Demi menghindari perjodohan, Cakra nekat kabur ke sebuah vila- milik keluarga sahabatnya yang terletak di daerah pelosok Bandung.
Namun, takdir malah mempertemukannya dengan seorang gadis dengan kondisi tubuh yang tidak sempurna bernama Hanum.
Terdesak karena keberadaannya yang sudah diketahui, Cakra pun meminta pada Hanum untuk menikah dengannya, supaya orang tuanya tak ada alasan lagi untuk terus memaksa menjodohkannya.
Hanum sendiri hanyalah seorang gadis yatim piatu yang sangat membutuhkan sosok seorang pelindung. Maka, Hanum tidak bisa menolak saat pria itu menawarkan sebuah pernikahan dan berjanji akan mencintainya.
Lalu, apa yang akan Cakra lakukan saat ia mengetahui bahwa perempuan yang akan di jodohkan dengannya itu adalah sosok yang ia cintai di masa lalu?
Lantas bagaimana nasib Hanum kedepannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tinta Hitam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Ada Pilihan
Dengan ragu Cakra mengajak Hanum untuk mendekati papanya, dengan diikuti oleh Cecilia di belakang dengan perasaan was-was.
Arya menyoroti keduanya datar, namun, saat melirik Hanum tatapan tidak suka itu terlihat begitu jelas sekali. Membuat Hanum segera menurunkan pandangannya karena takut.
Lain lagi dengan Liliana yang masih setia memunggungi, menyibukkan diri mengaduk-aduk sayur sup bening. Tanpa ada niatan menyapa anak dan menantunya ini.
Menantu? Sampai kapanpun Liliana tidak akan pernah sudi menganggap perempuan cacat itu sebagai menantunya.
"Papa, gimana keadaannya?" tanya Cakra bermaksud basa-basi, sekaligus mengalihkan perhatian papanya yang tengah menatap sinis istrinya.
"Seperti yang kamu lihat." jawab Arya sinis, seraya mengalihkan tatapannya pada sang putra yang sudah ia cap sebagai anak durhaka.
Cakra berdeham, tangannya yang sedari tadi tidak lepas menggenggam jari jemari Hanum semakin ia genggam erat.
"Maaf- karena Cakra papa jadi seperti ini." Cakra menundukkan kepalanya penuh sesal.
Arya pun memutuskan tatapannya, dan memandang ke arah depan dengan tatapan kosong. "Tidak ada gunanya meminta maaf. Kamu benar-benar sudah membuat kami kecewa, Cakra." kata Arya sarat akan kesedihan dan kemarahan.
Cakra menaikkan pandangannya lagi. "Cakra akui, Cakra salah, pa. Sekali lagi Cakra minta maaf. Walaupun mungkin papa gak akan pernah mau maafin Cakra."
"Papa bisa saja maafkan kamu. Tapi dengan syarat..."
Terdiam, Cakra menunggu ucapan papanya dengan was-was, tiba-tiba perasaannya menjadi tidak enak.
Arya menatap putranya tajam. "Dengan syarat, kamu harus menikah dengan perempuan pilihan papa-"
"Pa!" potong Cakra cepat.
Bagaimana bisa papanya berkata seringan itu, apalagi dihadapannya juga ada Hanum yang turut mendengarkannya.
Hanum sendiri jantungnya sudah berdetak begitu cepat. Kalimat barusan bagaikan bom yang baru saja di ledakan dengan jarak tak jauh darinya, dan itu membuat jatuhnya berdebar menyesakkan.
"Pa, hargai perasaan Hanum. Walau bagaimanapun, sekarang Hanum adalah menantu papa mama. Jadi Cecil minta, terima kehadiran Hanum di keluarga kita." Cecilia turut buka suara karena ucapan papanya barusan benar-benar kelewatan.
"Diam Cecil! Kamu tidak perlu ikut campur dalam urusan ini!" titah Arya tegas.
"Tapi pa-"
"Diam, papa bilang!" sentak Arya membuat dadanya seketika berdenyut sakit.
"Pa!" Liliana langsung khawatir melihat ekspresi kesakitan suaminya itu. "Pa, tenang pa, tarik nafas pelan-pelan ya? Hembuskan.." Liliana terus memberikan instruksi dan diikuti oleh Arya dengan patuh, sampai suaminya terlihat tenang kembali.
Cecil pun turut membantu- mengelus-elus dada kiri papanya dengan ekspresi panik dan rasa bersalah.
Setelah suaminya dirasa baikan, Liliana pun langsung berbalik dan menatap keduanya tajam. "Lebih baik kamu pergi Cakra dan bawa perempuan ini. Keberadaan kalian disini hanya akan membuat keadaan papa kamu menjadi buruk."
"Cakra minta maaf, Ma. Cakra gak bermaksud. Tapi papa juga salah karena ngomong yang enggak-enggak apalagi dihadapan Hanum-"
"Hanum, Hanum Hanuuuum terus yang ada dipikiran kamu! Kalau yang kamu pikirkan hanyalah dia, ya sudah! Bawa pergi saja perempuan ini! Dan jangan lagi pedulikan kami!"
"Ma! Bukan begitu-"
"Baik, kami akan maafkan kamu, Cakra. Tapi kamu harus menuruti permintaan kami, kemarin. Kamu harus tinggal di rumah." Arya menengahi.
Cakra sedikit terhenyak. Itu bukan pilihan baik, pikirnya.
Cakra ingin menyela. Tapi melihat anggukan kakaknya dengan tatapan yang sarat akan permohonan, Cakra pun dengan berat hati mengangguk.
"Apa kamu keberatan, kita tinggal di rumah papa?" bisik Cakra pada Hanum yang sedari tadi setia menatap lantai.
