🍁Ketika kesetiaan diragukan, nasib rumah tangga pun mulai dipertaruhkan.
-
-
Bukan pernikahan impian melainkan sebuah perjodohan. Aini harus menikah dengan anak dari sahabat lama Ayahnya atas permintaan sang Ayah yang tengah terbaring lemah dirumah sakit.
Berbeda dengan Aini yang berusaha menerima, Daffa justru sebaliknya. Dinginnya sikap Daffa sudah ditunjukkan sejak awal pernikahan. Meskipun begitu Aini tetap mencoba untuk bertahan, dengan harapan mereka bisa menjadi keluarga yang samawa dan dapat menggapai surga bersama.
Dan ketika cinta itu mulai hadir, masa lalu datang sebagai penghalang. Keutuhan cinta pun mulai dipertanyakan. Mampukah Aini bertahan ditengah cobaan yang terus menguji kesabaran serta mempertahankan keutuhan rumah tangganya?
📝___ Dilarang boom like, menumpuk bab apalagi sampai kasih rating jelek tanpa alasan yang jelas. Silahkan membaca dan mohon tinggalkan jejak. Terimakasih 🙏🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fajar Riyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 : Aku tidak secantik dia ya, Mas?
Sejenak terdiam, Daffa yang sudah bertelanjang dada memutar kembali tubuhnya dan menghampiri sang istri yang masih berdiri di sisi sofa seolah sedang menunggu jawaban darinya.
Otaknya mulai berfikir cepat untuk memberikan jawaban yang tepat. Untuk berbicara jujur sekarang rasanya tidak mungkin, takutnya Aini salah paham dan malah semakin menduga yang tidak-tidak. Lagipula tidak ada hal serius yang terjadi antara dirinya dan Celine tadi yang menurutnya perlu untuk diceritakan.
"Seharian ini Mas kan berada diluar dan bertemu dengan banyak orang, jadi wajar saja jika pakaian Mas bercampur dengan parfum orang lain, Ai."
Aini menatap lagi pakaian yang masih dia pegang ditangannya, wangi parfum itu masih tercium dihidungnya, "Tapi ini baunya cukup menye--"
Cup...
Sebuah ciuman lembut mendarat di bibirnya sebelum Aini sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Nggak percaya sama Mas, hem?" Daffa mengusap rambut Aini yang memang sudah tidak ditutupi oleh hijab itu, menangkup wajahnya dengan kedua tangan dan menatap matanya dalam. "Oke, Mas jujur. Tadi Mas memang ketemu Celine pas dijalan pulang. Dia lagi ada sedikit masalah jadi Mas bantu anterin dia sampai depan gedung apartemennya, udah itu aja nggak lebih."
Ada seraut kekecewaan yang tiba-tiba menghampiri, apalagi tadi Daffa sempat tidak mau berkata jujur. "Lalu kenapa parfumnya bisa menempel di pakaian kamu? Apa saja yang sudah kalian lakukan selama di perjalanan pulang tadi?" suaranya sedikit meninggi, bahkan dia tidak memakai embel-embel Mas lagi saat bertanya.
Segera dia tepis tangan Daffa dari wajahnya, lalu memutar tubuhnya kesamping untuk menghindari tatapannya. Dipeganginya jas yang ada ditangannya kuat-kuat, mempersiapkan dirinya untuk mendengar jawaban yang akan diberikan oleh suaminya, dan mungkin akan menyakitkan jika dia dengar.
Bukannya langsung menjawab, Daffa malah tersenyum tipis saat menyadari jika istrinya ini sedang cemburu. Dia meraih bahu Aini dan memutar kembali tubuhnya untuk menghadap ke arahnya. Tak ada penolakan, meskipun Aini masih tidak mau menatap matanya.
"Aini, Mas nggak akan mungkin berani macam-macam dibelakang kamu, sayang. Mas cuma nganterin doang, habis itu Mas pamit pulang. Ehm.. Soal parfum itu... Mungkin karena tadi Celine sempat meluk Mas sebentar, tapi langsung Mas lepas pelukannya kok,"
Seperti dugaannya, bukannya terlihat puas akan kejujurannya, Aini malah terlihat terkejut dan kecewa. Kalau sudah begini, mau jawab jujur ataupun bohong tetap saja dia salah.
"Peluk??"
Aini yang memang belum pernah memiliki perasaan seperti ini terhadap lawan jenis sebelumnya jelas dibuat bingung dengan apa yang sedang dia rasakan saat ini. Yang jelas dia merasa hatinya tiba-tiba memanas saat mendengar cerita dari suaminya yang bertemu dengan mantan istrinya apalagi sampai berpelukan segala. Rasanya seperti ada yang ingin meledak dari dalam dirinya.
"Bukan berpelukan seperti yang kamu bayangkan, Ai. Ini cuma pelukan singkat, enggak disengaja juga karena Celine tiba-tiba meluk Mas dari belakang." Daffa mengusap wajahnya kasar, jika tau akan panjang seperti ini, mending tadi dia tidak jujur saja dulu.
