Putri Regina Prayoga, gadis berusia 28 tahun yang hendak menyerahkan diri kepada sang kekasih yang telah di pacari nya selama 3 tahun belakangan ini, harus menelan pahitnya pengkhianatan.
Tepat di hari jadi mereka yang ke 3, Regina yang akan memberi kejutan kepada sang kekasih, justru mendapatkan kejutan yang lebih besar. Ia mendapati Alvino, sang kekasih, tengah bergelut dengan sekretarisnya di ruang tamu apartemen pria itu.
Membanting pintu dengan kasar, gadis itu berlari meninggalkan dua manusia yang tengah sibuk berbagi peluh. Hari masih sore, Regina memutuskan mengunjungi salah satu klub malam di pusat kota untuk menenangkan dirinya.
Dan, hidup Regina pun berubah dari sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 15. Kedatangan Mama 21++
“Ampun..Mmhh Will.. Mmhh..”
“Minta ampun.. Mmhh!??”
William terus berpacu, sudah dua kali boy muntah, tetapi pria itu tidak menegenal lelah. Regina hanya bisa pasrah. Tenaganya telah habis terkuras.
“Will…” wanita itu menjerit, seiring tubuhnya yang bergetar hebat.
William membiarkan Regina mengontrol dirinya. Nafasnya begitu memburu, tersengal seperti habis lari menegejar maling.
“Sudah?”
Regina menggeleng, ia tidak sanggup lagi. Dengan lemah, kepalanya menoleh ke arah nakas. Waktu menunjukkan pukul 2 dini hari.
William menghajarnya sudah sejak pukul 10 malam tadi.
“Cukup.. Will..” tangan lemahnya mengusap lengan kokoh William yang mengukungnya.
Namun pria itu menulikan telinganya. Ia kembali memacu si boy, menghiraukan Regina yang sudah tak bertenaga lagi.
Bertepatan dengan muntahnya boy, untuk yang ketiga kalinya, Regina pun memejamkan matanya.
Dia sudah terlalu lelah meladeni atasannya yang tidak waras ini.
“Semoga William junior segera hadir disini.” Bisik William dia atas perut rata sekretarisnya. Namun, ia tau hal itu hanya gurauan semata.
Setelah nafasnya berangsur stabil, William memisahkan diri dari Regina. Ia kemudian berlalu ke kamar mandi untuk membuang alat pelindung diri si boy.
Ya, mereka melakukannya dengan menggunakan APD pada si boy. Itu merupakan syarat dari Regina. Jika tidak di turuti, wanita itu juga tidak akan menuruti keinginan William. Dan si pria durjana itu, tidak punya pilihan lain, selain menuruti keinginan Regina, demi terpenuhinya kebutuhan batinnya.
“Cih.. sial.. tunggu saja.. suatu saat aku tidak akan membeli barang durjana itu lagi.” Gerutu William sembari membersihkan si boy.
Setelah bersih, pria itu kembali ke dalam kamar, sembari membawa handuk kecil yang telah ia siram dengan air hangat.
Dengan hati-hati William membersihkan si girl. Panggilan yang William buat untuk milik Regina.
“Girl.. you’re so damn hot..”
Setelah bersih, William kembali membawa handuk itu kedalam kamar mandi. Dan pria itu pun bergabung bersama Regina ke alam mimpi.
“I love you..Hon.” Bisiknya di atas kepala sang sekretaris. Tak lupa melabuhkan sebuah kecupan hangat di sana.
Regina hanya menggeliat, dalam terpejamnya, wanita itu memeluk erat pinggang William, menenggelamkan wajahnya pada dada bidang pria itu.
William tersenyum, ia mengusap lembut punggung polos wanitanya.
Saat hendak memejamkan mata, ponsel di atas nakas di sampingnya berdering, dengan cepat William meraihnya. Agar tidur Regina tak terusik.
“Ya, ma?” Jawab William berbisik, setelah melihat nama sang mama di layar ponsel.
“Kenapa menelpon tengah malam begini? Mama tidak tidur?” Tanyanya lagi.
“Mama baru mau tidur, tadi habis di ganggu papamu.” Ucap nyonya Aurel dari seberang.
William mencebik mendengar ucapan sang mama. Ia tau maksud ucapan wanita yang telah melahirkannya itu. Bagaimana dia tidak memiliki kebutuhan batin yang besar, jika kedua orang tuanya sendiri yang mewarisi.
“Ingat umur, ma.”
“Namanya juga puber kedua.” Jawab nyonya Aurel terkekeh. “Kamu dimana? Kenapa tidak pulang?” Lanjutnya lagi.
“Aku tidur di apartemen, ma.”
“Kenapa sekarang jadi sering tidur di apartemen? Sudah bosan tidur dirumah?”
William memijat pangkal hidungnya. Kenapa mamanya begitu cerewet?
“Ma, pulang kantor aku harus ke klub, dari klub lebih dekat ke apartemen daripada ke rumah. Besok pagi, aku juga harus ke kantor lagi.” Dusta William.
“Kenapa kamu berbisik seperti itu? Apa kamu sedang tidur bersama seseorang? Apa seorang wanita? Pacarmu? Atau wanita bayaran mu?”
William menjauhkan benda pipih itu dari telinganya.
“Ma, ini sudah malam, salah! Lebih tepatnya ini sudah pagi. Aku lelah, ma. Aku mau tidur.”
“Hei.. Willi—.”
William mematikan panggilan telepon terlebih dulu. Ia tidak perduli, dengan mamanya yang sedang mengomel di seberang sana.
******
Waktu menujukkan pukul 7 pagi, Alvino pun kembali menyambangi rumah kontrakan sang kekasih. Namun rumah itu masih seperti kemarin. Kosong tak berpenghuni.