Jujur, Hanum sangat keberatan. Ia takut dengan kedua orang tua Cakra karena mereka jelas sekali sangat tidak menyukainya. Terlebih ia sudah merasa nyaman tinggal di apartement Cakra.
Tapi mau bagaimana lagi. Hanum tidak ada hak untuk menolak. Apalagi sekarang dihadapannya ada kedua mertuanya yang turut memerhatikan nya.
Dengan ragu Hanum pun mengangguk. Namun, anggukan itu tak membuat Cakra merasa senang, justru ia dibuat khawatir dengan segala prasangka nya.
Arya dan Liliana merasakan senang, namun, mereka menyembunyikan kesenangan itu lewat ekspresinya yang datar.
"Mulai besok kalian harus segera pindah." pinta Arya yang lebih terdengar memerintah.
Lagi dan lagi Cakra hanya bisa mengangguk saja. Ia harus mengenyahkan pikiran-pikiran negatifnya. Untuk saat ini Cakra hanya perlu menuruti agar keadaan papanya tidak memburuk.
Dirasa keadaan sudah kondusif, Cecilia berinisiatif membawa Hanum duduk di sofa dan diikuti oleh Cakra. Sedangkan Liliana kembali menghadap suaminya untuk melanjutkan kembali menyuapi makan yang sempat tertunda seraya menyunggingkan senyum miring yang dibalas sama oleh Arya, tentunya tanpa disadari ketiga orang itu.
Cecilia mengajak adik serta iparnya itu untuk bicara agar suasana terasa lebih hangat.
Sembari ngobrol, Cecilia mengupas buah apel yang barusan dibawa oleh Cakra. Hanum pun menawarkan diri membantu dan langsung diperbolehkan oleh kakak iparnya itu.
Tak lama kemudian, pintu terbuka dari luar lalu muncullah perempuan yang beberapa hari ini selalu mengganggu Cakra baik di kampus maupun di handphonenya.
Siapa lagi kalau bukan Clara.
Reflek, Cakra menarik tangannya yang melingkar di pinggang Hanum.
"Caka!? Kamu ada disini!? Terus kenapa kamu gak ngajak aku bareng kesini, tadi?" tanya Clara senang seraya duduk disisi lain Cakra.
Cakra panik- lebih ke risih. Sedangkan Hanum dibuat bertanya-tanya tentang siapa perempuan ini? Sepertinya sangat akrab dengan Cakra.
Disisi lain kedua orang tua Clara hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan putrinya itu. Keduanya pun segera menghampiri Arya dan Liliana yang menyambutnya dengan sangat ramah.
"Bisa geser gak?" pinta Cakra tajam.
"Ah, maaf. Aku kesenengan soalnya." kekeh Clara seraya bergeser sedikit.
Cakra memutar bola matanya malas, lalu ikut bergeser mepet pada Hanum.
"Siapa?" tanya Hanum berbisik. Namun, Cakra seperti tak ada niatan untuk menjawab.
"Hanum, mau jeruk?" Cecilia mencoba menarik perhatian adik iparnya.
Cecil pun turut kebingungan dalam situasi ini. Sebab ia jelas tahu bahwa Clara adalah perempuan yang berniat akan dijodohkan dengan Cakra.
"E-enggak kak."jawab Hanum kikuk.
"Oh iya, sepulang dari sini kita nge-mall yuk. Sebagai perkenalan kita, kakak mau traktir kamu belanja. Mau kan!?" tawar Cecil.
"Tapi ..."
"Udah, gak ada tapi-tapian. Boleh kan Cakra?"
Cakra pun mengangguk seraya tersenyum tipis. "Aku bakalan ikut kok." katanya melihat keraguan istrinya.
"Dia siapa?" tanya Clara yang sedari tadi memperhatikan interaksi ketiganya.
Perhatian Clara tertuju pada kaki Hanum yang hanya ada satu.
Kakinya buntung ya? batinnya.
Karena Cakra seperti tak ada niatan untuk menjawab, apalagi Hanum. Cecilia pun mewakili.
"Oh iya Clara. Kenalin ini Hanum, adik ipar kakak. Istrinya Cakra." ucap Cecilia ringan dengan berusaha di tekan kan.
Melihat perubahan ekspresi gadis itu tak membuat Cecil merasa bersalah. Justru itu bagus. Kalau Clara tahu, ada kemungkinan gadis itu akan membatalkan rencana perjodohan itu.
Raut syok Clara tidak dapat di sembunyikan. Perempuan itu benar-benar sangat terkejut. Istri Cakra?
Kapan Cakra menikah!? Itu tidak mungkin, kan?
"Kak Cecil jangan becanda deh. Gak lucu tau." Clara berusaha mengelak sembari tersenyum paksa.
"Siapa yang becanda? Kakak serius kok. Ini istrinya Cakra, namanya Hanum. Kalo kamu gak percaya tanya aja langsung sama Cakra. Iya kan, Cak?"
Clara langsung melirik Cakra seakan meminta kebenaran langsung dari pria itu. Namun, hingga beberapa saat Cakra hanya diam, dan itu membuat Cecil kesal.
Sedangkan Hanum masih dibuat bertanya-tanya, siapa sebenarnya perempuan ini? Kenapa sepertinya sangat dekat sekali dengan Cakra dan Cecilia? Ingin menanyakan langsung pada iparnya, tapi Hanum tidak berani.
Apa mungkin dia...
"Caka?" Clara menunggu jawaban.
"Iya," jawab Cakra singkat lalu beranjak keluar begitu saja tanpa mengatakan apapun pada Hanum.
JANGAN LUPA LIKE DAN KOMEN