Ayla, pegawai biasa yang diangkat menjadi resepsionis di perusahaan terkenal, terpaksa menjadi wanita malam demi biaya pengobatan adiknya. Di malam pertamanya, ia harus melayani pria yang tak disangka—bosnya sendiri. Berbeda penampilan, sang CEO tak mengenalinya, tapi justru terobsesi. Saat hidup Ayla mulai membaik dan ia berhenti dari pekerjaan gelapnya, sang bos justru terus mencari wanita misterius yang pernah bersamanya—tanpa tahu wanita itu ada di dekatnya setiap hari. Namun, skandal tersebut juga mengakibatkan Hana hamil anak bosnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Panas Lagi
Leo terbaring lelah di ranjang kamar yang telah dipersiapkan khusus untuknya. Entah angin apa yang membawanya ke tempat ini, namun ia ingin merasakan kembali malam yang pernah ia alami—malam yang entah mengapa terasa akrab sekaligus asing.
Ketukan halus terdengar di pintu, hanya sebentar, sebelum daun pintu itu perlahan terbuka, menampakkan sosok seorang wanita. Wajahnya terasa sedikit familiar di mata Leo. Tak butuh waktu lama baginya untuk menyadari bahwa wanita itu adalah sosok yang sama—wanita yang direkomendasikan langsung oleh atasannya.
Wanita itu melangkah masuk, lalu menutup pintu di belakangnya dengan tenang. Suara heels tinggi yang dikenakannya terdengar bergema, ritmenya penuh perhitungan saat ia perlahan mendekati Leo yang kini hanya bisa menatap, diam, namun penuh tanya.
Di wajah wanita itu, topeng hitam kecil masih bertengger manis, menutupi sebagian wajahnya, menyisakan misteri yang membuat Leo kian tak mampu menebak. Dengan gerakan yang begitu lembut sekaligus menggoda, wanita itu meraih dasi Leo, menariknya perlahan, kemudian mulai membuka satu per satu kancing bajunya.
Leo menelan ludah. Tubuhnya terasa tegang. Nafasnya mulai tak beraturan. Dan tanpa bisa ia kendalikan, sesuatu di balik celananya mulai mengeras, menunjukkan reaksi tubuh yang tak bisa disangkal oleh pikirannya sendiri.
"Mau sekarang saja, Tuan," bisik wanita itu dengan suara serak menggoda, sebelum bibirnya menggigit telinga Leo. Tanpa banyak jeda, ia mendekat, menyentuhkan bibirnya pada bibir Leo dalam kecupan panjang yang seolah menyedot kesadaran pria itu. Leo kehilangan keseimbangannya. Tangan pria itu bergerak reflek, menggenggam tengkuk wanita itu, menariknya lebih dekat dan memperdalam ciuman mereka.
Leo melumat bibir itu, penuh gairah yang menggebu. Lidahnya menyelusup masuk, mencari dan menaklukkan setiap sudut mulut wanita itu. Nafasnya memburu, dadanya naik turun cepat. Ia tak bisa lagi berpura-pura tenang—tak bisa menahan hasrat yang selama ini ia pendam. Ia juga pria normal, dan malam ini, tubuhnya menjawab lebih jujur daripada pikirannya.
Tangan Leo bergerak kasar, melepaskan pakaian wanita itu satu per satu, meninggalkannya nyaris tanpa busana. Namun topeng kecil itu tetap bertengger di wajahnya, menciptakan misteri yang justru semakin membakar ketertarikan Leo. Malam itu menjadi saksi bisu—malam panas yang kembali dirasakan Leo setelah sekian lama. Ia sendiri tak tahu, apa yang membuatnya begitu ingin mengalami malam itu lagi.
Waktu bergulir cepat. Berjam-jam mereka larut dalam gairah yang menderu, hingga akhirnya Leo terkulai lemas, tertidur di antara seprai yang berantakan. Sementara itu, wanita bertopeng itu bangkit, melangkah perlahan ke kamar mandi. Di sana, ia menanggalkan topengnya, mencuci wajahnya yang sedikit berkeringat, lalu mengganti pakaiannya menjadi lebih tertutup—menyembunyikan kembali sisi dirinya yang baru saja ditunjukkan hanya pada malam.