Pikirannya berkecamuk, Aini memilih untuk diam dan mencoba menenangkan perasaannya dulu dengan menarik nafas secara perlahan dan menghembuskannya. Namun sayangnya itu tidak berhasil, berbagai pertanyaan justru mulai bermunculan di benaknya.
"Aku tidak secantik dia ya, Mas?!"
"Aini, cukup!!"
-
-
Suara keras itu menggema di ruangan, Aini sampai terperanjat kaget saat tiba-tiba Daffa membentaknya. Tubuhnya menegang dan tangannya sedikit bergetar, karena kaget juga sedikit takut.
Merasa sudah kelepas kontrol, Daffa mengusap wajahnya kasar dan menahan nafasnya dalam sebelum akhirnya dia hembusan kasar.
"Maaf, Ai, aku tidak bermaksud untuk membentakmu seperti tadi. Tolong jangan pernah berbicara seperti itu lagi."
Tak ada jawaban, hening, air matanya dia biarkan lolos begitu saja meskipun tanpa mengeluarkan suara. Seperti ada yang menyesakkan didalam dada, sulit untuk diungkapkan, tapi bukan karena bentakan Daffa tadi.
"M-Mas mandi saja dulu, aku akan turun kebawah untuk membuatkan kopi,"
Demi menghindari ketegangan, Aini memilih untuk pergi. Namun baru satu langkah kakinya sudah kembali tertahan saat Daffa memeluknya dari arah belakang. Begitu hangat, sudah tidak ada kemarahan seperti tadi meskipun nafas suaminya itu masih terdengar berat, mungkin karena menahan sisa-sisa emosi yang tadi sempat meluap.
"Aku tidak ingin membandingkan siapapun, kamu dan dia memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tapi... Aku hanya ingin kamu yang tetap ada di sisiku, Aini. Bukan hanya untuk saat ini, tapi untuk selamanya, sampai akhir nafasku nanti."
Melihat tidak ada penolakan dari Aini, hembusan nafasnya juga sudah mulai terdengar normal. Akhirnya Daffa memberanikan untuk semakin mengeratkan pelukannya. "Lusa Mas ada pekerjaan diluar kota, dan mungkin akan menginap disana selama dua hari. Kamu Mas tinggal dirumah sendiri nggak apa-apa kan? Nanti Mas akan suruh Dina untuk menginap disini, menemani kamu,"
Tak lagi membahas tentang Celine maupun aroma parfum, Daffa sengaja mengalihkan topik supaya suasana hati Aini kembali baik.
"Nggak apa-apa, Mas. Aku mau minta maaf soal yang tadi ya Mas, harusnya aku percaya sama kamu dan tidak membuat kamu kesal," suaranya terdengar datar, sudah tidak ada kemarahan seperti tadi lagi. Pelukan dan penjelasan dari Daffa cukup membuat hatinya merasa tenang kembali.
"Sudah jangan dibahas lagi. Mas mau mandi dulu, setelah itu kita istirahat." sebuah ciuman dia daratkan dikepala Aini sebelum melepaskan pelukannya.
Sempat termenung beberapa saat setelah pintu kamar mandi tertutup rapat, Aini segera menaruh pakaian kotor milik suaminya yang masih dia pegangi kedalam keranjang pakaian.
Langkahnya hendak membawanya keluar kamar untuk membuatkan kopi dilantai bawah, namun saat mendengar suara handphone suaminya bergetar, Aini mengurungkan niatnya dan berjalan menuju ke arah meja untuk melihat.
Tak ingin lancang tapi dia juga penasaran dengan siapa yang mengirimkan pesan tengah malam begini pada suaminya. Dengan sedikit keraguan, tangannya mulai terulur untuk mengambil handphone itu dari atas meja. Tidak ada rahasia, dan Daffa juga tidak pernah lagi mengunci layar ponselnya seperti dulu sebelum dia menerima Aini dalam hidupnya.
Nafasnya tertahan, jantungnya berdetak lebih cepat. Sebuah nomor baru dia lihat sebagai pengirim pesan.
[ Makasih ya Daf karena sudah nganterin aku pulang. Aku tau Kalau kamu masih peduli sama aku. ]
Dari kalimatnya saja Aini sudah bisa menebak siapa yang mengirimkan pesan tersebut pada suaminya. Tak berniat membalas, Aini hendak meletakkan kembali handphone itu diatas meja setelah menekan tombol keluar. Namun niatnya dia urungkan, tanpa pikir panjang lagi Aini melakukan panggilan keluar pada nomor yang dia duga sebagai nomor Celine, mantan istrinya Daffa.
"Maaf, bisa kita bertemu dan bicara berdua besok?"
...💧💧💧...
. tapi aku ragu celine bakal sadar sebelum dapet karma instan🤧🤧