Cinta Datang Dari Kakak Mantan
Langkah kaki Alisa begitu cepat dan menghentak tatkala menaiki tangga menuju kamar kos Diana. Mimpi buruk akan perselingkuhan antara Kaivan dan Diana yang selama ini ia tampik, menjadi kenyataan sejak mendapati pesan romantis mereka di ponsel kekasihnya.
Sesampainya di depan kamar kos sahabatnya, samar-samar Alisa mendengar suara tawa dua insan yang sedang bercinta. Amarah gadis bermata bulat dengan hidung bangir dan bibir merah jambu itu sudah di ujung tanduk. Tanpa berpikir lama, ia mendobrak pintu kamar kos Diana sampai pemandangan tak menyenangkan tampak nyata di depan matanya.
"A-Alisa?!" desis Diana terbelalak mendapati sahabatnya berdiri di ambang pintu. Ia segera menutupi tubuhnya dengan selimut, sembari mundur perlahan sampai punggungnya bersandar di tembok.
Adapun Kaivan yang mendadak panik oleh kehadiran calon istrinya, buru-buru merapikan celana. Secepatnya pemuda berparas tampan dengan cambang di kedua pipinya itu, menghampiri gadis berkulit putih yang masih terdiam di ambang pintu.
"A-Alisa ... Ada apa kamu datang ke mari?" tanya Kaivan terbata-bata, dengan gemetar memegang tangan Alisa.
Merasa jijik dengan perilaku kekasihnya, Alisa mengibaskan tangan dan berhasil melepaskan genggaman Kaivan. Matanya menyorot tajam pria yang memiliki postur tubuh tinggi tegap itu. Tanpa basa-basi, gadis itu menampar Kaivan hingga meninggalkan bekas merah di pipi sang kekasih.
"Apa kamu sudah gila, Kaivan? Pernikahan kita tinggal tiga hari lagi, tiga hari lagi! Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu ... kamu justru bermesraan dengan Diana?! Menjijikkan!" bentak Alisa dengan suara tinggi, sambil menunjuk-nunjuk kekasihnya. Air matanya menetes begitu saja membasahi pipi gadis yang dilanda kekecewaan itu.
Kaivan menghela napas, lalu memegang kedua pundak Alisa seraya berdalih, "Ini nggak seperti yang kamu lihat, sayang. Aku datang ke sini cuma buat ngobrol aja."
Dengan gusar, Alisa melepas tangan Kaivan dari pundaknya dan memelototi pria itu. "Kamu mau berasalan apa lagi, ha? Semuanya sudah jelas! Apa kamu pikir aku bakalan diam saja, gitu, melihat pesan nggak senonoh yang dikirim Diana ke hape kamu? Aku nggak sebodoh itu, Kaivan!" sungutnya.
Menyadari posisinya semakin terpojok, Kaivan yang gugup pun mengusap rambutnya dari dahi sampai belakang kepala. Napasnya tak beraturan. Tatapan tajam Alisa yang masih mengarah padanya, membuat pemuda itu sulit berpikir.
Tanpa basa-basi, Kaivan mendorong tubuh Alisa hingga terjatuh di teras kos. Perasaan kecewa dan amarah yang berkecamuk di dada Alisa, tak bisa ditahan lagi. Gadis itu menangis sejadi-jadinya, sembari berdiri dan menatap kedua sejoli yang telah menodai seluruh harapannya untuk mewujudkan pernikahan idaman.
"Tega kamu, Kaivan! Berani-beraninya kamu mendorongku hanya demi melindungi kelakuan busuk kamu sama Diana! Dasar bajingan!" sungut Alisa, sembari balas mendorong tubuh Kaivan.
"Alisa ... Tolong dengarkan penjelasan aku dulu. Semua ini nggak seperti yang kamu lihat. Kendalikan dulu amarah kamu. Jangan karena cemburu buta, kamu seenaknya berbuat kasar dan bentak-bentak orang gitu aja," sanggah Kaivan dengan suara tinggi.
Tak mau menghiraukan perkataan Kaivan, Alisa menyerobot masuk ke kamar kos itu. Tangannya menjambak rambut Diana, sampai gadis itu menjerit sekerasnya.
"Lepasin, Alisa! Kamu harus dengar penjelasan aku dulu!" Diana menjerit sambil berusaha melepas jambakan Alisa di rambutnya.
"Mau jelasin apa lagi, ha? Aku udah dengar semuanya! Dasar nggak tau malu! Kamu nggak ada bedanya sama cewek jalang di luaran sana," maki Alisa, semakin mengencangkan jambakannya di rambut Diana.
Menyadari situasi semakin kacau, Kaivan menghampiri dua gadis yang sedang berseteru itu dan menarik paksa tubuh Alisa. Jambakan di rambut Diana pun makin berkurang, hingga akhirnya terlepas.
