Di dunia di mana Spirit Master harus membunuh Spirit Beast untuk mendapatkan Spirit Ring, Yin Lian lahir dengan kekuatan yang berbeda: Kontrak Dewa. Ia tidak perlu membunuh, melainkan menjalin ikatan dengan Spirit Beast, memungkinkan mereka berkembang bersamanya. Namun, sistem ini dianggap tabu, dan banyak pihak yang ingin melenyapkannya sebelum ia menjadi ancaman.
Saat bergabung dengan Infernal Fiends Academy, akademi kecil yang selalu diremehkan, Yin Lian bertemu rekan-rekan yang sama keras kepala dan berbakatnya. Bersama mereka, ia menantang batas dunia Spirit Master, menghadapi persaingan sengit, konspirasi dari akademi besar, serta ancaman dari kekuatan yang mengendalikan dunia di balik bayangan.
Di tengah semua itu, sebuah rahasia besar terungkap - Netherworld Spirit Realm, dimensi tersembunyi yang menyimpan kekuatan tak terbayangkan. Kunci menuju puncak bukan hanya soal kekuatan, tetapi juga keberanian untuk menghadapi kegelapan yang mengintai.
⚠️pict : pinterest ⚠️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33
Yin Lian terus bergerak lincah di sekeliling arena, tubuhnya seperti bayangan yang tak bisa disentuh. Setiap langkahnya cepat, setiap ayunan belatinya seperti desir angin yang menusuk tajam. Tapi meskipun kecepatannya meningkat berkat dukungan Jade Butterfly Spirit dari Ling Shu, daya serangnya masih belum cukup menembus pertahanan kokoh Zhou Wuchen.
Ling Shu mulai terlihat kelelahan, peluh menetes dari pelipisnya. Kedua tangannya masih mengambang, mempertahankan aliran buff ke Yin Lian. Ia menggigit bibir bawahnya—energinya terkuras cepat karena kecepatan Yin Lian yang terus meningkat dari menit ke menit.
Tiba-tiba, Zhou Wuchen berhenti bergerak.
Ia menatap lurus ke arah Ling Shu.
Yin Lian mengerutkan kening. Gerakan tubuh Zhou Wuchen, posisi pundaknya... semuanya terlalu jelas. Dia akan menyerang pendukung dulu.
Zhou Wuchen melesat ke depan.
Yin Lian langsung bereaksi. Ia menekan gagang belatinya—senjata itu berubah, memanjang dalam sekejap menjadi tongkat ramping berwarna hitam pekat, lalu menyilangkannya di depan tubuh Zhou Wuchen.
Duaar!!
Tumbukan membuat lantai arena bergetar. Yin Lian terpental sedikit, satu lutut menyentuh tanah. Namun serangannya berhasil menahan laju Zhou Wuchen.
“Tebakan bagus,” gumam Zhou Wuchen tanpa emosi, mengayunkan satu pukulan lagi.
Yin Lian mengelak ke samping, napasnya mulai berat. Matanya melirik ke kanan—Ling Shu tetap berdiri, meski kini sedikit terhuyung. Yue Xian duduk di pinggir arena, tangan mencengkeram bahunya yang terluka ringan.
Aku sendiri sekarang.
Yin Lian menarik napas dalam. Matanya menatap tubuh Zhou, bukan hanya sebagai lawan... tapi sebagai teka-teki. Dia mengamati cara otot pria itu mengencang sebelum menyerang, bagaimana napasnya naik saat ia mengalihkan arah, dan bagaimana langkah kakinya berubah saat menyerang dari sisi kanan.
Lalu, tangannya mulai dipenuhi kabut hitam.
Aura dingin dan mencekam muncul perlahan, berpusat di sekitar tubuh Yin Lian. Kabut itu seperti tar yang menari-nari di udara, menyelimuti punggung dan kedua tangannya. Matanya kini berubah menjadi ungu menyala.
Zhou Wuchen memperhatikan perubahan itu dengan dahi sedikit berkerut. Tapi Yin Lian tak memberi waktu berpikir.
Dia melepaskan tongkatnya ke tanah.
Dengan satu langkah cepat, Yin Lian meraih lengan Zhou Wuchen dan menggenggamnya erat. Zhou bersiap menangkis pukulan, tubuhnya mengencang—tapi serangan itu tak datang.
Sebaliknya...
“Ghost Hand,” bisik Yin Lian.
Tangan kabut itu mencengkeram tubuh Zhou dari belakang, lalu mengangkatnya ke udara. Sekilas, Zhou terkejut, tapi masih mencoba melepaskan diri.
Lalu—Phantom Eyes menyala.
Mata ungu Yin Lian bersinar terang. Dalam sekejap, tubuh Zhou Wuchen diputar di udara, seperti tak lagi dikendalikan sepenuhnya. Sebelum ia bisa membalikkan keadaan, Yin Lian menghilang secepat bayangan, lalu muncul di belakang punggungnya—dan...
Bughk!
Sebuah tendangan keras tepat mengenai titik lumpuh di bagian punggung bawah Zhou. Tubuh sang spirit sage terguncang hebat, nyaris kehilangan keseimbangan saat mendarat.
Yin Lian mendarat perlahan, lututnya sedikit tertekuk. Nafasnya berat, tapi matanya masih menyala dengan keyakinan.
