Arsyan Al Ghazali, seorang ustadz muda tampan, dikenal karena keteguhan imannya, kefasihannya dalam berdakwah, dan pesona yang membuat banyak wanita terpesona. Namun, ia tak pernah tergoda dengan pujian atau perhatian dari lawan jenis. Baginya, agama dan dakwah adalah prioritas utama.
Di sisi lain, Nayla Putri Adinata adalah gadis liar dari keluarga konglomerat yang gemar berpesta, bolos kuliah, dan menghabiskan malam di klub. Orang tuanya yang sudah lelah dengan tingkah Nayla akhirnya mengirimnya ke pesantren agar dia berubah. Namun, Nayla justru membuat onar di sana, bersikap kasar kepada para santri, dan berusaha melawan aturan.
Segalanya berubah ketika Nayla berhadapan dengan Al Ghazali, ustadz muda yang mengajarkan ilmu agama di pesantren tersebut. Awalnya, Nayla merasa jijik dengan semua aturan dan ceramahnya, tetapi pesona ketenangan serta ketegasan Al Ghazali justru membuatnya semakin penasaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merasa Minder
Begitu mendengar ucapan Al, “Karena aku bakal terus curi-curi waktu buat manjain istri yang katanya cuma satu-satunya itu,” Nayla langsung mengernyit pelan.
“Hei… turunin aku sekarang!” katanya tiba-tiba.
Al berhenti melangkah, bingung. “Lho, kenapa?”
“Turunin dulu,” ucap Nayla tegas namun tetap dalam nada manja.
Dengan hati-hati Al menurunkan Nayla, yang kemudian langsung berbalik menatapnya dengan mata berbinar dan alis terangkat.
“Tadi kamu bilang katanya istri satu-satunya?” ulang Nayla dengan nada menggoda.
Al tertawa kecil, menyadari kesalahannya. “Iya iya, salah ucap… maksudnya istri satu-satunya yang nggak akan tergantikan. Nggak ada katanya.”
Nayla tersenyum puas, “Bagus. Aku ini bukan cuma katanya… tapi satu-satunya beneran. Jadi jangan sampai ada yang coba-coba.”
Al pun mengangguk pelan, lalu menarik pinggang Nayla mendekat. “Kalau ada yang coba-coba, langsung aku tolak. Istri ustadz cuma satu… dan dia lagi di depan aku sekarang, senyumnya udah cukup bikin aku lupa dunia.”
Nayla menunduk malu tapi bahagia. “Yuk masuk… nanti tetangga lihat, bisa baper.”
Mereka tertawa bersama dan masuk ke rumah, suasana hangat terus menyelimuti keduanya.
Waktu maghrib tiba, suasana rumah yang biasanya penuh canda tawa terasa sedikit berbeda. Al yang baru saja selesai iqamah dan hendak mengimami sholat, melirik Nayla yang terlihat murung sambil menatap sajadah tanpa suara.
Selesai sholat, Al menoleh dan menyentuh tangan Nayla lembut. “Kamu kenapa, Nay?”
Nayla menarik napas pelan, lalu menatap suaminya dengan mata sedikit berkaca. “Aku… kangen Abi sama Ummi. Udah lama gak pulang…”
Al mengangguk penuh pengertian, lalu membelai lembut kepala Nayla. “Kenapa gak bilang dari kemarin? Besok kita berangkat, ya? Atau malam ini sekalian? Aku ikut kamu.”
Nayla langsung menatap Al, terharu. “Beneran, Al?”
“Ustadz kamu ini kan punya motor dan cinta, jadi bisa ke mana aja asal sama kamu,” jawab Al sambil tersenyum tenang.
Akhirnya, malam itu mereka bersiap pergi ke kota, ke rumah Pak Faisal Armand, ayah Nayla. Sepanjang perjalanan, Nayla bersandar di punggung Al, memeluk erat, merasakan ketenangan dalam pelukan kasih seorang suami yang kini bukan hanya guru, tapi rumah bagi rindunya.
Setelah satu jam perjalanan, motor Al akhirnya berhenti di sebuah warung kopi pinggir jalan yang dikelilingi pepohonan rindang dan lampu remang-remang yang menenangkan. Suasana desa yang sejuk membuat tempat itu terasa seperti oase kecil di tengah perjalanan mereka.
Al memarkir motor, lalu membuka helm Nayla dengan lembut. “Kita istirahat sebentar, ya? Biar gak pegel,” katanya sambil tersenyum.
Nayla mengangguk penuh semangat, matanya berbinar. Ia duduk di bangku kayu panjang, menatap langit yang mulai gelap dengan bintang-bintang kecil bermunculan. “Aku suka suasana kayak gini, tenang… dan ada kamu,” ucapnya sambil menyandarkan kepala ke bahu Al.
Al hanya tertawa kecil, memesan dua kopi hitam dan sepotong pisang goreng yang baru matang. Aroma kopi menyatu dengan angin malam, membuat momen itu semakin hangat.
“Aku gak nyangka bisa bahagia kayak gini,” ujar Nayla pelan, menatap wajah suaminya yang tampak damai menyesap kopi.
