kamu nggak jenuh di rumah terus?"
"Iya, sih, Kak. Tapi ... apa ini nggak berlebihan?" tanya Alisa sungkan.
"Tentu saja tidak, Alisa. Anggap saja ini makan malam biasa. Tapi, kalau kamu nggak keberatan, menganggap ini sebagai kencan pertama kita juga boleh," seloroh Rendra.
Alisa tersenyum tipis, seraya berkata, "Ah, Kak Rendra ini bisa saja."
"Oh, ya, Alisa. Kapan terakhir kali kamu makan malam seperti ini? Sepertinya, kamu sering melakukannya tiap minggu sama Kaivan," tanya Rendra.
"Tiap minggu? Enggak juga. Kami makan malam bersama kalau ada waktu. Kadang bisa dua bulan sekali atau enam kali dalam setahun, tergantung waktu luang. Selebihnya, kita cuma jalan-jalan biasa mengunjungi tempat wisata. Itu pun kalau nggak lagi sibuk," jelas Alisa.
Tercengang Rendra mendengar penuturan Alisa. "Benarkah?! Tapi aku perhatikan, Kaivan sering bepergian tiap akhir pekan. Aku kira dia pergi berkencan sama kamu."
Alisa tersenyum getir. "Mungkin dia pergi sama teman-temannya atau ... mencari selingan sampai perempuan lain bergantung sama dia. Misalnya saja Diana. Dia tetap saja ngotot ingin mempertahankan hubungan dengan Kaivan, sekalipun badannya babak belur."
"Apa?!" Rendra terperangah. "Kaivan ... Kaivan memukuli Diana?! Bukannya mereka itu saling mencintai?"
"Kaivan marah besar gara-gara aku memiliki bukti perselingkuhannya dengan Diana. Dia melampiaskan kemarahannya itu pada Diana dan ... ya ... Diana tetap menyalahkan aku karena dianggap telah merusak hubungannya dengan Kaivan," tutur Alisa, sambil sesekali mendesah berat.
Rendra tertegun. "Oh ... Jadi, itulah alasannya Kaivan pulang ke rumah."
"Kaivan pulang ke rumah? Kapan?" Alisa tercengang.
"Kemarin malam. Ibu menelepon dan mengabariku kalau Kaivan kembali ke rumah dalam keadaan menyedihkan," jelas Rendra sambil termenung.
"Astaga ...," desis Alisa dengan mata membulat.
"Sepertinya lain kali kita harus datang ke rumah Ibu dan memberi Kaivan pelajaran. Jika dibiarkan begini terus, bagaimana nasib dia ke depannya? Ini akan sangat merugikan, entah itu untuk dia sendiri, keluarga, ataupun perempuan yang menjadi kekasihnya," cetus Rendra menatap Alisa.
"Kakak benar, tapi ... apa tidak berisiko?" Alisa menatap sungkan.
Rendra mengerutkan dahi. "Maksudnya?"
"Kak Rendra, bagaimanapun juga Kaivan itu mantan pacarku. Aku khawatir Kakak berpikiran yang bukan-bukan kalau sampai kita bertemu dengan Kaivan," jelas Alisa.
Rendra memegang tangan Alisa dan menatap lekat kedua mata istrinya. "Itu tidak akan terjadi. Lagi pula, kita ini sudah punya ikatan yang jelas, kan?"
"Beneran, Kakak nggak akan cemburu?" tanya Alisa ragu-ragu.
Belum sempat Rendra menjawab, tiba-tiba Chika datang dari arah lain. Gadis itu berjalan sangat cepat dan tergesa-gesa dengan muka ditekuk. Tampaknya ia geram melihat dosen kesayangannya berkencan dengan perempuan lain.
"Pak Rendra! Tega-teganya Bapak bikin aku patah hati!" sungut Chika menatap tajam Rendra dan Alisa sambil berkacak pinggang.
lanjut thorrrr.