Saat hendak keluar dari kamar, langkah wanita itu sempat terhenti. Ia menoleh perlahan, menatap sejenak sosok Leo yang masih terbaring lemas di atas ranjang, tubuhnya setengah tertutup selimut, napasnya tertata, wajahnya tenang—seolah tak terjadi apa-apa. Tapi bagi wanita itu, banyak yang terjadi. Terlalu banyak.
"Aku kembali melayanimu, Pak Leo," gumamnya lirih, nyaris tak terdengar. Helaan napas berat keluar dari dadanya, seakan menumpahkan beban yang sedari tadi dipendam. Kalimat itu bukan sekadar pernyataan, melainkan pengingat getir bahwa dirinya kembali menjadi sesuatu yang pernah ia tinggalkan. Ya, wanita itu adalah Ayla.
Flashback On
Sepulang dari rumah sakit mengantar Ayla, Leo mengemudikan mobilnya. Tangan kirinya menggenggam setir dengan erat, sementara tangan kanan berulang kali menyentuh kening dan rambutnya—tanda jelas bahwa pikirannya sedang kacau. Ada kemarahan, ada kegelisahan, dan di antara semua itu, tubuhnya juga terasa panas, mendidih oleh sesuatu yang tak jelas bentuknya. Dia butuh pelampiasan. Dia butuh sesuatu yang bisa membuatnya lupa, walau untuk sementara waktu.
Bayangan Viola dan Vino melintas begitu saja, seperti luka lama yang kembali disayat. Ia memukul setir dengan keras, mengumpat pelan. Perasaan marah bercampur cemburu merambat cepat di tubuhnya. Dan di tengah kekacauan itu, satu-satunya yang terpikirkan oleh Leo adalah mencari pelarian—pelarian yang bisa memadamkan api dalam dadanya.
Tanpa pikir panjang, ia meraih ponsel dan menekan nomor yang sudah sangat dikenalnya. Sahabat lamanya, yang kini menjadi pengelola bisnis gelap, tempat di mana segala jenis “pelarian” bisa dipesan.
"Yang malam itu juga?" tanyanya dingin kepada seseorang dibalik telepon.
“Terserah,” jawab Leo cepat. “Tapi kau pasti tahu, aku menginginkan wanita yang seperti apa. Yang bersih, yang bukan sembarang dipakai, yang istimewa.” Suaranya terdengar dingin dan tegas, nyaris seperti perintah. Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, ia menutup telepon dan membelokkan arah mobilnya, mempercepat laju menuju tempat yang sudah ditentukan.
Leo tahu, sahabatnya itu mengerti. Mereka pernah membicarakan hal ini. Ia tidak menginginkan sekadar wanita. Ia ingin seseorang yang bisa membuatnya merasa benar-benar berbeda. Seseorang yang... spesial. Walaupun ia tahu, dalam dunia itu, “spesial” adalah istilah yang mahal.
Sementara itu, Ayla menatap nama mamy jenny yang meneleponnya. Dia cukup kaget mengapa mamy jenny tiba tiba menelponnya. Sejak hari itu, ia tidak pernah lagi dihubungi perempuan itu, mantan “atasannya” ketika dulu ia terpaksa bekerja paruh waktu demi bertahan hidup. Sejak saat itu pula ia memutuskan untuk keluar, berjanji pada dirinya sendiri untuk tak kembali menapaki jalan itu.
Dengan ragu, ia mengangkat panggilan tersebut. Suara Mama Jenny di seberang terdengar sama seperti dulu—tegas, to the point, dan selalu berisi tawaran yang sukar ditolak. Ayla mendengarkan dalam diam, membiarkan kalimat demi kalimat masuk ke dalam telinganya, lalu menyesak di dada.
Dia diminta kembali. Diminta menemui seorang pria. Pria yang… sama. Leo.
Ayla terdiam lama. Hatinya bergetar hebat. Rasa takut dan malu berkecamuk, apalagi harus bertemu lagi dengan pria itu. Tapi bersamaan dengan itu, wajah adiknya kembali membayang. Suara dokter yang mengatakan bahwa operasi harus segera dilakukan, juga terus terngiang. Ini bukan soal gengsi, bukan soal harga diri, tapi soal nyawa. Dan kadang, ketika hidup menekan terlalu keras, pilihan yang tersedia tak pernah benar-benar bisa disebut sebagai pilihan.
Dengan tangan yang gemetar, Ayla akhirnya menjawab pelan, “Baik, Ma. Aku terima.”
Flashback Off