Al menoleh dan menatap Nayla dalam. “Dan aku gak nyangka kalau perempuan yang dulu cuek dan jutek itu bisa jadi istri manja kayak sekarang.”
Nayla langsung mencubit pelan lengan Al sambil tertawa geli.
Setelah satu jam perjalanan, motor Al akhirnya berhenti di sebuah warung kopi pinggir jalan yang dikelilingi pepohonan rindang dan lampu remang-remang yang menenangkan. Suasana desa yang sejuk membuat tempat itu terasa seperti oase kecil di tengah perjalanan mereka.
Al memarkir motor, lalu membuka helm Nayla dengan lembut. “Kita istirahat sebentar, ya? Biar gak pegel,” katanya sambil tersenyum.
Nayla mengangguk penuh semangat, matanya berbinar. Ia duduk di bangku kayu panjang, menatap langit yang mulai gelap dengan bintang-bintang kecil bermunculan. “Aku suka suasana kayak gini, tenang… dan ada kamu,” ucapnya sambil menyandarkan kepala ke bahu Al.
Al hanya tertawa kecil, memesan dua kopi hitam dan sepotong pisang goreng yang baru matang. Aroma kopi menyatu dengan angin malam, membuat momen itu semakin hangat.
“Aku gak nyangka bisa bahagia kayak gini,” ujar Nayla pelan, menatap wajah suaminya yang tampak damai menyesap kopi.
Al menoleh dan menatap Nayla dalam. “Dan aku gak nyangka kalau perempuan yang dulu cuek dan jutek itu bisa jadi istri manja kayak sekarang.”
Nayla langsung mencubit pelan lengan Al sambil tertawa geli.
Begitu perjalanan dilanjutkan dan lampu-lampu kota mulai terlihat, motor Al memasuki kawasan perumahan elit. Gerbang besar otomatis terbuka, menampilkan rumah mewah bertingkat dua dengan taman terawat dan lampu-lampu taman yang indah menyala.
Al memarkir motornya di halaman depan. Pandangannya menelusuri fasad rumah yang megah. Ia menelan ludah perlahan. Rasa minder perlahan muncul. Sepatunya terasa lebih berat saat melangkah.
Nayla menyadari perubahan ekspresi suaminya. Ia menggenggam tangan Al dan menatapnya lembut.
“Jangan merasa rendah diri, Al… Kamu itu imamku. Ayah pasti senang lihat aku datang dengan suamiku yang baik, saleh, dan tulus.”
Al tersenyum tipis, meski tetap gugup. “Rumahmu kayak istana, Nay… Pantas kamu kaget pas pertama ke rumah kontrakan kita.”
Nayla tersenyum, menggeleng pelan. “Justru itu aku kagum. Kamu tetap tenang, tetap berwibawa meskipun jauh dari kemewahan. Dan itu… lebih berharga buat aku.”
Pintu rumah terbuka, dan Pak Faisal—ayah Nayla—muncul dengan senyum lebar.
“Nayla… Alhamdulillah kalian datang juga! Masuk, ayo…”
Al mencium tangan mertuanya dengan sopan dan menunduk hormat.
“Assalamu’alaikum, Pak…”
“Wa’alaikumussalam… Kamu pasti Al, ya? Masuk, anggap aja rumah sendiri,” ujar Pak Faisal ramah, walau tatapannya masih penuh penilaian.
Nayla menggandeng Al masuk ke rumah. Hatinya berdebar—bukan karena rumah mewah itu, tapi karena ingin agar suaminya merasa diterima.
Mau dilanjutin dengan interaksi Al dengan keluarga Nayla? Atau ada ide konflik kecil biar lebih seru?
Pak Faisal tak henti-hentinya memperhatikan putrinya yang kini duduk di ruang tamu dengan anggun, mengenakan gamis sederhana dan hijab syar’i yang rapi. Sorot matanya lembut, pembawaannya tenang, dan tutur katanya terasa jauh lebih dewasa dari sebelumnya.
“Subhanallah…” ucap Pak Faisal lirih, sambil menatap Nayla yang tengah menuangkan teh untuknya.
Nayla tersenyum. “Kenapa, Yah?”
“Kamu berubah banget, Nak… Dulu Nayla itu keras kepala, apa-apa selalu pakai emosi. Sekarang… kamu keliatan tenang, penuh wibawa. Ayah senang sekali lihat kamu kayak gini.”
Al yang duduk di sebelah Nayla, menunduk sopan, tak berani menyela. Tapi Pak Faisal malah menepuk pundaknya pelan.
“Itu semua pasti karena kamu, Al. Kamu bimbing dia dengan sabar, ya?”
Al mengangguk pelan. “Saya hanya berusaha menjalankan amanah, Pak. Nayla itu perempuan yang istimewa… Saya yang justru banyak belajar dari dia.”
Nayla melirik Al cepat-cepat, pipinya merona.
Pak Faisal tertawa senang. “Masya Allah… kalau begini, ayah jadi makin yakin. Al itu bukan sekadar menantu, tapi juga berkah buat keluarga kita.”
Seketika suasana hangat dan penuh kebahagiaan terasa di ruang tamu. Al merasa lebih lega. Minder yang tadi mengusik hatinya mulai hilang, digantikan rasa syukur.