Saking jengkelnya, Kaivan langsung menampar wajah Alisa. Ia memelototi gadis yang sedang dilanda kemarahan itu, sampai-sampai air mata Alisa kembali berderai akibat perlakuan kasar sang kekasih.
"Jadi ... kamu lebih milih Diana daripada aku?!" Alisa terbelalak. Tangannya memegangi pipi kanan yang perih akibat tamparan hebat dari Kaivan.
"Alisa, tolong mengertilah! Situasinya sangat rumit," pinta Kaivan dengan wajah memelas.
"Rumit katamu? Menikah denganku saat hatimu bersama orang lain? Mengizinkanku merencanakan masa depan kita, sementara kamu membangunnya dengan orang lain? Mana yang rumit, Kaivan? Kebohonganmu atau fakta bahwa kamu memang tidak pernah menginginkanku sepenuhnya?"
Kaivan menghela napas berat, kekalahan mulai terlihat di wajahnya. "Aku ... aku merasa tertekan. Oleh semua ini. Oleh ... oleh kamu."
Alisa mengernyitkan dahi, bingung dan sakit hati. "Olehku? Apa maksudmu? Aku selalu berusaha menjadi yang terbaik untukmu. Mendukungmu. Bahkan ... bahkan mengatur segalanya agar kamu nyaman, memastikan keuangan kita stabil—"
"Itu masalahnya, Alisa! Kamu selalu di depan! Kamu selalu lebih siap! Lebih sukses! Aku merasa ... kecil di sampingmu! Aku merasa seperti beban! Seperti ... seperti hanya mengandalkanmu!" potong Kaivan, suaranya terdengar lebih frustasi dan defensif.
Terpana Alisa mendengar penuturan Kaivan. Ia tertawa pelan, tawa tanpa kebahagiaan. "Jadi ... ini tentang egomu? Ketidakamananmu? Kamu menghancurkan hubungan kita, menghancurkan diriku, karena kamu merasa ... "kecil"? Dan caramu menghadapinya adalah ... ini? Dengan sahabatku?"
Kaivan mengalihkan pandangan, seraya berkata, "Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku ... aku merasa bisa bernapas saat bersamanya. Tidak ada tuntutan. Tidak ada perbandingan."
Alisa maju selangkah, matanya berkaca-kaca, tapi tidak ada air mata yang jatuh. Suaranya kembali rendah, penuh rasa sakit yang dalam. "Jadi semua cintaku ... semua pengorbananku ... semua mimpiku ... semua itu hanya ... beban bagimu? Aku hanya ATM bagimu? Seseorang yang kamu manfaatkan sampai kamu menemukan ... pelarian yang "lebih mudah"?"
Kaivan tetap diam, tidak mampu membantah tuduhan Alisa. Keheningan pemuda itu seakan membenarkan segalanya.
Alisa mengangguk perlahan, seolah semua kepingan teka-teki yang menyakitkan akhirnya tersusun lengkap. "Aku mengerti. Terima kasih, Kaivan. Terima kasih sudah menunjukkan padaku siapa kamu sebenarnya. Aku ... aku tidak akan pernah bisa melihatmu dengan cara yang sama lagi. Pernikahan itu ... jelas tidak akan terjadi. Ambil ... ambil apapun yang kamu inginkan dari barang-barang kita. Kecuali harga diriku. Itu tidak akan pernah bisa kamu sentuh."
Alisa berjalan pelan menuju pintu. Langkahnya tidak lagi cepat ataupun menghentak, tapi berat, seolah memikul beban yang tidak terlihat.
Sebelum benar-benar pergi, Alisa berhenti sejenak tanpa menoleh, suaranya terakhir kali terdengar begitu dingin. "Dan Diana ... kurasa kita sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dibicarakan. Selamat. Kalian berdua pantas mendapatkan satu sama lain."
Alisa bergegas pergi dari kos Diana, meninggalkan keheningan yang lebih berat dari sebelumnya. Setiap langkahnya diiringi goresan luka yang begitu perih menusuk-nusuk batinnya.
Ketika sampai di rumah, Alisa bergegas mengambil foto-foto prewedding bersama Kaivan dari kamarnya. Saking kecewanya, ia melempar setiap lembaran foto itu ke halaman rumah dan membakarnya. Perilakunya itu tentu saja menimbulkan keheranan di benak sang ibu yang akrab disapa Bu Rosa.
"Alisa, apa yang kamu lakukan? Bukannya foto-foto itu akan dipajang pada hari pernikahanmu nanti?" tanya Bu Rosa menatap lekat wajah muram putri semata wayangnya.
"Semuanya sudah berakhir, Bu. Pernikahan itu tidak akan pernah terjadi," jawab Alisa memandang kosong kobaran api yang melalap potret manis dirinya bersama Kaivan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments