Maelon Herlambang - Pria, 16 Tahun.
Dibesarkan di lapisan pertama, panti asuhan Gema Harapan, kota Teralis. Di sekeliling kota ditutupi banyak tembok besar untuk mencegah monster. Maelon dikhianati oleh teman yang dia lindungi, Alaya. Sekarang dia dibuang dari kota itu dan menjadi umpan monster, Apakah Maelon bisa bertahan hidup didunia yang brutal dan tidak mengenal ampun ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Tawaran Yang Mencurigakan
Mereka saling menatap. Hening. Hanya suara reruntuhan yang merespons pertemuan itu—gema halus dari batu yang masih merosot, besi yang melenguh pelan di bawah panas yang baru saja reda.
Pria itu mengenakan jubah lusuh, penuh tambalan dari kulit dan besi ringan, tapi matanya tajam, terlalu tenang untuk orang biasa. Ia melangkah mendekat, satu tangan bersandar pada senjata berbentuk aneh di pinggangnya, seperti tabung logam dengan ukiran melingkar.
“Aetheron,” gumamnya, suaranya dalam dan perlahan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Sudah lama tidak merasakan ledakan seperti itu. Siapa namamu, anak muda?”
Maelon tidak menjawab. Tubuhnya masih memulihkan diri dari semburan energi tadi, tapi kekuatannya meningkat drastis. Ia bisa merasakannya, denyut yang konstan di bawah kulitnya, seperti darahnya telah bercampur dengan sesuatu yang lebih tua dari waktu. Tombaknya terangkat sedikit, tidak dalam ancaman, tapi sebagai pengingat bahwa ia tidak buta.
Pria itu tertawa kecil. “Kau masih dalam tahap pertama, bukan? Reah... retakan awal. Tapi sayangnya, retakan juga memanggil pengamat. Dan pemburu.”
“Siapa kau?” tanya Maelon, akhirnya.
“Nama tidak penting,” jawab pria itu ringan. “Tapi aku tahu apa yang baru saja kau buka. Dan sekarang, banyak yang juga tahu. Kau telah menandai dirimu sendiri—lagi.”
Maelon terdiam. Ia memikirkan tanda lama, kutukan dari makhluk itu, dan kini ledakan dari dalam tubuhnya sendiri. Semua meninggalkan jejak. Semesta seperti mencatat setiap napasnya.
“Aku bisa membantumU,” kata pria itu, “jika kau ikut denganku. Ada tempat di luar reruntuhan ini... tempat orang-orang sepertimu—pengguna Doctrina—berkumpul. Tidak semua dari mereka... waras. Tapi mereka tahu apa itu kekuatan. Dan bagaimana bertahan hidup di tengahnya.”
“Kenapa aku harus percaya padamu?” bisik Maelon.
Pria itu tak langsung menjawab. Ia hanya membuka sarung tangannya dan memperlihatkan telapak yang penuh luka bakar—dan di tengahnya, sebuah simbol yang samar tapi terbakar dalam: simbol Doctrina Aetheron. Tapi bentuknya... berbeda. Lebih rumit. Lebih tua.
“Karena aku pernah berada di tempatmu. Dan aku tahu bagaimana rasanya... saat kekuatan mulai berbicara dalam mimpi dan bisikan, saat tubuhmu menjadi medan perang antara kehendakmu sendiri dan sesuatu yang jauh lebih besar. Kau pikir kau bisa bertahan sendiri?” Ia mendekat satu langkah. “Maka lihat ke dalam dirimu malam ini. Lihat berapa banyak dari dirimu yang masih utuh.”
Hening kembali menyelimuti mereka. Maelon tidak menjawab, tidak pula menurunkan tombaknya.
Dan pria itu pun tidak mendesak. Ia hanya berbalik, berjalan menjauh, lalu melemparkan sebuah batu kecil ke tanah—batu dengan simbol Aetheron terukir samar. “Kalau kau masih hidup malam ini... cari aku di ujung sungai besi. Atau tetap di sini, dan tunggu mereka datang padamu.”
Lalu ia menghilang di balik kabut reruntuhan yang belum sepenuhnya reda.
Dan Maelon pun berdiri sendirian lagi... tapi tidak benar-benar sendiri. Karena bisikan dalam tubuhnya kembali terdengar—lebih keras dari sebelumnya.
Langkahnya ringan, nyaris tanpa suara. Maelon menyusuri reruntuhan yang perlahan mulai tenang setelah ledakan sebelumnya. Tanpa ia sadari, aura Aetheron dalam dirinya menyatu dengan bayangan dan gelap sekitarnya, membuatnya lebih sulit terlihat. Entah ini bagian dari kekuatan atau hanya refleks tubuh barunya, ia belum tahu. Yang jelas, sosok pria itu semakin jauh, tapi tidak terlalu cepat. Seolah sengaja membiarkan dirinya diikuti.
Maelon melewati lorong-lorong reruntuhan, menapaki tangga batu tua yang telah hancur sebagian. Setiap langkahnya membawa pertanyaan baru: siapa pria itu? Kenapa dia tahu tentang ritual ini? Dan mengapa tubuhnya terasa seolah dipanggil ke arah yang sama?