Pria itu mencoba menghubungi Regina kembali. Namun hasilnya tetap sama, wanita itu tidak menjawab panggilan telpon darinya.
“Sayang, kamu dimana?” Ucap Alvino lirih. Tak ada orang di sekitar rumah itu yang bisa ia tanyai.
Para penghuni kontrakan di sekitarnya tidak terlalu berbaur dengan penghuni lainnya. Mereka bersikap masa bodo. Dan tidak terlalu ikut campur urusan orang lain.
Alvino hendak mencari Regina ke tempat wanita itu bekerja, namun denting ponsel menghentikan langkahnya.
“Pak, pagi ini kita ada pertemuan dengan klien dari luar kota.”
Sebuah pesan masuk dari Tamara membuat Alvino mengurungkan niatnya mencari Regina. Ia pun bergegas menuju kantor sendiri.
****
“Apa rahang mu masih sakit, Hon?” Tanya William sembari mendekap pinggang Regina dari belakang.
Mereka sedang berada di meja makan, dengan Regina yang sedang sibuk menata isian sandwich, di atas piring.
“Sudah tidak.”
“Kalau masih sakit, kamu libur saja hari ini.”
“Mm, tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Lagi pula, pekerjaan kita sedang banyak-banyaknya kan? Nanti saja ambil liburnya.”
William menggangguk patuh. Kemudian mengambil tempat duduk, untuk memulai sarapannya.
“Tetapi jika kamu merasa sakit, katakan ya? Aku tidak mau kamu sampai kenapa-napa.”
“Iya, pak bos.” Jawab Regina tersenyum.
Setelah 15 menit menikmati makan paginya, pasangan direktur dan sekretaris itu, bergegas meninggalkan apartemen. Namun, langkah mereka terpaku, kala mendapati nyonya Aurel di depan pintu.
“Yang mulia ratu?”
“Nyonya Antony?”
Ucap William dan Regina bersamaan. Mereka berdua saling menatap satu sama lain. Gugup! Kedua orang itu di landa kegugupan, mereka seperti pasangan selingkuh yang di labrak oleh pasangan sah.
William merasa bulir-bulir air mulai keluar dari pori-pori kulitnya.
“Regina? Kamu disini?”
“H-Hah, i-iya, nyonya.” Jawab Regina terbata. Lidahnya seakan kelu.
“Apa kalian sudah terlambat? Boleh mama masuk sebentar?” Tanya wanita paruh baya itu, namun kakinya tetap melangkah, menerobos dua orang yang sedang mematung di ambang pintu.
“Astaga.” William berbalik, mendekat ke arah sang mama.
“Ada apa pagi-pagi sudah kemari, ma?” Ia tidak menyangka mamanya akan datang karena mencurigainya tidur dengan seorang wanita.
“Mama membawakan kamu sarapan.” Ucap nyonya Aurel sembari memperlihatkan tas kain berisi kotak makanan.
“Tetapi, sepertinya kamu sudah sarapan? Kamu sudah siap ke kantor.”
William mengangguk. “Ya, Regina yang membuatkan aku sarapan.”
“Ah ya, apa kamu membuat sarapan di rumah mu, Re?” Tanya mama William itu ke arah Regina.
Kepala Regina menggeleng. Namun sedetik kemudian ia menyadari kebodohannya.
“A-aku membuat sarapan di sini, nyonya. Aku datang jam 6 tadi.” Wanita itu berdusta kepada ibu atasannya.
‘Semoga nyonya Antony percaya.’
“Iya ma, aku memintanya datang untuk membuat sarapan.” Dukung William.
Nyonya Aurel mengangguk. “Ya sudah. Mama bawa pulang saja sarapan ini lagi.” Ucapnya lesu.
“Jangan, nyonya. Untuk ku saja. Nanti bisa aku makan saat makan siang.” Regina tau, itu pasti isinya nasi goreng, atau nasi lainnya.
“Kamu mau?”
Regina mengangguk. Nyonya Aurel pun menyerahkan tas bekal itu kepada Regina.
Istri pak Antony itu meneliti ruangan apartemen sang putra, meski ia tau alamat dan nomor unitnya, namun ini baru pertama kali nyonya Aurel menginjakkan kakinya di tempat tinggal William.
“Ya sudah. Kalian boleh berangkat. Mama mau di sini dulu, melihat-lihat.”
Mata William membola mendengar ucapan sang mama. Ia tidak bisa membiarkan ibunya tetap berada disana sendirian. Di kamarnya ada barang-barang wanita.
“Ma,. Mama pulang saja dulu. Melihat-lihat apartemen ku nanti saja, saat aku libur.” William mendekat ke arah sang mama.
“Katanya di gedung ini. Ada pekerja yang meninggal saat pembangunan gedung ini. Yang aku dengar-dengar, arwahnya masih suka berkeliaran, aku takut nanti—
“Stop, kamu jangan teruskan. Mama mau pulang saja.” Nyonya Aurel bergegas. Ia sangat takut dengan hal-hal yang berbau horor.
“Terima kasih, bekalnya nyonya.” Ucap Regina.
“Iya. Nanti lain kali mampir ke rumah, kita masak bersama.” Setelah mengucapkan itu, nyonya Aurel pun menghilang di balik pintu.
Dan William pun tak mampu menahan tawanya.
“Kamu jahat, kenapa membohongi mama mu?” Regina memukul lengan William.
“Aku tidak mungkin membiarkan mama disini sendiri. Bisa-bisa dia melihat barang-barang mu yang ada di kamar.”
Regina pun mengangguk paham. Mereka pun kembali tertawa bersama.
.
.
.
Bersambung.