Zhou Wuchen berdiri tegak kembali. Kali ini wajahnya tak lagi tenang seperti sebelumnya. Rahangnya mengeras, dan aura Martial Soul-nya semakin besar, membungkus tubuhnya dalam bayangan beruang raksasa.
“Sekarang aku mengerti... kenapa kalian berani menantangku bertiga.”
Ia menggulung lengan bajunya, satu per satu.
“Baiklah, Yin Lian. Pertandingan dimulai sekarang.”
Dan keduanya kembali bertarung.
Yin Lian kini sudah tak sepenuhnya menghindar. Mereka mulai saling adu serangan. Tangan Zhou Wuchen seperti batu karang yang menghantam angin, tapi Yin Lian menari di antara celahnya—kadang memukul, kadang menarik, kadang menghilang sejenak lalu muncul kembali.
Suara benturan keras terus mengisi arena. Serangan demi serangan membentuk pola dentuman berirama seperti gendang perang. Yin Lian dan Zhou Wuchen kini bertarung dalam jarak dekat, dan satu kesalahan kecil saja bisa berakibat fatal.
Meskipun tubuh Zhou Wuchen jauh lebih besar dan kekuatannya menekan seperti tembok batu, Yin Lian mampu menghindar dengan akurat. Setiap gerakan lelaki itu terbaca jelas di mata ungu yang bersinar tajam.
Namun, Yin Lian sadar—ia tak akan bisa bertahan lama.
Napaknya sudah tak lagi senyap. Gerakannya mulai sedikit melambat. Dan saat melirik ke arah Ling Shu...
Gadis itu mulai terhuyung.
Tangan kirinya gemetar hebat, keringat bercucuran di wajahnya. Aura hijau dari Jade Butterfly Spirit-nya masih menyelimuti Yin Lian, tapi cahayanya memudar perlahan.
“Jika aku tidak mengakhiri ini sekarang... Ling Shu pasti pingsan.”
Yin Lian mendesah pelan.
"Kalau begitu... hanya satu pilihan."
Dengan cepat, ia melompat mundur dan mengangkat tangan kirinya. Kabut ungu mengelilingi dirinya, lalu membentuk bayangan-bayangan samar menyerupai dirinya dari berbagai sudut arena.
Phantom Shadow: Mirror Step.
Zhou Wuchen sempat mengernyit—gerakan Yin Lian tiba-tiba tak lagi terbaca. Lima bayangan bergerak bersamaan, semuanya menyerang dari sudut berbeda. Zhou menahan satu, tapi yang lain justru menyerang dari sisi belakang.
Bugh!
Satu pukulan telak mendarat di pinggangnya. Meski tak terlalu menyakitkan, serangan itu membuatnya kehilangan keseimbangan sejenak.
Lalu datang lagi.
Phantom Shadow: Echo Twist.
Kali ini, Yin Lian muncul dari bawah—meluncur seperti bayangan dari lantai arena, menusuk maju dengan belati. Zhou Wuchen segera menangkisnya, tapi Yin Lian tak benar-benar menyerang.
Itu hanya bayangan.
Zhou Wuchen sempat lengah—dan di saat itulah Yin Lian yang asli melompat dari sisi kiri, menghantam pundak Zhou dengan tongkatnya lalu segera mendorong tubuh pria itu ke belakang.
"Tekniknya rumit..." Zhou Wuchen menyipitkan mata, kini bergerak lebih waspada.
Namun Yin Lian belum selesai.
Phantom Shadow: Blind Veil.
Kabut gelap menyebar dari tangan Yin Lian. Aura hitam pekat itu menyelimuti kepala Zhou Wuchen dalam sekejap, seperti topeng kabut yang menutupi indra. Dalam kondisi itu, penglihatan Zhou terganggu, suara jadi bergema tak jelas, dan refleksnya melambat drastis.
Kesempatan itu tak disia-siakan.
Yin Lian muncul dari sisi lain arena, mengambil ancang-ancang lalu mendorong tubuh Zhou Wuchen dengan teknik pamungkasnya—tongkatnya berputar dan membentuk pusaran kabut hitam seperti spiral, mendorong spirit sage itu dengan tenaga puncak.
“Phantom Pressure—Final Drive.”
Zhou Wuchen berusaha bertahan, kakinya menyeret tanah keras arena, menciptakan jejak panjang. Tapi dorongan itu terlalu kuat, terutama saat ia tak bisa melihat dengan jelas.
Dan akhirnya...
Duarr!
Tubuh Zhou Wuchen terlempar keluar batas arena, menghantam dinding pelindung ringan di sisi barat sebelum jatuh dengan telapak tangan menghantam tanah.
Seketika, suara gemuruh penonton memecah keheningan.
Yin Lian berdiri di tengah arena, terengah-engah. Kabut ungu di sekeliling tubuhnya mulai menghilang. Keringat membasahi pelipisnya, tapi matanya tetap menatap tajam ke arah Zhou Wuchen yang bangkit perlahan di luar arena.
Ling Shu terjatuh berlutut, wajahnya pucat dan napasnya tersengal. Sebelum tubuhnya sempat benar-benar tumbang, Gu Tian sudah melesat dari sisi arena, menangkap bahunya dan menopangnya dengan sigap.
“Kau terlalu memaksakan diri lagi,” gumam Gu Tian pelan, meski suaranya terdengar lebih lega daripada marah.