Mereka akhirnya tiba di sebuah cekungan dalam tanah, bekas kawah atau mungkin ruang purbakala yang telah ambruk ke dalam. Pria itu berhenti, menatap ke arah langit yang tertutup awan kelabu dan reruntuhan baja raksasa yang membentuk lengkungan seperti tulang makhluk purba. Di tengah tempat itu, berdiri tiang logam tua dengan lambang tak dikenal yang samar terbakar oleh waktu. Di sekelilingnya, tampak beberapa simbol yang tergurat dengan cara aneh, bukan pahat, tapi seolah terbentuk oleh gelombang atau tekanan energi.
Maelon menyembunyikan diri di balik pilar miring dan mengawasi. Pria itu merogoh saku dan mengeluarkan sesuatu—sepotong kristal berwarna biru pucat, berdenyut pelan. Aura Aetheron dalam Maelon langsung beresonansi, dadanya terasa sesak, tanda di tubuhnya berdenyut.
"Aetheron," gumam pria itu pelan, seolah berbicara pada kekosongan. "Salah satu dari sedikit kekuatan yang menolak tunduk. Tapi kalian semua akhirnya menyerah... kecuali dia."
Maelon nyaris melangkah maju, tapi tubuhnya membeku saat suara lain terdengar. Bukan suara pria itu—tapi suara dari bayang-bayang di belakangnya. Suara berat, tajam, namun tanpa emosi:
"Dia di sini."
Maelon menoleh perlahan. Sosok lain, mengenakan jubah hitam dengan topeng perak, berdiri di belakangnya. Mereka tidak sendirian. Dalam kegelapan reruntuhan, beberapa figur lain muncul, mengepung dari berbagai arah. Maelon sadar: ini bukan pertemuan kebetulan. Pria itu tidak meninggalkan jejak karena ceroboh. Ia memancingnya.
Dan kini, Maelon berada tepat di dalam lingkaran yang tidak ia mengerti. Sebuah percobaan? Ujian? Atau… pengorbanan?
Maelon berdiri diam di tengah, otot-ototnya tegang. Ia tahu ia dikepung, tapi tubuhnya kini lain dari sebelumnya—lebih kuat, lebih tajam, dan... lebih sadar. Aura Aetheron dalam dirinya bergetar hebat, seolah merespons tekanan dari para sosok bertopeng itu.
Salah satu dari mereka maju. Jubahnya hitam pekat seperti langit sebelum badai, dan topeng peraknya memantulkan cahaya yang nyaris tidak ada. Suaranya lembut tapi menusuk—seperti angin dingin yang menyusup ke dalam tulang.
“Maelon Herlambang,” ucapnya, tanpa ragu, “kau telah membuka Reah. Sedikit yang bisa bertahan sampai tahap itu tanpa bimbingan. Itu artinya kau... istimewa.”
Maelon tidak menjawab. Ia menatap lelaki itu, tangan kirinya perlahan bergerak ke sisi pinggang—siaga. Tapi sosok bertopeng hanya mengangkat tangannya perlahan, isyarat damai.
“Tenang. Kami tidak datang untuk membunuhmu. Belum.”
“Lalu kenapa kau memancingku ke sini?” tanya Maelon, suaranya rendah dan tajam.
“Untuk menawarkan pilihan,” jawab pria itu. “Kau memiliki sesuatu yang kami cari: potensi Aetheron yang masih murni. Tidak diracuni oleh doktrin, tidak dibentuk oleh sekte, tidak dikendalikan oleh sistem Lapsus resmi. Kau... liar. Dan kami... menyukai yang liar.”
Pria itu melangkah lebih dekat, dan suara-suara lain mulai terdengar dari para sosok bertopeng di sekitarnya. Bukan kata-kata, tapi bisikan—berlapis, bergema, seperti suara dari dasar gua atau ruang mimpi yang retak.
“Kau bisa bergabung dengan kami,” lanjutnya. “Kami bukan sekadar pengguna Doctrina. Kami adalah mereka yang menolak tatanan. Kami adalah bagian dari arus bawah—pengembara, pengumpul, dan... pemakan kekuatan.”
Bisikan itu semakin keras, hampir menyatu dengan tanda Aetheron di tubuh Maelon, membuatnya menggigil.
“Bergabunglah, dan kau akan belajar lebih cepat. Tingkatmu akan naik. Reah hanyalah awal. Kami bisa membimbingmu ke Drevaal, bahkan ke Calvereth—lebih cepat daripada jalur resmi. Tapi... tentu saja, semua kekuatan menuntut sesuatu.”
Maelon menatapnya tajam. “Apa yang kalian inginkan dariku?”
Topeng itu mendekat, nyaris menempel.
“Kesetiaan. Untuk saat ini.”
Dan di balik bisikan itu, di balik kata-kata yang tampak manis, Maelon merasakan sesuatu yang lebih tua, lebih dalam, dan lebih kelam dari sekadar organisasi rahasia. Ini bukan hanya tawaran—ini adalah awal dari rantai panjang yang akan menyeretnya ke kedalaman yang tidak bisa ia bayangkan.